2 | Putri Tersayang

309 44 0
                                    

Namaku Adisti, panjangnya adalah Adisti Hanasta Pradipta. Putri sulung kesayangan Papa Pradipta, seorang perwira TNI AD yang gagah perkasa. Perempuan bersurai hitam legam dengan panjang sepinggang yang baru saja menginjak usia kepala dua.

Perempuan dari dunia yang serba modern dan praktis. Aku akan menyetak tebal serta miring kalimat itu setelah aku kembali!

Kembali?

Iya, kembali ke dunia modernku.

Tidak pernah terlintas sekalipun dikepalaku bahwa aku akan merasakan hidup diabad ke-14. Lebih tepatnya, pada masa Kerajaan Majapahit tahun 1356 dibawah kekuasaan Maharaja Hayam Wuruk yang termashyur itu.

B

agaimana bisa manusia semodern diriku ini terjebak ke abad 14? Terlebih harus seatap dengan pria tua pemarah yang sialnya adalah ayah dari pemilik tubuh yang aku tinggali ini.


.


Kini aku merasuki tubuh Raden Ajeng Adisti.

Menurut dari cerita dayang yang sudah lama bekerja di kediaman ini, aku adalah putri semata wayang dari Tabib Yasa.

Ayahku membenci diriku, sebab katanya akulah penyebab dari kematian ibu. Dan ia bersumpah akan membenciku sampai akhir hayatnya.

Aku tidak tau apa yang dipikirkan ayahku sehingga berpikir seperti itu. Aku pun tidak mendapatkan ingatan masa lalu milik Raden Ajeng Adisti. Aku tidak mengetahui lebih banyak tentang hidup perempuan malang ini. Yang aku tau, Adisti ini sangat takut dengan pedang, seperti memiliki trauma mendalam.

.


Kuhitung, hari ini merupakan hari ketiga aku berada di dunia ini. Aku sudah melakukan percobaan menyeburkan diri ke sungai selama beberapa kali, namun kenyataannya aku masih berada di dunia ini. Bagaimana caranya aku pulang?

"Ndoro Adisti!"

"Ya gusti, ndoro ajeng!"

Samar-samar aku dengar para dayang berteriak memanggilku. Telingaku berdenging, kupikir air sungai itu mulai berlomba-lomba memasukiku. Pernapasanku pun sudah tersenggal-senggal.

Aku berkata dalam hati berulang kali, "aku ingin pulang ke dunia di mana aku seharusnya berada."

Aku memasrahkan diriku, aku terus berdoa barangkali percobaanku yang ke-dua puluh kali ini membuahkan hasil.

"ADISTI!"

Teriakan penuh kemarahan itu, aku mengenalnya dengan jelas. Teriakan yang memenuhi telingaku hampir tiga kali dalam sehari, teriakan khas sang ayah yang memanggil putri semata wayangnya, Tabib Yasa.

Aku mengacuhkan panggilan itu. Mataku tertutup rapat, aku mencoba meneguhkan hatiku yang mulai ragu, membayangkan bagaimana jika aku mati di dunia ini dan tidak kembali lagi?

Lalu, sedikit demi sedikit kesadaranku menghilang.







.

Uhuk! Uhuk!

Aku terbatuk berulang kali. Rasanya seluruh tubuhku terisi oleh air.

Uhuk!

Aku merasakan sebuah tangan membantuku untuk bangkit dari tidur. Aku terbatuk sekali lagi, namun kali ini rasanya sudah lebih baik walau hidungku masih terasa amat sakit.

Aku mengedipkan mata untuk memastikan yang kulihat. Orang-orang ini lagi?

Sialan, butuh berapa kali percobaan lagi sampai aku kembali ke rumahku? Ayah dan bunda pasti sangat merindukanku.

"Anak bodoh!" aku terperanjat.

Oh ayolah, sebagai seorang tabib yang sudah menggeluti bidang itu sampai bertahun-tahun, memang boleh membentak pasien yang baru saja tersadar dari pingsannya?

"Semuanya keluar. Aku perlu berbicara berdua dengan anakku." mendengar perintah dari tuannya, para dayang pribadiku dan seorang pengawal bergegas meninggalkan kamar ini.

Aku bangkit dari ranjangku dan bersimpuh di hadapan ayahku yang mendudukkan diri di bangku rotan di ujung ruangan, "ampun romo." lirihku.

Aku menyatukan kedua telapak tanganku dan menaruhnya di atas tulang hidungku.

"Apa maumu nduk?" Tabib Yasa bangkit dari duduknya dan berjalan menjauh, "kamu sengaja ingin menarik perhatian romo sehingga menyeburkan dirimu berkali-kali kedalam sungai?"

Tidak juga. Untuk apa aku susah payah menarik perhatiannya. Pekikku dalam hati.

"Jawab romomu, Adisti!" Tabib Yasa kembali membentakku.

"Ampun, romo. Diajeng ndak bermaksud menarik perhatian romo. Diajeng hanya terpleset saat sedang bermain di pinggir sungai." belaku.

"Terpleset apa nduk? Ini sudah kesekian kalinya. Kamu pikir romo bakal percaya perkataanmu?" balas Tabib Yasa, "kekanakan sekali."

Aku mengerutkan dahiku, tanda tak suka dengan ucapan yang dikeluarkan oleh ayah. Aku tidak kenakan-kanakan, aku hanya ingin pulang ke rumahku tau!

"Mulai detik ini, romo akan menaruh satu pengawal di sisimu."

Mulutku terbuka, hendak memprotes.

"Romo ndak terima protes! Romo akan titahkan Djagat sebagai pengawalmu."

Pria itu, pengawal kepercayaan romo yang gagah dan tampan. Tetapi menempatkan dirinya di sisiku setiap hari sepertinya aku tidak berminat. Ingat saat kubilang tubuh Adisti memiliki trauma terhadap pedang?

Bagaimana bisa romo menempatkan Djagat, pria yang selalu membawa pedang bersamanya itu di sisi putri semata wayangnya yang takut terhadap pedang?

Aku berjalan jongkok mengejar romo yang hendak pergi, "ampuni diajeng, romo. Ampuni diajeng." mohonku seraya memegang tangannya.

"Ndak, Adisti. Akan lebih berbahaya jika kamu dibiarkan sendiri. Kamu akan kembali mencoreng nama baik romo."

"Ampuni, romo..." tubuhku bergetar, air mataku pun berlomba-lomba membasahi mata dan wajahku. Membayangkan Djagat saja sudah sangat mengerikan, "tolong setidaknya singkirkan pedangnya, romo. Diajeng takut sekali." Aku kembali memohon.

Romo menepis genggaman tanganku. Tetapi, aku tidak peduli, aku menggenggamnya sekali lagi. Aku akan memohon sekuat tenaga. Aku akan menerima jika ia menaruh Djagat di sisiku, tapi tidak dengan pedangnya.

"Diajeng mohon, romo."

Romo kembali menepisku, kemudian menghela napas panjang. Ia membalikkan badannya dan pergi meninggalkan kamar ini tanpa menoleh sedikitpun ke arahku.

Dasar bajingan!







To Be Continue.

To Be Continue

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 28 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Into The Book [Republish]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang