Kania - 2

47 9 0
                                    

Kubuka mataku. Menatap langit-langit kamar yang kelabu. Aku tersenyum.

"Terima kasih, Kak," ucapku sembari turun dari ranjang.

Sejak aku bisa melihat lagi, setiap kubuka mata di pagi hari, aku selalu mengucapkan terima kasih. Kubersyukur bisa melihat kembali dengan mata Kak Kirana yang melekat di tubuhku.

Setelah melakukan ritual pagi, aku langsung bersiap. Beberapa bulan lalu, aku baru mendapatkan ijazah SMA-ku. Kurang lebih dua tahun aku mengikuti pembelajaran paket C.

Sekarang aku sangat bersemangat untuk melanjutkan pendidikanku ke jenjang perkuliahan. Entah mengapa setelah semua yang terjadi, aku ingin menjadi dokter. Sungguh, pekerjaan dokter yang paling mulia menurutku.

Aku mulai menuruni tangga. Mataku langsung menangkap sosok anak kecil yang duduk manis di kursi meja makan. Aku langsung mempercepat langkah, ketika sudah dekat, kubuang tasku ke sembarang arah lalu kuangkat Lintang tinggi-tinggi.

Yup! Lintang namanya. Anak bungsu kakakku yang paling tampan. Kak Kirana menyuruhku untuk memberi nama anaknya. Setelah ku-search di google, langsung kuberi tahu Mamah untuk memberinya nama.

Lintang Pradipta memiliki artinya cahaya yang terang benderang. Kuharap kakakku menyukainya, karena menurutku nama Lintang sangat cocok dengan Kirana. Aku juga berharap, Lintang dapat menjadi cahaya bagi keluarga kami.

Setelah kuangkat, kuhujami wajahnya dengan kecupan. Wajahnya sangat mirip dengan Kak Kirana. Jika kupikir-pikir, Lintang adalah Kak Kirana versi lelaki.

"Lintang-nya tante!" pekikku.

Aku langsung mendudukkan Lintang yang tengah disuapi oleh pengasuhnya. Aku tersenyum tanpa henti melihat pemandangan ruang makan yang ramai.

"Kuliah pagi, Sayang?" tanya Mamah.

"Iya, Mah." Aku duduk di seberangnya lalu tersenyum.

"Oh iya, sebelum ke kampus, bisa antar Adel ke sekolahnya enggak, Kania? Kamu mulai kelas jam berapa?" tanya ayahku.

"Jam 9, Pah. Boleh, emang ada apa, biasanya Kak Reza yang antar?" Aku mengambil nasi goreng dan menuangkannya di piring.

"Adel ada acara berkebun di sekolah, sedangkan ayah pergi ke kantor. Temenin Adel ya, Tante!" jelas Adel menatapku penuh harap.

"Gak mau ah!" godaku debgan wajah sinis yang dibuat-buat.

Adel menatapku tak percaya. Dengan cepat, jari telunjukku menepuk pipi kananku beberapa kali.

Cup!

Adel mencium pipiku. Dengan gemas kutangkup kedua pipi tembam Adel dan menghujaminya ciuman yang sangat banyak.

Semua orang tertawa melihat tingkah kami. Kuharap Kak Kirana juga senang di sana, melihat kami bisa tertawa bersama. Setelah beberapa menit kami melakukan ritual sarapan, kami berangkat.

Di mobil, Adel bernyanyi dan tertawa ria. Terkadang, melihatnya seperti ini membuatku sedih. Seharusnya Kak Kirana yang mengantarnya ke sekolah setiap pagi.

Setelah memakan waktu kurang lebih 15 menit, kami sampai di sekolah Adel. Dia turun dari mobil dengan riang sembari menggandengku. Kami memasuki area sekolah, terlihat banyak teman Adel yang berkerumun di depan kelas, juga beberapa orang tua.

Adel dengan baju olahraga yang melekat di tubuh kini mendekat bergabung. Dia tampak senang, seolah memamerkanku di depan teman-temannya.

"Siapa itu, Del?" tanya salah satu teman Adel sambil menunjukku dan kubalas senyuman.

