Satu minggu berjalan sejak pertemuan 'kembali' ku dengan Rakan. Tidak banyak yang berubah sampai sekarang.Sinar bulan memeluk kota, cahaya nya yang indah sukses membuatku terpukau. Kini, aku sedang duduk berhadapan dengan Rakan, dengan secangkir susu putih digenggaman.
"Kapan sih kamu keluar dari sini? Sudah seminggu lho, kamu tidak bosan apa?" Tanya ku, meneguk susu putih, lalu meletakkan gelas ke meja.
"Kalau kamu selalu disini, tidak ada alasanku untuk bosan. Toh, ini yang aku impikaa, 7×24 bareng tuan putri."
"Situasi kayak gini sempat-sempatnya nge-gombal."
"Bukan Rakan namanya kalau tidak bisa nge-gombal."
Aku tertawa sejenak. Aku menatap jam, pukul sebelas. Beranjak mengambil laptop yang masih tergeletak di kasur, menghidupkan nya. Menggeser kanan - kiri fitur laptop, keluar masuk beranda sosmed.
"Berita ini masih saja trending topic, padahal kejadian nya sudah beberapa bulan yang lalu." Aku mengklik situs berita yang menceritakan peristiwa kecelakaan mobil. Mengscroll laman nya.
Rakan membenarkan posisi duduk, mulai bertanya, "Berita apa memangnya?" Sekilas aku menatap mata penuh penasarannya Rakan. Aku menghela napas, sebelum membaca berita itu.
" 'Kecelakaan mobil yang memakan satu korban dua bulan yang lalu kembali dibicarakan. Diduga jika kejadian ini memiliki unsur kesengajaan. Pihak polisi kini menginterogasi beberapa saksi mata yang sempat melihat mobil itu berkendara sampai akhirnya menabrak pembatas jalan.' " jelas ku, membaca dengan telaten setiap barisnya.
Rakan menghembuskan napas. "Terus?"
" 'Polisi menemukan kerusakan pada sistem rem. Ditemukan bekas potongan benda tajam di beberapa alatnya. Ini bisa menjadi bukti kuat jika insiden ini memang disengaja.' " aku menatap foto yang diambil saat mobil sudah dalam penanganan polisi. Aku membalikkan posisi duduk agar Rakan juga dapat melihat foto itu.
Kondisi mobil hitam itu sangat mengkhawatirkan. Bagian depan nya sudah hancur karena hantaman keras pada pembatas jalan. Kaca nya pecah, beling-beling berhamburan di jalanan. Kerumunan orang berkumpul menyaksikan. Pembatas jalan juga sama kondisinya, retakan dan beberapa bidang dinding nya berjatuhan di jalan.
"Kasihan sekali," ucapku membuka suara.
"Aku prihatin. Tapi bagaimana pun juga itu adalah takdir. Kita hanya bisa menjalankan nya," timpal Rakan. Aku kembali memposisi kan diri seperti semula. Lalu mengangguk singkat."Baiklah, sekarang ganti berita. Tidak baik membaca berita buruk terus-terusan. Lagian aku juga ingin mengetahui hal lain, jadi aku tidak terlalu kudet di dalam sini," ujar Rakan.
Aku tersenyum, lantas terkekeh. Gelak tawa kami memenuhi ruangan. Seketika suasana kembali hening saat pintu kamar di ketuk.
"Alikka, kamu belum tidur? Kenapa kamu tertawa? Ingat, besok ada jadwal pemeriksaan kamu." Suara mama terdengar lantang dari balik pintu.
"Iya mah, tadi Al cuman nonton komedi." Aku terpaksa berbohong.
"Lanjutin nonton nya besok aja, lihat sekarang jam berapa. Kamu tidur sana."
"Iya mah."
Setelah tak terdengar lagi suara mama, aku kembali tertawa, kali ini volume nya dikecilkan. Sedangkan Rakan, dia tersenyum, kembali berbicara, "ayo sudah jadwalnya tuan putri untuk tidur. Jika ketahuan, yang bisa aku yang dimarahin."
Aku mengangguk setuju, mematikan laptop, beranjak ke kasur.
●●●
Jam tujuh pagi, aku sudah bersiap, hendak turun ke bawah. Persis saat aku memegang gagang pintu, pintu itu terbuka memperlihatkan mama yang sedikit terkejut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ceŕmin {Eñd}
Short Storycermin itu sangat aneh. Bayangkan saja aku bisa bertemu kembali dengan "dia" lewat cermin rongsokan. Namun lama-kelamaan aku merasakan kejanggalan terhadap sikap orang disekitar. Entah, mungkin karena aku terus saja mengurung diri di kamar atau memb...