Blueness

18 1 2
                                    

Kami saling bertemu di sebuah halte bus di sebrang rel kereta. Ia dan kedua temannya mengenakan seragam SMP, sementara aku sudah SMA. Entah mengapa aku tertarik menyapanya, karena wajah anak itu dan perempuan berambut panjang di sebelahnya sangat mirip.

“Eh, kalian kembar ya?” Tanyaku.

Respon pertama, ketiga anak itu menatapku. Lalu kemudian anak perempuan dan teman yang sedang minum es teh di sebelahnya tertawa bersama.

“Kakak tahu darimana kalau kami kembar?” Tanya anak perempuan itu.

 “Wajah kalian mirip.” Jawabku seadanya. Nyatanya mereka berdua memang mirip.

 “Kakak orang pertama yang bilang kita mirip.” Kata dia dengan mata berbinar.

 “Tapi emang mirip kok. Beneran kembar kan?” aku memastikan.

 “Benar. Kami kembar." Jawabnya. “Dia Julian, dan aku Jenita. Kalau ini Beno, dia tetangga kita.” Lanjut anak perempuan itu menjelaskan.

 “Aku Sukma.” Kataku menyebutkan namaku. “Kalian mau kemana?” tanyaku kemudian.

“Kami mau pulang. Nunggu angkutan umum.” Jawab Beno. Kini es teh di tangannya sudah habis.

“Oh sama kalau begitu.” Balasku. Kemudian kami sama-sama terdiam.

Sambil menunggu angkutan umum, aku memperhatikan mereka. Terutama Julian yang tidak mengeluarkan kata atau ekspresi apapun. Julian hanya memperhatikan apa yang kami katakan. Anak laki-laki berwajah tampan itu seolah tidak tertarik dengan percakapan kami, walau aku tidak tahu bagaimana isi hatinya.

Berbeda dengan Jenita yang sangat senang saat aku berbicara padanya. Matanya yang indah seolah terlihat bercahaya. Sementara Beno yang terus menempel pada Jenita, terlihat seperti pribadi yang menyenangkan.

“Kak, apa kami benar mirip?” tanya Jenita sekali lagi saat aku asyik memperhatikan mereka.

“Iya.” Jawabku

“Syukurlah. Lihat Beno, kak Sukma bilang kami mirip. Kau senang kan Lian?” Jenita bicara pada Julian. Ia menatapku dengan mata yang teduh, kemudian mengangguk. Tidak ada tanda-tanda kesenangan di wajahnya.

“Tuh angkotnya dateng, ayo naik.” Ajak Beno yang akhirnya memutus kontak mata antara aku dan Julian.

Setelah kami naik, mobil angkutan umum mulai berjalan. Aku duduk di kursi paling ujung. Tepatnya di belakang supir. Di sebelahku Julian duduk dengan posisi yang tidak nyaman. Aku baru sadar kalau ia sangat tinggi. Bahkan mungkin beda 10 cm dibandingkan aku. Di sebelahnya ada Jenita dan Beno yang masih asyik mengobrol, seolah dunia hanya milik mereka berdua.

Mobil angkutan sesekali melaju kencang dan kadang memelan. Terkadang berhenti untuk mengambil dan menurunkan penumpang. Semakin banyak, semakin sesak, aku dan Julian akhirnya harus menempel. Lengan kami bahkan bersentuhan dan aku bisa merasakan kulitnya yang lembab, juga wangi yang belum pernah kuhirup sebelumnya.

Mobil angkutan berjalan lagi dan aku hanya bisa melamun sambil pasrah menerima keadaan. Sesekali menatap ke kanan dan ke kiri, takut-takut jalan menuju rumahku terlewat karena angkutan yang sesak ini.

“Kak, mau turun dimana?” tanya Jenita.

“Aku turun di Jalan X.” Jawabku.

“Ohh.. dimana itu jalan X. Aku belum pernah dengar.” Jenita bergumam.

Aku tidak menjawabnya karena aku sendiri sekarang sedang kebingungan. Nampaknya tujuanku memang sudah terlewat. Anehnya aku malah melihat sungai. Sepertinya angkutan ini tidak lewat jalan yang biasanya. Mana pernah selama hampir 3 tahun ini aku lewat sungai.

Parade Patah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang