Chãp 5

29 6 23
                                    


Papa mengedarkan pandangan nya, dia sedang berdiri tepat di pintu dengan tangan yang terlipat di bawah dada. Tatapan nya terkunci pada bidang datar di sudut lain ruangan. "Kenapa kamu membalikkan cerminnya?" Tanya papa, masih dalam posisi yang sama.

Setelah obat nya sudah tertelan, dan meneguk air di dalam gelas, barulah aku menjawab, "Tidak apa. Hanya malas menatap wajah sendiri." Papa terkekeh sebentar.

Dua menit berjalan.

Aku dalam posisi terbaring di kasur. Hening. Papa dan Mama meninggalkan kamar, membiarkanku beristirahat dengan tenang. Tepat suara hentakan kaki mereka hilang, kembali muncul suara Rakan.

"Alika, kamu sungguh marah padaku?" Aku tidak menanggapi, melainkan membalikkan badan membelakangi cermin.

"Al? Kamu sudah tidur? Yasudah selamat malam, putri." Helaan napas kecewa terdengar. "Sekali lagi, aku minta maaf."

●●●

Ceklek!

Decitan pintu terbuka berhasil membangunkanku. Tapi tetap saja, tidak sepenuhnya jiwaku terbangun. Aku masih mengantuk, maklum, masih dibawah pengaruh obat tidur.

Mata setengah terbuka, masih malam rupanya, lampu tidur di atas nakas masih menerangi seisi kamar. Aku merubah posisi tidur, berusaha menatap orang yang baru saja membuka pintu. Penglihatanku buram, kusipitkan mata agar memperjelas seseorang yang berdiri tepat di samping kasur.

Aku mengernyit. Mama? Aku masih membisu, tidak sanggup untuk berbicara.

Wanita yang amat kucintai sekarang sedang mengambil ponselku diatas nakas. Mengecek sesuatu disana. Beralih tangan nya membuka laci nakas, menemukan beberapa pil obat yang pernah kusembunyikan. Masih ingin melihat kegiatan mama, mata ku kembali terpejam. Sangat rapat.

●●●

"Hoaapp!"

Kali ini sinar sang mentari yang sukses membangunkan ku dari lelap nya tidur. Dalam posisi duduk aku merenggangkan badan sejenak, kembali menguap, dan sesekali mengucek mata. Kini aku berdiri, membuka gorden juga menyangga jendela, membiarkan angin leluasa keluar masuk. Aku melirik pada cermin yang terletak tepat disamping jendela.

"Selamat siang." suara Rakan menyapaku. Cermin masih dalam posisi semalam. Beberapa detik aku terpelonjat kaget. Apa? Siang?

Segera aku menatap jam dinding. Astaga, jam dua. Tidak mempedulikan sapaan dari Rakan, aku langsung beranjak keluar dari kamar.

Langkah telaten menuruni anak tangga, meskipun napas sedikit tersengal. Sisa satu anak tangga terakhir, mata ku menatap seorang pria yang tengah duduk di sofa, menonton televisi. Dari posturnya, dia jelas bukan Papa.

Di detik kemudian, pria itu menoleh. "Kamu?" Aku mematung.

Dia berdiri, tangan nya terbuka lebar diiringi dengan senyuman nya. "Suprise!"

"Cakra? Dari kapan kamu disini? Mama sama Papa mana?"

Dia Cakra Lyraksa, pemuda berbadan tinggi dan sedikit kurus. Surai hitam legam dan manik mata memesona. Dia salah satu sepupuku yang sangat amat modern dari berbagai hal. Umurnya sembilan belas tahun, dua tahun lebih tua dari ku.

"Dari lima belas menit lebih sepuluh detik yang lalu. Bibi menitipkan mu padaku, katanya dia ada urusan penting. Sedangkan paman, entahlah, aku tidak melihatnya sedari datang tadi." Setelah penjelasan nya berhasil ku cerna, aku berlari menghampirinya. Memeluknya.

lepas berpelukan, kembali aku menyerangnya dengan pertanyaan. "Bagaimana keadaanmu? Kenapa kamu jarang datang kesini?"

"Baik-baik saja. Juga, akhir-akhir ini aku sedang sibuk dengan kuliahku." Dia kembali duduk, menikmati siaran yang ada di televisi.

Ceŕmin {Eñd}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang