"Apa-apaan ini?"Aku mematung melihat keadaan kamar. Hening dan gelap, hanya lampu tetangga serta cahaya kilat membantu penerangan. Lagi-lagi suara riuh angin dan gemuruh terdengar. Hujan di luar sana masih sama, deras. Tapi sekarang, atensiku mengarah pada sudut ruangan, tempat cermin bersandar.
Mataku membulat. Seketika jantung berpacu. Cermin itu sudah tergeletak di lantai. Dengan bagian kacanya yang menghadap bawah, beberapa beling berhamburan kemana-mana. Pecah. Gantian tatapan ku teralihkan pada jendela yang berada tepat di samping cermin yang terbuka lebar, terus bergerak, terbuka tertutup kembali terbuka sampai seterusnya.
Tempias air yang masuk dari jendela membasahi lantai serta beberapa perabot. Gorden kamar berkibas bak ingin terbang.
Aku sungguh ceroboh, aku lupa menutup jendela sebelum jalan, jadi angin berhasil masuk dan memporak-porandakan seisi kamar. Tanpa berpikir panjang aku langsung menghampiri cermin. Tangan gemetar mengangkat bidang datar tersebut. Aku menggigit bibir.
Aku kembali tersentak. Aku mengira hanya ada retakan kecil juga beberapa potong beling yang berjatuhan, tapi aku keliru, ini sebuah retakan besar. Beling-beling yang lima kali lebih besar dari sebelum nya berjatuhan dari tempatnya. Retakan merambat ke seluruh bagian. Cermin diberdiri kan seperti semula.
Dengan rasa panik dan gelisah aku mengetuk bidang cermin.
Tokk! Tokk! Tokk!
Tidak ada jawaban. Ayolah Rakan muncul lah. Aku mohon dengan sangat. Belum menyerah, aku masih memikirkan jalan keluarnya. Degup jantung berdetak tak karuan. Aku menyalakan ponsel. Sial! Baterainya habis.
Persis di tengah suasana yang genting, pintu kamar terbuka.
"Alikka, kenapa kamu tidak pulang dengan nak Cakra?" Aku menoleh, menatap mama yang juga kaget dengan kondisi kamar. Dia segera mendekat, menutup jendela yang sedari tadi terus bergerak, lalu mama membantuku berdiri.
Tanpa aba-aba aku memeluk Mama, sangat erat. "Kenapa bisa begini, sayang?" Mama menerima pelukanku.
Aku terus mempererat pelukan, menghiraukan pertanyaan Mama barusan. "Tenang Alikka. Nanti mama bantu beresin kamar nya, ya. Juga besok, mama akan suruh papa buat carikan cermin baru."
"Tidak, bukan itu. Rakan masih terjebak di dalam sana, bagaimana kalau dia tidak bisa keluar gara-gara aku memecahkan cermin nya?"
"Jangan bicara omong kosong."
Aku melepas pelukan, menatap lekat mata mama.
Tanpa sadar intonasi ku berubah tak bersahabat. Wajah memerah. Deru napas tidak beraturan. "Aku berbicara fakta! Rakan ada di dalam sana, tapi sekarang dia tidak muncul."
"Jangan berimajinasi lagi."
"Mama nggak percaya? Aku berkata yang sebenarnya. Aku tidak berimajinasi!"
"CUKUP ALIKKA, CUKUP!" Bungkam. Aku mengerutkan dahi, kenapa mama menangis? Suasana seketika menjadi sentimental.
"Kenapa Mah?"
Mama berucap kembali sambil memegang kedua bahuku, menggoyang-goyangnya, "Jangan bicara lagi! CUKUP!"
Sepersekian detik mama memperingatkanku, dari arah belakang memperlihatkan Papa yang memasuki pintu. Melihat kami yang sedang berdebat.
"Ada apa Ma? Al?" Terlihat wajah papa yang khawatir setelah melihat kondisi kamar serta mama yang sedang menangis.
Tidak ada jawaban dari pertanyaan papa. Melainkan aku kembali melontarkan pertanyaan tiba-tiba padanya. "Pa, apa papa percaya padaku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ceŕmin {Eñd}
Nouvellescermin itu sangat aneh. Bayangkan saja aku bisa bertemu kembali dengan "dia" lewat cermin rongsokan. Namun lama-kelamaan aku merasakan kejanggalan terhadap sikap orang disekitar. Entah, mungkin karena aku terus saja mengurung diri di kamar atau memb...