"Ibu tiri kamu?" celetuk seorang lainnya.

"Ini tante aku. Kenalin namanya Tante Kania," jelas Adel.

"Oh aku kira ibu tiri kamu, Del. Salam kenal, Tante!"

Aku tersenyum sambil terus memikirkan, bagaimana siswa kelas satu sekolah dasar sudah mengetahui istilah 'ibu tiri'?

"Emang ibu tiri itu apa?" tanya Adel polos.

"Ibu tiri itu kalau bapak kamu nikah sama orang lain. Biasanya ibu tiri itu jahat tau, kayak ibu tirinya Bawang Putih," jelas teman Adel yang berkuncir kuda.

"Eh, sudah-sudah. Kok malah bahas ibu tiri? Ayo masuk kelas, setelah itu ke taman belakang sekolah, oke?" celetuk ibu guru yang baru saja sampai.

Seketika semuanya berhamburan masuk ke kelas. Adel melepas genggaman kami lalu mencium punggung tanganku sekilas dan mengikuti teman-temannya.

♡♡♡

Berkali-kali kukibaskan kerah bajuku. Aku kini berada di halte dengan cuaca yang sangat terik. Aku melihat sekilas jam tanganku yang menunjukkan pukul 11 siang. Kutunggu bus yang biasa kunaiki setelah selesai kuliah, namun tak kunjung datang.

Tiba-tiba sebuah pajero berhenti tepat di depanku. Betapa terkejutnya aku ketika kaca mobil dibuka, terpampang wajah Kak Reza yang memberiku kode agar masuk ke dalam mobilnya.

"Ayo!" gertaknya ketika kuragu untuk membuka pintu mobil.

Aku mulai memasangkan sabuk pengaman, sesaat kemudian mobil pun melaju. Sejak Kak Kirana meninggal, Kak Reza enggan menatapku, bahkan untuk menyapa saja jarang. Persetan apa yang membuat Kak Reza rela menjemputku?

"Kak," panggilku yang dibalas deheman.

"Kenapa?" tanyaku sambil memainkan ujung bajuku.

"Aku akan melamarmu."

Mendadak duniaku seakan berhenti berputar. Mataku melebar, dengan cepat kutolehkan kepalaku menghadapnya.

"HAH?"

Bodoh memang, ketika semua yang diucapkan Kak Reza, aku hanya menjawab 'hah'. Tapi sungguh, apa ada sesuatu yang menyumpal di telingaku?

Dengan kasar dia melemparkan sebuah buku berwarna biru muda hingga hampir saja mengenai wajahku. Dengan tergesa-gesa aku membuka buku itu tepat di bagian yang sudah dibatasi oleh sesuatu.

Kulihat di sana sebuah foto hasil USG dan foto Adel, serta tulisan rapi di lembar buku tersebut. Tulisan ... Kak Kirana.

June 12, 2018

I hope everything it's OK, but my feelings do not say like that.
Jika aku tidak bisa menemanimu tumbuh dewasa, Nak, Bunda harap kamu mendapat ibu pengganti yang lebih baik.
Dan jika, kamu membacanya, Reza, jadikan Kania untuk menggantikan diriku. Aku akan sangat senang.

Tak terasa air mataku menetes. Aku mulai terisak, dengan gemetar, kututup kembali buku itu lalu memeluknya erat. Aku teringat, di mana Adel yang sepertinya akan membenci 'ibu tiri'. Bagaimana jika dia tahu kalau aku akan menjadi ibu tirinya?

"Aku harap kamu menerima lamaranku. Ini semua demi Kirana, dia yang meminta itu. Jadi, jangan salahkan bila aku tak bisa mencintaimu, Kania."

Untuk pertama kalinya, Kak Reza menatap wajahku lekat-lekat. Bukan, bukan. Dia menatap mata indah Kak Kirana.

Tuhan, cobaan apa lagi ini?

Kak Kirana, bolehkah aku menentang permintaanmu, kali ini saja?

TBC.

Tentang Tiga Hati (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang