09 (Hares dan Jiji)

1.3K 193 3
                                    

Jiji memandang wajah polos Hares yang tengah tertidur tenang, perlahan sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman. Lambat laun tangannya merambat menyentuh rambut Hares yang terasa agak kasar. Jari-jemari tangannya perlahan menelusup ke sela jemari tangan kiri milik Hares. Menggenggamnya erat seakan menyalurkan rasa hangat ke tubuh anak itu yang terasa agak dingin. Tangan digenggamannya tersentak dan membalas genggamannya jauh lebih erat. Netra Hares perlahan terbuka. Ada sekuncup rindu yang membuncah di dalam hatinya. Wajah tampan yang terlihat jelas itu mengundang air matanya keluar.

"Hai bro, apa kabar?" tanya Jiji dengan senyuman bulan sabitnya yang indah.

Hares berusaha mengatur deru napasnya dan menahan sesak yang ditahannya selama ini. Kehadiran Jiji seolah menyalurkan rasa hangat yang membuatnya terasa jauh lebih hidup dari tujuh tahun belakangan. Rasa kosong dan hampa yang dialaminya sedikit demi sedikit mulai menguar.

"Setelah lo liat keadaan gue kayak gini, lo masih nanya kabar gue?" tanya Hares terkekeh kecil.

"Dan lu kenapa jadi gini? Gua kan udah bilang buat jaga diri baik-baik?" balas Jiji mengomel.

"Gara-gara lo yang pergi ninggalin gue selama tujuh tahun."

"Gua minta maaf, sebentar lagi kita bakalan bisa hidup bareng. Lu mau sabar, kan?"

Tak ada kata yang mampu terucapkan oleh Hares, anak itu sibuk bertanya-tanya atas maksud dari kalimat yang dilontarkan Jiji padanya. Kenapa harus menunggu lagi? Bukankah sekarang Jiji sudah di sini?

"Kenapa? Lo mau pergi lagi?" tanya Hares dingin.

Jiji mengusap wajahnya frustasi, ia menggeleng.

"Terus?"

"Udah larut, lu balik tidur lagi gih," balas Jiji akhirnya.

Hares menggeleng. "Kalo gue tidur, gue takut ini cuma mimpi."

Ada rasa sesak yang merayap ke dalam hatinya, netra Jiji kembali menatap Hares dengan pandangan penuh kasih. Wajah itu adalah wajah yang dirindukannya selama ini. Wajah yang selalu membayangi hari-harinya yang penuh akan ketakutan.

"Gua pastiin ini bukan cuma mimpi," balas Jiji seraya melepas genggamannya, biarpun Hares berusaha menahan, namun kekuatan Jiji jauh lebih kuat darinya.

"Janji lo nggak bakalan pergi?"

Jiji tersenyum, meski berat akhirnya ia mengangguk jua. Terlalu banyak hutang janjinya pada anak ini, tetapi Jiji yakin. Apa pun itu alasannya, ini yang terbaik untuk mereka berdua. Biar dia yang menanggung semua beban asal Hares dapat hidup lebih baik darinya, memiliki masa depan yang cerah, dan kehidupan yang lebih layak.

"Ji, gue ngantuk. Gue pengen lo elus-elus rambut gue biar bisa tidur nyenyak."

Lagi-lagi Jiji hanya mengangguk. Ini pertemuan pertama dan terakhir mereka, jadi Jiji ingin melakukan apa pun yang diminta oleh adiknya itu.


🌻🌻


"Jiji, aku lapar," tutur Hares kala usianya sebelas tahun. Anak itu memegang perutnya yang berbunyi sedari tadi. Sudah dari pagi ia menahan rasa lapar di perutnya.

Jiji menghela napas dan memeriksa persediaan mereka, hanya ada sedikit nasi di dalam periuk, dan sebutir telur, sementara ia belum mendapat uang dari upah buruhnya yang tidak seberapa hari ini.

"Kita makan telur lagi nggak papa, kan?"

Meski kecewa, namun akhirnya Hares mengangguk. Tidak ada pilihan lain atau dia akan mati kelaparan.

Satu telur mata sapi dan sedikit nasi dingin diserahkan Jiji pada Hares. Mata anak itu berbinar dan segera melahap makanannya, namun pergerakannya terhenti kala melihat Jiji tak ikut makan dengannya.

"Jiji nggak ikut makan?"

Jiji terdiam, dia memegang perutnya dan menahan agar tak menimbulkan bunyi yang mencurigakan. Jika perutnya berbunyi, maka Hares akan tahu bahwa ia sedang berbohong.

"Gua tadi udah makan, lu aja yang makan. Makan yang banyak biar cepet gede," tukas Jiji seraya mengacak rambut Hares gemas.

"Jiji nggak lagi bohong, kan?"

"Enggak," balas Jiji sambil tersenyum.

Tanpa ia sadari, air matanya keluar tatkala tangan hangat milik Jiji mengusap rambutnya lembut. Hares berusaha menahan sesak hatinya. Ia mencoba untuk tak menangis dan berpura-pura tertidur dengan tenang. Sepuluh tahun yang lalu Jiji berbohong pada Hares bahwa ia sudah makan, dan sekarang Jiji berbohong lagi tak akan pergi darinya. Hanya ada mereka berdua di dunia ini, tetapi kenapa Tuhan seolah ingin memisahkan mereka satu sama lain?

Hares membalikkan tubuhnya ke arah kanan, ia membawa tangan Jiji yang tengah mengelus rambutnya ke dalam dekapan.

"Gue sayang banget sama lo, Ji," bisiknya nyaris tak terdengar.

Ma Bro JijiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang