Dari tadi kiremas kuat ujung baju sembari menunduk. Sedangkan Kak Reza dengan wajah datar melajukan mobil hingga sampai di depan rumahku.
Napasku memburu. Apa lagi Kak Reza kini berlari memutari mobilnya lalu membukakan pintu untukku. Aku canggung. Bahkan, tangannya melayang di udara untuk memegangiku. Sungguh, aku tidak nyaman.
"Aku bisa sendiri," lirihku menatap nanar tangan Kak Reza.
Dengan tatapan menusuknya, Kak Reza merampas tanganku lalu menariknya kasar. Setelah sudah keluar, aku dibuat terkejut karena dia membanting pintu dengan kuat.
"Jangan memaksaku untuk berbuat kasar, Kania," ancamnya.
Ingin sekali aku menangis sejadi-jadinya. Tergopoh-gopoh aku menyamai langkah lebar miliknya. Sungguh, aku berharap kedua orang tuaku tak merestui.
Ketika sudah sampai di depan pintu. Raut wajah Kak Reza berubah, dengan lembut dia mengetuk lalu memberi salam sambil terus menggenggam tanganku.
Terlihat ada Mamah menbukakan pintu untuk kami. Terpaksa, aku tersenyum hangat disusul dengan langkah pertamaku memasuki rumah ini. Aku tercekat ketika melihat Tante Linda, juga Lintang dan ... Adel berkumpul bersama ayah ibuku.
Demi apa pun, bagaimana bisa Kak Reza memperbolehkan Adel mendengar obrolan tentang dia ingin melamarku? Dengan nyalang, aku melirik Kak Reza sebentar seolah berkata, "Bagaimana ini?"
Sekilas aku melihat Adel yang menatap tangan kami yang terpaut. Dengan segera aku memberontak agar sabg empu melepaskan tanganku, namun yang ada tanganku malah bertambah sakit karena Kak Reza mencengkeramku sangat kuat.
"Tante Kania kenapa?" tanya Adel, dia pasti melihat ekspresi kesakutanku tadi.
Aku tersenyum paksa sambil menggeleng pelan. Lidahku kelu untuk berkata satu kata pun padanya. Kami akhirnya duduk, tepat di seberang meja yang membatasi antara kami dan ayah ibuku.
"Reza, kenapa megangin tangan Kania terus? Mau nyebrang?" tanya Linda yang dibalas senyuman kikuk dariku.
"Iya, Ja? Kamu tadi jemput Kania atau gimana?" tanya ibuku.
"Kami akan menikah," balas Reza to the point.
Tangan kiriku debgan kuat meremas ujung bajuku sambil mengigit bibir bawahku hingga kurasakan rasa getir dari luka yabg kuperbuat.
"Kok tiba-tiba?" tanya ayahku.
Aju tidak kuat berada di posisi seperti ini. Ketika aku ingin berdiri, tanganku diremas kuat-kuat olehnya. Aku meringis dalam diam, nyatanya kekuatanku tak sebanding dengannya.
"Iya, Pah. Restui kami."
Kulihat Tante Linda dan kedua orang tuaku saling memandang. Sedangkan di samping mereka ada Adel yang sedari tadi duduk diam seolah mencerna apa yang dikatan Reza tadi.
"Ibu tiri itu kalau bapak kamu nikah sama orang lain. Biasanya ibu tiri itu jahat tau, kayak ibu tirinya Bawang Putih."
Kalimat teman sekolah Adel terngiang di kepalaku. Bagaimana jika dia benar-benar membenciku? Argh!
"Kalian serius?" tanya Tante Linda.
Kak Reza mengangguk tegas laku berkata, "Restui kami, Mah."
"Kalau kamu siap, Mamah setuju. Tapi Mamah juga mikir, Kania 'kan masih kuliah, apa gak ganggu?" jelasnya.
Baru saja aku akan menjawab karena keberatan dengan keputusan Kak Reza, tiba-tiba dia menyela, "Enggak ganggu, kok, Mah. Kalau Papah sama Ibu, bagaimana?"
Kedua orang tuaku saling pandang. Dengan senyum hangat, ayahku berkata, "Kalau kami, sih, terserah Kania, Nak. Kalau dia setuju, kami juga restui."
"Apa lagi, Kania 'kan sudah deket banget sama Adel dan Lintang. Mamah pikir itu akan lebih bagus kalau kalian menikah," jelas ibuku sambil mengelus rambut Adel.
"Kalau Tante Kania sama Ayah nikah, berarti Adel sama Lintang punya ibu tiri?" tanya Adel polos.
Sudah kuduga seperti ini jadinya. Dengan lemah aku mengangguk di antara wajah terkejut kakek neneknya.
"Gak mau! Adel gak mau punya ibu tiri! Kata temen Adel, ibu tiri itu jahat, nanti kalau Adel sama Lintang dijahatin gimana?" protes Adel dengan mata berkaca-kaca.
"Adel kok ngomong gitu? Tante Kania 'kan baik, masa iya jahatin kalian?" tanya Tante Linda dengan lembut.
"Iya, Adel. Mana mungkin Tante Kania jahatin kalian?" celetuk ayahku.
"Kalau aku bilang gak mau, ya, gak mau!" pekik Adel kemudian berlari entah ke mana.
Reza dengan gesit menyusul Adel yang sepertinya pergi ke taman belakang. Kutatap nanar pergelangan tanganku yang memerah. Sedikit perih dengan beberapa bekas kuku yang menancap cukup lama.
"Kenapa kalian gak ngomong dulu sama Adel? Kasian 'kan jadinya?" ucap Tante Linda.
"Maaf. Aku ke kamar dulu," balasku lirih kemudian pergi tanpa menatap mereka.
Aku menaiki tangga dengan terburu-buru, ketika sampai di kamar, aku langsung menutup pintu lalu menguncinya. Aku meliruh di lantai. Kulipat kedua lututku lalu kusembunyikan isakan di sana.
Adel membenciku, masih terekam dengan jelas kekecewaan di mata Adel tadi. Aku mulai bangkit, dengan gontai kuberjalan ke arah jendela yang terbuka lebar. Kututup semua jendela dan gorden tanpa menyisakan celah yang memungkinkan cahaya masuk.
"Kak, meski aku sudah bisa melihat, sepertinya aku akan tetap buta dan kian masuk dalam kegelapan." Kurebahkan tubuhku di kasur, perlahan mataku tertutup sembari memeluk erat buku diary Kak Kirana.
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Tiga Hati (Slow Update)
Roman d'amour(Sequel Kirana) Kisah ini diciptakan dengan cara berbeda. Berbagai sudut pandang dikerahkan dalam satu peristiwa. Ini bukan kisah asmara. Ini tentang kami. Ada yang dirundung penyesalan. Ada yang tengah diselimuti kekecewaan. Bahkan ada pula yang di...