Kania - 9

10 6 1
                                    

Aku membuka mata. Seketika ruangan bernuansa putih dan tak berujung menyapaku. Dingin dan hampa. Aku baru teringat kalau aku mrngalami kecelakaan. Kuraba tubuhku sepenuhnya, tak ada yang kurang.

Lalu ... ini di mana?

"Kania," panggil seseorang dari belakang.

Aku langsung membalikkan tubuh. Mataku membelalak. Tubuhku kaku, dan air mata mulai mrngalir tanpa bisa kucegah. Kak Kirana ada di depanku. Kulihat dia merentangkan kedua tangannya lebar-lebar membuatku memacu kecepatan untuk berlari ke arahnya.

"Kak! Ini beneran?" tanyaku seraya memeluk erat, seolah, aku tak mau kehilangan dia lagi.

"Kania, terima kasih sudah nyelamatin Adel. Aku aku—"

"Aku bersyukur Adel gak papa. Semisal aku mati pun, aku gak papa, Kak. Asal, Adel selamat," potongku cepat.

"Kamu gak seharusnya ngomong gitu. Hidupmu masih panjang, Kania."

Kak Kirana melepas pelukan kami sebentar lalu menangkup wajahku yang sudah entah bagaimana keadaannya.

"Adel dan Lintang, Reza juga, butuh kamu," ucapnya lalu mengusap air mataku yang turun dengan ibu jarinya.

"Kenapa, Kak?" tanyaku.

"Hm?"

"Kenapa harus aku? Aku gak bisa jadi yang terbaik buat mereka. Hanya kak Kinar yang bisa." Aku mengusap kasar air mata yang berjatuhan itu dengan punggung tangan.

Mengingat perlakuan kak Reza, dan Adel, aku tak yakin bisa melakukan yang terbaik untuk mereka. Menjadi istri yang baik, ibu yang baik, itu semua sulit.

"Tapi kamu rela ngorbanin diri kamu buat nyelametin anak yang bahkan bukan anak kandung kamu."

Aku menggeleng. "Mereka anak kak Kinar, entah aku berakhir dengan kak Reza atau engga, aku bakal ngelakuin yang sama buat Adel."

"Aku sayang mereka," ucapku jujur.

Kak Kirana menarik wajahku, lalu berkata, "kamu udah ngelakuin yang terbaik, Kania. Aku yang sangat berterima kasih, walau tau Reza ngelakuin amanatku buat balas dendam, kamu gak ada niatan buat keluar dari lingakaran itu. Aku gak tau kalau Reza bakal seperti ini. Kupikir, kamu orang yang tepat buat mendampingi mereka selepas aku pergi."

Aku tersenyum. "Gak papa, Kak. Kak Reza wajar begitu. Aku yang seharusnya sadar bahwa gak ada tempatku di sana."

"Kania, kamu harus tau sekejer apa Reza saat menungguimu di luar ruang ICU," ucap kak Kinar.

Aku mengerutkan kening. "Aku ... masih hidup?"

"Masih, kamu hanya perlu bangun dan buat papah, mamah ga khawatir lagi."

Aku terdiam, bahkan saat kak Kirana menarik tanganku untuk pergi. Aku berpikir, bukankah mati pilihan terbaik?

"Jangan pernah ada pikiran untuk mati, Kania!" teriak kak Kirana.

Aku mendongak. "Tapi, buat apa aku hidup?"

Tiba-tiba kak Kirana memelukku erat. Saking eratnya, sampai aku sesak napas.

"Dua semester lagi kamu bakal jadi dokter, 'kan? Wujudkan itu demi aku," ucapnya.

Sesak dan kaku. Sekujur tubuhku serasa mati rasa di saat aku sadar bahwa kak Kirana sudah tak ada dalam dekapan. Suara elektrokardiograf terdengar memekakan telinga, disusul suara seorang perawat berkata kalau aku sudah siuman.

♡♡♡

Sudah satu minggu lamanya aku di rumah sakit, setelah keadaanku membaik, aku dipindahkan ke ruang rawat. Ayah dan ibuku bergantian untuk menjaga, namun aku sudah sampai seperti ini pun kak Reza tak menunjukkan batang hidungnya untuk sekadar menjengukku.

Tentang Tiga Hati (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang