Kania - 6

28 7 3
                                    

Subuh-subuh aku bangun, dan sarapan sudah tersusun rapi di meja makan kurang dari pukul enam pagi. Tentu aku yang memasaknya. Perdana, nih, masakan untuk suami dan anakku.

Yang membuatku khawatir sekarang karena kak Reza tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Aku tidak tahu pasti dia bangun pukul berapa setiap harinya. Tapi semalam aku memergoki kak Reza dipapah oleh supir sampai kamarnya. Dan ketika kubertanya, sang supir menjawab kalau kak Reza mabuk. Dan katanya lagi, kak Reza sudah sering pulang mabuk seperti semalam.

Mendadak hatiku mencelos, apa hidupnya semakin tak beraturan seperti ini sejak kematian kakakku? Kak Reza pasti sangat membenciku karena Kak Kirana memercayakan kedua matanya untukku. Bukankah menyakitkan ketika melihatku setiap hari? Mengapa dia malah menikahiku? Bisa saja kak Reza menolak mentah-mentah permintaanku, 'kan? Atau, tidak ada jalan lain?

"Kak?" panggilku ketika sampai di depan pintu kamarnya.

Nekat, aku membuka pelan kenop pintu yang ternyata tidak dikunci. Aku membatu ketika ruangan itu jauh dari kata rapi. Aku mulai memunguti satu per satu pakaian, sepatu, kaos kaki dan lainnya ke dalam keranjang baju kotor.

Aku berdiri tegak seraya mendongak kala sebuah pigura besar tepat di depanku. Foto pernikahan kak Reza dan kak Kirana terpajang rapi di sana. Setelah beberapa deyik tertegun karena kecantikan kakakku, kakiku mulai melangkah menuju meja rias.

Ada buku biru di sana. Aku ingat, itu buku diary kak Kirana yang waktu itu kak Reza ambil paksa dariku. Memang bukan hakku untuk menyimpan buku itu, tapi tak perlu merebutnya secara kasar, bukan? Rasa penasaranku memuncak kala ada sesuatu yang terselip di sela buku itu.

"Apa ini?"

Aku bertanya pelan sesaat setelah duduk di kursi rias. Aku membuka buku itu tepat di kertas hitam kecil yang terselip. Setelah dibuka ternyata ada foto hasil USG Lintang dan foto Adel yang tengah tersenyum di taman.

"Oh iya, emang ada ini, 'kan, di sini?" tanyaku sambil tersenyum.

Aku mencoba membuka halaman buku itu dari awal, namun yang kudapatkan bukan curahan hati kak Kirana. Tapi, tulisan tangan yang sama berulang-ulang. Seperti tengah latihan meniru tulisan tangan orang lain.

"Apa ini?" tanyaku mengerutkan dahi.

"Kenapa kamu di sini?" Suara dingin itu disusul bayangan kak Reza di pantulan cermin membuatku terkejut.

"Jelaskan apa maksudnya ini?" tanyaku memaksa jawaban.

"Kamu cukup bodoh untuk aku bohongi, Kania," ucapnya mengalun pelan di telingaku.

"Apa maksudmu, Kak? Kenapa ada banyak tulisan kak Kirana yang sama, berulang-ulang? Ini kayak seseorang lagi meniru tulisan kakakku."

"Memang benar. Aku yang menirunya, agar kamu percaya bahwa Kirana menginginkan pernikahan ini." Kak Reza menatap sayu di pantulan cermin seraya mengusap lembut rambutku dan memainkannya.

"Jadi ...." Ucapanku tertahan. Bibirku kelu untuk mengatakan kenyataan pahit ini.

"Benar, aku yang menginginkan pernikahan ini. Untuk membalas dendam karena telah membuat istri kesayanganku tersiksa."

Aku kerasakan sesuatu mengalir dari pelupuk mataku, saat itu juga rambutku ditarik paksa oleh kak Reza. Dia menatap mataku tajam.

"Jangan pernah menangis dengan mata indah itu!" gertaknya.

Aku hanya bisa meringis, kepalaku sakit bukan main. "Kenapa kamu setega itu, Kak? Bukankah aku sudah menerima akibatnya debgan buta lima tahun. Aku bahkan sudah memohon maaf padamu, pada kak Kinar juga. Aku—"

"Kenapa? Gak terima?" ucapnya cepat memotong kalimatku seraya menaikkan alisnya. "Kamu mau jadi istriku seutuhnya? Sini aku ajari."

Aku tertatih karena kak Reza dengan teganya menyeretku ke arah tempat tidur oversize miliknya. Setelah puas menyeretku bak seonggok hewan tak berguna. Dia kemudian mengangkat lalu membanting tubuhku di atas kasur, kak Reza mulai menindihku secara tiba-tiba.

Tanganku tertahan, bibirku tertawan, aku mulai tersadar saat aku mencium aroma alkohol yang cukup kuat. Aku meronta dengan mata memerah. Sungguh, aku ingin muntah.

Napasku terengah dengan wajah merah padam saat tautan bibir kami terlepas. Aku mencari kesempatan untuk lari saat kak Reza lengah. Tanganku menahan kuat keinginan muntahku sekarang. Aku membulatkan mata ketika kak Reza tanpa malunya mrmbuka kancing kemejanya satu per satu, juga celananya. Aku turun dengan cepat dan berlari menuruni tangga.

Aku beringsut menuju kamar mandi kamarku. Memuntahkan semua isi perutku membuat tubuhku lemas bukan main. Segera kuambil sikat gigi lalu membubuhinya dengan banyak pasta gigi.

Aku terkulai di bawah wastafel. Mulutku sekarang pedas karena terlalu banyak menggosokkan pasta gigi.

"Setidaknya rasa alkohol itu sudah hilang," gumamku.

Aku tidak habis pikir, kenapa sulit sekali menghilangkan rasa alkohol itu. Sampai-sampai aku harus menggosok gigi dua kali. Seberapa banyak kak Reza minum? Memikirkannya saja sudah membuatku pusing.

♡♡♡

Aku duduk di seberang Adel yang tengah memakan nasi gorengnya. Walau tadi dia bilang tidak akan memakannya karena aku yang membuat, aku cukup senang sekarang dia sangat lahap. Sedangkan Lintang belum bangun saat ini, dia terlihat lucu saat kutengok di kamarnya.

Badanku menegak, saat kak Reza datang ke meja makan dan langsung duduk di kepala meja. Aku berdiri lalu menaruh dua centong penuh nasi goreng di piring kak Reza.

"Ini buatanmu?" tanyanya membuatku mrngangguk.

Aku duduk, dan memerhatikannya memasukkan satu sendok nasi goreng ke dalam mulutnya. Kupikir dia akan memakannya dan membuatku lega, namun yang terjadi justru sebaliknya.

Dia mengeluarkan kembali nasi goreng dari mulutnya laku segera menenggak air putih segelas penuh.

"Kena—"

"Kenapa?! Kenapa kamu bilang?! Makanan macam apa ini, hah!" geramnya.

Prang!

Aku terlonjak kala piring itu dilempar ke lantai hingga pecah berkeping-keping dan membuat telingaku pengang.

"Setidaknya beritahu aku—"

"INI KEASINAN! LIDAHMU MATI RASA, HAH?!"

Aku menatap Adel yang kini terperanjat karena suara keras ayahnya.

"Kak!" Aku berusaha menegur atau amarah kak Reza memuncak dan sulit dipadamkan.

"BERANI KAMU?!" Tangan kak Reza mulai melayang, dan aku hanya bisa mmemejamkan  mata pasrah.

"Ayah!" pekik Adel membuatku membuka mata, wajahnya masih menampakkan keterkejutan.

"Sayang, astaghfirullah. Maaf, Nak." Kak Reza segera berlutut di depan Adel lalu menciumi punggung tangannya berkali-kali.

"Kenapa Ayah marah-marah gitu? Makanan Tante Kania gak keasinan, kok. Aku aja doyan."

Aku terperangah. Adel yang membenciku kini membelaku di depan kak Reza?

"Ayah tau. Tapi bagi Ayah itu keasinan. Ayah makan di kantor aja. Ayo, cepat habisin nasi gorengnya, kita berangkat sekarang."

Adel menampakkan senyum lalu segera menghabiskan nasi goreng di piringnya yang berkisar satu suapan lagi.

"Terima kasih," ucapku tanpa suara ketika Adel menatapku sebelum menenteng tasnya dan berjalan menjauh.

TBC.

Tentang Tiga Hati (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang