Tatkala matanya tanpa sengaja menilik seorang lelaki berseragam putih dongker yang tengah tersenyum di depan gerbang sekolah membuat senyumannya terkembang. Tangan besar itu melambai padanya. Wajahnya terlihat lelah dan bajunya tampak lusuh, tetapi senyuman tulus bak bulan sabit itu tak pernah luntur dari wajahnya.
Hares dengan semangat berlari ke arah lelaki itu sembari merentangkan tangannya minta dipeluk. Jemari tangannya bergerak-gerak siap memeluk pundak kokoh yang menjadi penopang hidupnya selama ini. Semenjak bunda sudah meninggal, semuanya berubah drastis. Ayah jarang pulang, dan Jiji yang terlihat dua kali lipat lebih lelah dari biasanya. Tak ada lagi dongeng di malam hari ataupun sapaan ramah ayah ketika pulang bekerja.
"Jiji, ulangan sains aku dapat seratus lagi hari ini!" teriaknya tatkala memeluk Jiji penuh kasih. Lelaki berbadan bongsor itu hanya tersenyum sembari mengusap rambut sang adik sayang.
Tanpa banyak cakap, Jiji menyuruh Hares melepaskan tasnya, dan dia dengan senang hati menyandang tas milik Hares.
"Tas lu berat banget, lu isiin batu, ya?" tanya Jiji sambil tertawa.
Hares tidak menjawab, namun bocah itu malah tercengir lebar. Jemari kecilnya semakin erat menggenggan jemari tangan Jiji yang berukuran lebih besar dari jemari tangannya.
"Jiji, aku mau es krim, boleh?" tanyanya polos.
Jiji terdiam, lelaki itu dengan panik memeriksa saku celana dongkernya, mencari sisa uang belanja. Biasanya Jiji selalu menyisihkan sedikit uang jajannya setiap hari. Itu dilakukannya agar ia dapat membelikan sang adik sesuatu yang diinginkannya.
Dulu awal Hares hadir di dunia, Jiji sempat menyimpan benci pada bayi mungil itu. Dia cemburu, lantaran setelah Hares lahir, kasih sayang ayah dan bunda hanya tercurahkan pada sang bayi, tetapi bunda selalu bilang, "di dunia ini Hares cuma punya ayah sama bunda, dan juga Jiji. Nanti kalau bunda dan ayah udah enggak ada, Hares cuma punya Jiji. Tugas Jiji yang jagain Hares, dan tugas Hares pula yang jagain Jiji."
Benar, kata-kata bunda selalu menjadi perisai kala ia marah ataupun kesal pada Hares. Jiji selalu berjanji pada dirinya untuk menjaga dan melindungi Hares sampai kapan pun, bukankah tugas seorang abang memang seperti itu? Jiji tidak suka kalau ayah sudah marah-marah pada sang adik, apa lagi sampai main tangan. Demi Tuhan, Jiji tak rela adiknya diperlakukan kasar seperti itu. Lebih-lebih oleh ayahnya sendiri.
"Ji, boleh nggak?" tanya Hares seraya menganyunkan tangannya yang bertaut pada tangan milik Jiji.
"Boleh," balas Jiji tersenyum. Ia merasa lega ketika menemukan beberapa uang seribuan di saku celana dongkernya.
"Jiji mau?" tanya Hares di tengah jilatan es krimnya. Jiji cuma bisa menggeleng, dan lagi-lagi mengelus puncak kepala sang adik ramah.
"Aku sayang banget sama Jiji, bagi aku Jiji itu pahlawannya aku," tukas Hares dijilatan terakhir es krimnya, matanya berkaca-kaca siap menangis dan Jiji segera memasang tampang galak.
"Jangan nangis, gua nggak suka lu cengeng kayak gini. Jangan lemah jadi cowok," balas Jiji seraya menarik Hares ke dalam pelukannya. Diam-diam ia sendiri menangis, namun malu memperlihatkannya di hadapan sang adik. Jika seorang pelindungnya lemah, bagaimana mungkin Hares bisa kuat?
🌻🌻
Baru saja tadi mereka tertawa dan menangis, baru saja mereka merasa lega saling melepas beban di pundak masing-masing, sekarang harus berhadapan dengan kenyataan yang menyakitkan. Di depan rumah, Jiji dan Hares melihat koper ayah yang tergeletak di atas teras, juga ayah terlihat buru-buru untuk pergi.
Begitu sang ayah melihat kehadiran kedua putranya, ia tersenyum dengan getir. Lelaki berusia sekitar tiga puluhan itu duduk berjongkok dan mengusap pipi putranya satu per satu.
"Ayah harus pergi, kalian berdua jaga diri baik-baik mulai sekarang," ujar sang ayah hendak masuk ke dalam mobil, namun tangan mungil milik Hares menahan pergelangan tangannya dengan erat.
"Ayah, hari ini ulangan sains aku dapat seratus, aku bukan anak bodoh kayak yang ayah bilang. Jadi, jangan pergi. Aku janji bakalan jadi anak baik," tukas Hares menahan air matanya. Ia mati-matian untuk tidak terisak di depan Jiji, atau pahlawannya itu pergi juga dari sisinya. Tidak cukupkah hanya bunda?
"Hares maaf, kamu sekarang tinggal bareng Jiji, ya? Ayah harus pergi," kata sang ayah melepas tangan mungil itu dengan terpaksa, lantas setelahnya masuk ke dalam mobil dan melaju meninggalkan Hares dan juga Jiji yang cuma bisa mematung.
Jiji mengepalkan tangannya menahan amarah. Dia marah pada ayahnya, tetapi kemarahan itu tak sebanding dengan amarah pada dirinya sendiri.
"Jiji, ayah kenapa ninggalin kita? Hares bandel, ya?"
Mendengar suara yang bergetar dari bibir mungil milik adiknya, membuat Jiji menoleh seketika. Ditiliknya Hares sudah berurai air mata.
Jiji berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan sang adik.
"Jangan nangis, udah berapa kali gua bilang?"
Tangan besar itu mengusap air mata di pipi adiknya dengan kasar.
"Tapi aku sedih, aku enggak bisa kalo enggak nangis," isak sang adik makin menjadi.
Jiji menyerah, dibiarkannya adiknya itu menangis sepuasnya. Beserta rasa amarah dan sesal yang menjadi satu di dalam dirinya, Jiji memilih untuk masuk ke dalam rumah, mengabaikan raungan sang adik nan memilukan hati.
"Bunda maaf, aku nggak bisa pertahanin penopang hidup kita satu-satunya buat tetap tinggal," bisiknya penuh sesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ma Bro Jiji
Short StoryBagi Hares, Jiji itu bagaikan pahlawannya, dan bagi Jiji Hares itu adalah separuh jiwanya.