Ketika Hares membuka matanya di pagi hari, Jiji tak lagi ada di sana. Akan tetapi, ada sepucuk surat yang lelaki itu selipkan di bawah smartphonenya. Hares mengambil kertas itu dan membaca isinya yang amat singkat.Ini bukti kalau tadi malam lu nggak mimpi. Gua beneran dateng.
Jiji
Hares tersenyum getir, lelaki itu meremas kertas tersebut dan membuangnya ke dalam tong sampah. Hares tahu tadi malam Jiji emang beneran datang, dan Hares juga tahu kalau Jiji tidak akan menemuinya lagi. Mungkin nanti, Hares pun tak yakin dengan itu. Hares pikir, ia sangat mengenal abangnya, namun nyatanya Hares tak tahu apa-apa tentang Jiji. Lelaki itu penuh misteri semenjak tujuh tahun yang lalu kala Jiji meninggalkan rumah.
Pintu ruangan Hares terbuka, di ambang pintu muncul seseorang yang amat sangat tak ingin ditemuinya. Ayahnya datang, dan entah untuk apa.
"Tiana bilang pengen ketemu sama kamu," tutur Ayah seraya berjalan mendekat ke ranjang yang Hares tiduri.
Netra Hares nyalang menilik Tiana yang kini tengah melambai padanya dan tersenyum senang.
"Halo abang, kita ketemu lagi!" teriak gadis kecil itu kegirangan.
"Baiklah, kehadiran saya tampaknya tak diinginkan," celetuk ayah tiba-tiba.
"Emang," balas Hares dingin.
Setiawan hanya tersenyum kikuk. Bukan waktunya untuk memaki anak kurang ajar itu di sini, dan lagi keadaannya tak memungkinkan.
"Tia, ayah pergi dulu, nanti siang ada pak Narto yang jemput kamu. Jangan bandel, oke?" tanya ayah seraya membentuk lambang oke dengan jari telunjuk dan ibu jarinya.
"Oke ayah," balas Tiana mengangkat ibu jarinya sebagai lambang oke darinya.
Setelah kepergian Setiawan, hanya tinggal mereka berdua di ruangan ini, dan Hares memilih untuk tiduran lagi seraya memainkan ponselnya. Ada begitu banyak pesan dari Juna dan Nana yang sengaja ia abaikan.
"Abang, kangen nggak sama aku?" tanya Tiana duduk di atas kursi dengan susah payah.
Hares membalikkan tubuhnya dan memandang gadis kecil itu tak senang. Ia merasa ketenangannya terganggu atas hadirnya anak itu.
"Enggak, lagian lo kenapa datang ke sini?"
"Kenapa? Aku kan kangen abang. Waktu tau abang masuk rumah sakit aku nangis tau," ocehnya dengan beragam macam ekspresi.
"Gue nggak peduli, nggak ada yang nyuruh lo nangis juga."
Tiana menggembungkan kedua pipinya dan melipat kedua tangannya di atas dada.
Anak itu jelas sekali lagi kesal.
"Abang kenapa galak banget sama aku? Nggak kayak ayah," omelnya jengkel.
"Gue bukan ayah lo makanya, dan berapa kali gue bilang, gue bukan abang lo. Lo nggak punya abang. Paham?"
Tiana menggelengkan kepalanya ke kanan dan ke ke kiri seraya mendongak ke atas serta memasang wajah pongah miliknya. Kunciran dua rambutnya pun ikut bergoyang sesuai gerakan kepalanya. Jika orang lain yang melihat itu, mereka akan berpikir bahwa Tiana adalah gadis kecil yang menggemaskan, tetapi Hares melihatnya dengan sudut pandang yang berbeda. Laki-laki itu hanya memasang wajah datarnya yang membosankan.
"Aku punya dua abang. Jiji sama kamu."
Hares langsung memelototi anak itu dan menggeplak kepalanya pelan.
"Kamu kamu, lo kira kita seumuran?"
"Soalnya aku nggak tau nama abang siapa," ringis Tiana seraya memegang kepalanya. Gadis itu tertunduk sedih, baru kali ini ada yang memukul kepalanya, sebab ayah dan bunda tak pernah melakukan hal itu.
"Nama gue Hares," balas Hares seraya memalingkan mukanya dari Tiana, jauh di lubuk hatinya ia merasa bersalah pada gadis kecil tersebut.
"Kepalanya sakit? Perasaan, gue mukulnya pelan deh."
Tiana mengangguk, anak itu masih mengelus kepalanya bekas geplakan Hares tadi.
Dulu waktu Hares berusia lima tahun, kepalanya pernah kejedot meja, dan itu rasanya sakit bukan main. Hares menangis seharian seraya memegang kepalanya yang benjol. Waktu itu Jiji yang baru pulang sekolah langsung memeluknya dan mengusap benjolan di atas kepalanya. Setelah diberi permen oleh Jiji, barulah Hares bisa tenang. Sekarang ia melakukan apa yang pernah dilakukan Jiji padanya dulu, lelaki itu mengusap puncak kepala Tiana, berusaha selembut mungkin sebab ia tak pernah melakukan ini pada anak kecil kecuali pada Tiana. Hares tak terlalu suka anak kecil lantaran sangat bandel.
"Aku nggak mau dielus, maunya dicium sama abang."
Hares terpaku seketika dan malah menggeplak kepala anak itu sekali lagi. Kali ini jauh lebih keras dari yang pertama.
"Abang jahat!" teriak Tiana bikin Hares panik bukan main. Ini di rumah sakit, bisa-bisa ia kena omel perawat lantaran mendengar kegaduhan dari dalam kamarnya.
"Oke oke, gue minta maaf. Jangan berisik. Mana kepala lo yang sakit?"
"Yang ini," rengek Tiana siap untuk menangis. Lagi-lagi Hares hanya mengelusnya.
"Dicium abang, biasanya bunda gituin aku kalo kepala aku kepentok meja."
Hares memutar bola matanya dan terpaksa melakukan apa yang diminta oleh Tiana.
"Ulangi lagi abang, terus sambil bilang 'sakitnya ilang sakitnya ilang'."
Jangan tanya seberapa kesalnya lelaki itu sekarang, ia sudah siap meledak jika tak sadar bahwa mereka ada di rumah sakit.
🌻🌻
Juna dan Nana terpaku menilik seorang bocah yang tengah tertidur di sebelah Hares. Mereka saling menatap satu sama lain lantas kembali menatap Hares meminta penjelasan.
"Bukan siapa-siapa, cuma anak orang," balas Hares ogah-ogahan. Ia masih belum sudi mengakui bahwa Tiana itu adalah anak dari istri baru ayahnya yang sekarang merangkap jadi adiknya.
"Bukan anak lo, kan?" tanya Nana curiga.
"Ya bukanlah, cewek aja nggak punya. Gimana mau punya anak," sungut Hares merasa tersinggung dan juga kesal.
"Makanya kasih tau yang bener, nih bocah siapa?"
"Adek gue," balas Hares akhirnya.
Lagi-lagi Nana dan Juna saling bertatapan. Selama enam tahun pertemenan mereka, baru kali Ini Juna dan Nana tahu bahwa Hares itu punya seorang adik cewek, bahkan Jiji pun tak memberikan informasi apa pun mengenai bocah yang tengah tertidur tersebut.
"Sejak kapan?"
"Gue juga taunya baru-baru ini. Nih bocah tiba-tiba nongol di depan rumah gue dan bilang kalo dia adek gue."
"Bisa gitu tiba-tiba nongol?" tanya Juna yang semakin kebingungan.
"Ah, bodolah. Nggak usah dibahas," ujar Hares akhirnya. Dia kembali membaringkan tubuhnya di atas kasur, malas berdebat dengan kedua temannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ma Bro Jiji
Short StoryBagi Hares, Jiji itu bagaikan pahlawannya, dan bagi Jiji Hares itu adalah separuh jiwanya.