Part 3

3.5K 110 2
                                    

“Apalah arti raga tanpa jiwa, dan apalah arti jiwa tanpa raga.”

.

.

.

Rumah

*Allysa POV*

Setelah menemani wanita itu cukup lama, sekarang aku bergegas pulang ke rumah. Segera mandi kemudian berkutat dengan perangkat komputerku di meja. Aku teringat sama sekali belum menyentuhnya sejak kemarin, dan terbesit untuk membuka situs favoritku.

Nampak beberapa notif baru yang belum kubuka dari kemarin, itu artinya seseorang mulai meluncurkan artikel baru mereka. Kubuka beberapa notif baru itu, kemudian aku menemukan komentar dari seseorang sejak satu hari yang lalu. Lagi-lagi beberapa pengguna saling beradu argumen untuk menunjukkan bahwa pemikiran mereka yang paling benar.

Aku mengetikkan beberapa balasan di kolom komentar itu untuk meninggalkan jejak, dirasa telah puas berkutat dengan situs tersebut aku menutupnya dan bermain game andalanku. Ketika aku sedang fokus untuk meningkatkan posisiku, seseorang masuk ke dalam kamarku secara tiba-tiba dan membuat kebisingan. Tidak perlu ditanya lagi siapa orangnya, sudah pasti si tetangga sebelah.

“Ecchan! Kenapa kamu pulang selarut ini, sedari tadi aku menunggu bahkan kamu mengunci semua akses ke dalam rumahmu!” Protes orang tersebut.

“Berisik sekali, lagi pula itu hal yang wajar bukan.” Jawabku malas dan masih berfokus pada permainanku.

“Ciih!” Kesalnya.

“Ecchan, tidak baik loh bermain game sampai begadang. Itu bisa mempengaruhi kesehatanmu juga cara bekerja otakmu, bagaimana kalau nanti nilaimu turun.” Ujarnya.

“Tenang saja, mitos seperti itu tidak berlaku terhadapku, nilaiku selalu sempurna.” Ucapku datar.

“Aku benar-benar iri terhadapmu, bagaimana bisa kamu selalu mendapat nilai sempurna setiap ujian padahal yang kau lakukan hanya bermain game dan menjelajahi situs internet semalaman.” Keluhnya.

“Apa aku harus menunjukkan sesuatu agar orang lain tau aku memang jenius yang pintar.” Sarkasku.

“Tidak seperti itu juga sih, tapi sungguh berbanding terbalik ketika kamu berada di sekolah.” Ujarnya dengan tersenyum kecut.

“Hm?” Sahutku meminta penjelasan.

“Habisnya, aku seperti melihat dua orang yang berbeda. Ecchan yang dipuja di sekolah sebagai siswi jenius, pendiam, anggun, dan sangat sempurna. Tetapi di rumah ia hanyalah seorang weebs antisosial, yang bahkan enggan untuk keluar rumah maupun menyapa seseorang.” Ujarnya.

“Memangnya apa yang orang lain harapkan dariku?” Ujarku enggan, dan mematikan perangkat komputerku.

“Ya, setidaknya aku senang karna menjadi satu-satunya orang yang mengetahui segalanya tentangmu.” Ucapnya dengan senyuman bodoh.

“Begitukah?” Tanyaku datar.

“Tentu, aku sangat senang menjadi sahabatmu!” Jawabnya antusias.

“Baiklah, sekarang sudah malam. Kembalilah ke habitatmu.” Ucapku.

“Jahat sekali!” Ucapnya dengan nada dibuat-buat.

“Oh iya, besok ada pelajaran olah raga, jangan lupa membawa seragam juga peralatannya. Materi untuk besok adalah badminton, aku akan berpasangan denganmu.” Ujarnya mengingatkan.

Bad Story, Bad RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang