Bisakah kita perbaiki dan mulai lagi?

401 63 17
                                    

Malam sebelum berangkat ke Jakarta, Ayah mengajakku berkumpul diruang tengah bersama Ibu yang sudah membuatkan cemilan berupa mendoan dan pisang goreng lengkap dengan tes manis untuk ku dan kopi hitam untuk Ayah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam sebelum berangkat ke Jakarta, Ayah mengajakku berkumpul diruang tengah bersama Ibu yang sudah membuatkan cemilan berupa mendoan dan pisang goreng lengkap dengan tes manis untuk ku dan kopi hitam untuk Ayah. Rumah juga lumayan sepi, Bi Inah sedang pulang karena anaknya sakit. Sedangkan Tria tinggal sama Dewa, meskipun rumahnya satu kompleks, tapi beda blok.

Suara televisi yang menyiarkan sinetron kesukaan ibu pun menghidupkan suasana, sebelum Ayah membuka obrolan sambil mengecilkan volumenya.

“Triss, Ayah percaya sama kamu, kamu bisa jaga diri di Jakarta.” Kenapa tiba-tiba sekali Ayah jadi sok galau gini. “Di Jerman aja kamu bisa mandiri, apalagi cuma di Jakarta ya kan?”

Aku mengangguk sambil mengunyah mendoan. “Iya, Yah.”

“Apalagi ada Sangga, jadi Ayah lebih tenang. Ayah jadi sedih kalau ingat anak-anak Ayah sudah pada besar semua.” Ah Ayah, aku jadi mewek kan. Si Ibu hanya senyum-senyum saja.

“Ibu juga senang kok kalau kamu kerjanya bareng Sangga.”

Ada apa ini, kenapa seolah Sangga menjadi pendamping hidup ku di Jakarta. “Ayah sering tuh mancing sama Sangga, soalnya diajak Dewa, padahal kan dia tinggal di Jakarta, tapi Sangga asli Bandung loh Triss.”

Ya aku sudah tahu Ayah. Sangga asli Bandung. “Pokoknya, Triss bisa jaga diri kok Yah, Buk. Triss juga bakalan sering pulang kalau weekend.”

“Jangan setiap weekend Triss, nanti kamu capek, tapi setidaknya sebulan sekali lah, lagian kalau Ibu sama Ayah kangen kan tinggal ke Jakarta.”

Aku mengangguk, benar juga kata ibu. “Ayah, Ibu, maafin Triss kalau ada salah ya.”

“Anak tuh nggak pernah salah kalau didikan orang tuanya benar, dulu Ayah egois Triss, nggak dukung tujuan hidup mu.” Ayah meraih tanganku dan ditepuk pelan sambil senyum.

Si Ibu terbahak. “Apalagi setelah kamu berangkat, Ayah uring-uringan nyesel, sok mau nyusul tapi pas dengar naik pesawatnya berjam-jam, takut. Setiap kamu telefon juga nguping tapi nggak mau ngomong, labil banget Ayah kamu Triss.”

Ibu tuh kalau disuruh ngejulidin Ayah emang jago, tapi sekeras apapun sikap Ayah, didalam tubuh renta itu penuh dengan kasih sayang untuk putri-putrinya, apalagi Ibu, beliau adalah sosok malaikat yang bakalan dukung apapun yang anaknya lakukan.

Seperti Tria yang memutuskan selesai S2 langsung nikah sama Dewa, untuk beberapa orang tua pasti menyanyangkan, sekolah tinggi-tinggi, kok ujungnya jadi ibu rumah tangga.

Bahkan saat aku lolos beasiswa ke Jerman, ibu bangganya nggak ketolong, sampai bikin story WA yang dimaksudkan untuk pamer. Hahaha, kadang sesimple itu bikin Ibu senang.

Kalau Ayah kan, pemikirannya sedikit rumit dan dalam. Makanya, kaya aku atau Tria, seringnya berantem sama Ayah ketimbang Ibu.

⭕⭕⭕⭕

HELLO, DEWAN!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang