Rasanya, Masih Membekas

414 62 49
                                    

Aku hanya duduk termenung dikamar, jam diatas nakas menunjukan pukul 11 malam, sudah berkali-kali ponsel ku berdering namun ku abaikan, salah satu nama yang tertera adalah Inggit, mungkin dia disuruh Dimas menghubungiku, lalu kemudian nomor asing ...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku hanya duduk termenung dikamar, jam diatas nakas menunjukan pukul 11 malam, sudah berkali-kali ponsel ku berdering namun ku abaikan, salah satu nama yang tertera adalah Inggit, mungkin dia disuruh Dimas menghubungiku, lalu kemudian nomor asing menghubungi, sudah bisa ditebak itu dari siapa, sudah pasti Dimas.

Dan serius, segala rasa kagumku padanya hilang begitu saja  walaupun saat bibir Dimas menyentuh bibirku, rasanya masih membekas, begitu lekat.

Aku pun memegangi bibir sendiri, mengelusnya, beberapa jam tadi ada yang menyentuhmu dan itu adalah pengalaman ciuman yang luar biasa, seandainya Dimas tidak senaif itu, mungkin ini akan jadi kenangan indah. Ah sial, aku hanya membayangkan betapa hinanya diriku karena dicium suami orang yang sedang bekerja dinegeri seberang.

Tolol, Triss, kamu sangat tolol.

Lelah menyalahkan situasi, aku memilih merebahkan badan, besok kuliah pagi, siangnya bekerja seperti biasa. Ayo Triss, segera lupakan kejadian tadi, toh besok akan kembali seperti semula, karena Dimas sudah tidak ada disini.

Aku menghela napas dengan berat, meskipun mata terpejam, semuanya masih terngiang-ngiang jelas didalam kepala, saat Dimas meraih pipiku, saat Dimas menutup matanya, saat bibir ranumnya—ah sudahlah. Sialan!

Pagi sekali aku mendapatkan pesan dari Laskar, mengingatkan bahwa nanti pukul sebelas mengantarkan rombongan anggota dewan ke bandara untuk pulang, ah tentu saja aku harus berusaha tidak datang.

Aku pun bersiap diri untuk berangkat ke kampus, nanti, pasti ketemu alasan untuk Laskar biar tidak ikut ke bandara. Dapat tugas atau apalah.

Selama dikelas pun aku tidak fokus, terkadang professor yang mengajar didepan tervisualisasikan menjadi Dimas, konyol, kenapa pikiranku jadi serendah ini.

Ingat Triss, kamu boleh menyukainya, tapi kamu tidak berhak memilikinya hanya karena satu ciuman, anggap saja itu adalah tradisi Jerman. Kamu tidak di Indonesia, yang mana hal itu bisa merusak reputasimu dan pak dewan, cukup tebus dosamu dengan berdoa, meminta maaf kepada istri Dimas yang bahkan tidak diketahui siapa namanya.

Hah, lucu sekali saat batin memberiku dukungan.

Perkuliahan berakhir cepat, dan aku memutuskan berkeliling tanpa arah, yang penting sebisa mungkin aku tampak sibuk biar tidak disuruh ikut ke bandara. Dengan segera aku memberitahu Laskar bahwa aku ada tugas mendadak, lalu mengirim pesan ke Inggit juga, kalau aku bakalan telat datang ke KBRI dengan alasan sama. Biar balance.

Dan inilah, tempat yang menjadi pilihan spontan dari pada jalan-jalan tidak jelas, perpustakaan kota, aku akan memilih tempat paling pojok dan membaca beberapa buku tebal tentang komunikasi, semoga saja menambah sedikit ilmu ku dari literasi dadakan ini.

Tapi, yang kulakukan justru menjadikan buku tebal itu alas merebahkan kepala. Ya, lebih baik tidur kan, daripada mau membaca konsetrasinya kemana-mana.

HELLO, DEWAN!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang