Dua.

18 4 2
                                    

Sambil menggendong kucing gembul warna abu-abu miliknya, Langit masuk ke ruangan yang khusus digunakan Samudra untuk bermain game. Ia menghampiri Samudra yang tengah serius menatap komputer di hadapannya, lalu duduk di sofa yang ada di ruangan itu. Samudra sadar akan kehadiran Langit, tetapi ia mencoba untuk tak peduli dan terus fokus pada permainannya.

"Bang," panggilnya sesaat setelah mendudukkan diri di sofa warna merah maroon.

"Hm?"

Langit menarik napas. "Maaf karena kemarin gue terlalu ikut campur urusan lo."

"Ya."

Sejak obrolan singkat kemarin malam, dua pemuda ini tidak saling bicara lagi hingga hari ini. Awalnya Langit tidak mengakui apa yang ia bicarakannya membuat Samudra sedikit kesal. Namun, ia ingat jika saudara kandungnya itu paling tidak suka saat urusan pribadinya mulai diusik, terutama urusan perempuan. Samudra diam sejak kemarin, bahkan pemuda itu juga tidak ikut sarapan pagi tadi.

Langit menunduk, mengusap kepala kucing jenis British Shorthair yang duduk di pangkuannya. "Bang, padahal mah niat gue awalnya cuma mau ... eum ... ngasih tau aja biar lo nggak terlalu cuek dan kaku ke Kak Kal gitu."

"Ya," jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer yang menampilkan sebuah game yang sedang ia mainkan.

Langit menghempaskan punggungnya ke sandaran sofa. "Bay, lo liat deh abang gue, kaku banget kayak bambu. Mana ngambek pula."

Pemuda itu merasa sedikit kesal karena sejak tadi Samudra hanya menjawabnya dengan singkat hingga akhirnya ia mencurahkan isi hatinya pada kucingnya, si Bayam.

"Emangnya gue harus ngomong apa sih, Lang? Yang bilang gue ngambek juga siapa?"

"Lo sama Kak Kal udah kenal lama 'kan, Bang?" Bukannya menjawab pertanyaan Samudra, Langit malah balik bertanya. Ia memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan.

Samudra memutar kursinya hingga ia dapat melihat Langit dengan jelas. Helaan napas pun terdengar darinya. Ia menatap Langit dengan cukup intens, sedangkan yang ditatap hanya diam dengan wajah polosnya.

"Iya, memangnya kenapa kalau udah kenal lama?"

"Lo ... nggak ada perasaan sedikit pun ke dia gitu?" tanya Langit ragu-ragu.

"Nggak."

"Yakin nih nggak ada kemungkinan buat lo suka sama Kak Kal?"

"Udahlah nggak usah dibahas, bego. Aneh banget lo."

"Mulut lo nggak pernah di sekolahin apa gimana sih? Ngatain gue mulu," protesnya.

Samudra hanya mengedikkan bahu tak acuh. Ia lalu berdiri dari kursinya, hendak pergi ke pantry guna mengambil makanan karena ia merasa lapar setelah kurang lebih 3 jam dirinya duduk nenatap komputer hanya untuk bermain game. Sedangkan pemuda yang menggendong kucing tadi ikut keluar, menuju lantai pertama rumah mereka untuk kembali meletakkan Bayam di kandangnya.

* * *

Ditemani senandung yang merdu, ia menuruni tangga menuju lantai dua rumahnya guna menuju ke meja makan. Bibir pemuda itu terus bernyanyi, kakinya melangkah dengan hati-hati, dan matanya tertuju pada arloji yang sedang ia pasang di tangan kiri. Saat arloji sudah terpasang rapi, pandangannya ia alihkan ke depan dan matanya pun menangkap pemandangan yang cukup menyenangkan hati.

Dua WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang