Hares memandang keluar jendela yang kebetulan berembun karena terkena tempias hujan yang menabrak jendela. Jemarinya sibuk bergerak-gerak dan mulutnya berkomat-kamit. Tidak terasa sudah 7 tahun Jiji pergi meninggalkannya, dan selama 7 tahun itu pula Hares mencoba hidup mandiri, tidak merepotkan Nana ataupun Juna, karena kedua temannya itu pun sudah memiliki kesibukan masing-masing. Juna yang sibuk dengan tugas kuliahnya yang semakin banyak dan sulit, serta Nana yang sibuk dengan organisasi yang diikutinya, dan Hares? Dia hanya sibuk dengan tugas kuliah yang kadang minta dimaki.
Hares juga berusaha hidup tanpa bergantung pada Jiji walaupun dia sering mengirimi pesan kepada Jiji yang berisi keluh kesahnya serta kemelut hidup yang tengah dia hadapi. Sebetulnya Hares tidak tahu Jiji ada di mana dan bekerja apa, yang jelas Jiji selalu bilang, "enggak usah tanya gua bisa idupin lu dari mana, yang terpenting lu kuliah aja yang bener dan hidup dengan baik." Semenjak itu pula, Hares memilih untuk tak bertanya lagi. Selama ini Jiji cukup baik mengurusnya walaupun tidak tinggal di satu atap yang sama, fasilitas Hares untuk keperluan kampus pun sudah disediakan oleh Jiji, setiap bulan Jiji mengiriminya uang untuk belanja, bahkan Hares merasa bahwa hidupnya sekarang sudah lebih dari cukup. Kelebihan malah, yang kurang itu ialah tak ada Jiji di sisinya.
Pintu rumah Hares dibuka tanpa sepengetahuannya. Ketika mendengar suara langkah yang mendekat ia menoleh kaget. Di hadapannya berdiri seorang lelaki paruh baya yang tersenyum memandanginya. Hares turun dari sofa dan menghampiri lelaki itu dengan tatapan dingin.
"Ada apa? Kenapa tiba-tiba datang?" tanya Hares dengan nada tak bersahabat.
Pria paruh baya itu tak langsung menjawab, ia hanya celingak-celinguk melihat rumah dan seisinya. Beliau pikir rumah ini sudah ditinggalkan, ternyata masih ditempati oleh putra bungsunya.
"Jiji di mana?" tanya Setiawan tenang.
"Enggak tau, mending anda sekarang pulang," tukas Hares masih dengan nada yang dingin.
"Abangmu itu, tidak bertanggung jawab ternyata. Dia bilang bisa jaga dan selalu ada di sisi kamu, tapi sekarang dia malah pergi. Sudah lama sekali ayah bilang kalau ingin membawa kamu tinggal bareng ayah, tapi dia keras kepala sekali bilang bisa menjaga dan menghidupi kamu, tapi lihat, sekarang dia bahkan tak ada di sini."
Mendengar ucapan ayah yang berhasil merobek sukmanya menyebabkan Hares mengepalkan tangannya menahan amarah.
"Jangan sekali-kali anda mengatai Jiji di depan saya, apa anda enggak melihat? Anak yang dulu berusia sebelas tahun, yang memohon agar anda tetap tinggal sudah berusia dua puluh satu tahun sekarang, apa anda enggak melihat saya bertumbuh dengan baik?" tukas Hares dengan amarah yang sudah diubun-ubun.
"Ya, kamu memang bertumbuh dengan baik, tapi kayak anak yang tidak diurus. Lihat diri kamu dan sadar, Hares. Satu lagi, saya ini ayah kamu, jaga gaya bicara kamu," ujar Setiawan memasang wajah garang.
"Saya enggak punya sosok ayah, bagi saya, anda hanyalah orang asing."
Setiawan berdecih merasa kesal dengan ucapan anak bungsunya itu.
"Terlihat jelas, sangat jelas bahwa memang Jiji yang mengurus kamu. Hanya dia yang bersikap tidak sopan pada saya sedari dulu. Anak itu ck ck."
"Anda tau apa tentang kami? Bahkan Jiji jauh lebih baik daripada anda. Dia bertanggung jawab, berbeda dengan anda yang meninggalkan anak berusia sebelas tahun dulunya."
"Hares, kamu yang tidak tau apa-apa. Selama ini Jiji berbohong sama kamu. Ayah selalu bilang untuk ikut dengan ayah, tapi dengan sombongnya dia bilang bisa mengurus kamu dan dirinya sendiri."
"Maaf, tapi saya lebih percaya Jiji daripada anda, apa pun alasan anda datang ke sini, saya enggak peduli. Lebih baik anda sekarang pergi. Pergi!" teriak Hares seraya mendorong pria paruh baya itu keluar dari rumahnya dengan kasar.
Plak, "berani-beraninya kamu memperlakukan ayah tidak sopan begini," tukas Setiawan setelah melayangkan satu tamparan ke pipi Hares yang membuat pipi anak itu memerah seketika.
"Lihat, memang lebih baik saya hidup sendiri kayak gini," ujar Hares segera menutup pintu rumahnya dengan kasar dan menguncinya agar tak bisa lagi dibuka dari luar.
Hares duduk memeluk lututnya di sudut sofa, pipinya terasa panas dan juga perih. Sudah lama tidak merasa tamparan dari sang ayah, ternyata rasanya masih sama seperti dulu. Kini Hares mengerti kenapa Jiji tak pernah mengizinkannya tinggal bersama ayah jika sewaktu-waktu ayah datang menjemput mengajak tinggal bersama di rumah barunya. Lagi-lagi Hares hanya bisa menangis, terisak di sudut sofa. Benar kata Jiji, dia ini cengeng sekali.
🌻🌻
Tatkala ayah mengatakan bahwa selalu menemui Jiji untuk mengajak tinggal bersama beliau, Hares bukannya tidak percaya. Ia amat percaya, lantaran Jiji pernah membicarakan hal itu padanya. Di suatu sore, menjelang magrib, Jiji datang menghampiri dirinya yang tengah menonton di atas sofa. Waktu itu Jiji terlihat sangat lelah lantaran baru pulang bekerja sebagai buruh angkut barang di pasar, karena hanya itu yang bisa dilakukan oleh anak berusia empat belas tahun setelah ayah meninggalkan mereka berdua begitu saja.
"Tadi ayah nemuin Jiji, ayah bilang mau ngajak kita tinggal bareng dia, tapi gua nolak. Gua enggak mau dan bilang bisa ngurus idup lu dan gua," kata Jiji dengan suara pelan.
Hares yang tengah menonton kartun favoritnya pun menoleh penuh tanda tanya.
"Kenapa Jiji enggak mau?" tanyanya dengan polos.
"Gua tau betul gimana tabiat ayah. Temparamen ayah sangat buruk, dia mudah marah, tapi nggak akan pernah ngelampiasin amarahnya itu ke perempuan karena ayah berprinsip enggak bakalan pernah mukulin perempuan. Kalau ayah marah ataupun ada masalah, dia pasti mukulin gua. Dulu gua beruntung ada bunda sebagai perisai pelindung, tapi lu? Kalau lu tinggal bareng ayah. Lu bakalan habis sama ayah."
"Gua udah pasti jarang di rumah karena sibuk, tapi lu bakalan selalu di rumah. Dan istri ayah pasti enggak sesayang itu sama kita, karena dia yang nyuruh ayah pergi ninggalin kita, gua nggak mau lu jadi korban ayah. Lu tau betul gimana sakitnya pukulan ayah ke kita," ujar Jiji seraya memandang wajah polos milik Hares dengan serius. Dia tidak ingin adiknya merasakan apa yang dirasakannya dahulu.
"Ayah suka nampar dan pukul aku kalo Jiji nggak ada. Rasanya emang sakit," lirih Hares menundukkan kepalanya, mengenang kembali kejadian di mana ayah memukulinya tanpa ampun.
"Makanya gua nggak mau kita berdua tinggal bareng ayah, kalau ayah marah, dia pasti ngelampiasinnya ke elu. Kalau ayah datang ke rumah buat bujuk lu tinggal bareng dia, jangan mau, oke?"
Hares mengangguk kala Jiji berkata seperti itu padanya. Sejujurnya sedari dulu Hares sangat takut pada ayah, lantaran ayah sering memukulinya dan bilang kalau dia adalah anak bandel yang susah untuk diatur.
"Janji?" tanya Jiji mengangkat jari kelingkingnya.
"Janji," balas Hares seraya menautkan jari kelingking mungilnya pada kelingking Jiji.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ma Bro Jiji
القصة القصيرةBagi Hares, Jiji itu bagaikan pahlawannya, dan bagi Jiji Hares itu adalah separuh jiwanya.