Jika saja malam itu aku tahu bahwa celotehnya bukan hanya gurauan, aku akan menjaganya lebih baik dan memeluknya lebih erat lagi. Mungkin aku tidak benar-benar menatap dalam-dalam matanya yang selalu di kelilingi lingkaran gelap karena kesulitan tidur. Atau mungkin aku tipe manusia yang tidak sepeka itu.
“Hal, aku capek deh,” keluhnya saat kami menghabiskan waktu di taman yang tak jauh dari tempat tinggalku. Beberapa menit yang lalu kami baru selesai makan malam di luar untuk merayakan pertemuan kami setelah 11 tahun lamanya tidak bertemu.
“Istirahat Ran,” jawabku enteng.
“Sudah, tapi kenapa ya capeknya tidak kunjung hilang?”
“Mungkin belum. Hidup itu pasti capek, bahkan tidur pun capek.”
Ia menghela napas dan menghembuskannya pelan. Wajahnya yang putih semakin pucat karena udara malam yang dingin. Rambutnya yang ikal tertiup angin ke mengekspos wajahnya dengan sempurna. Kemudian ia menengadah ke langit.
“Hal, ayo kita kabur ke bulan.”
“Boleh. Tapi apa tidak terlalu jauh?”
“Justru itu, aku tidak mau ada yang menemukanku.”
Aku terkekeh mendengar ia semakin meracau. Seperti orang yang habis minum minuman memabukkan. Tapi kami bahkan hanya minum es kopi saat di kedai tadi.
“Nanti akan kubuat rumah dari kayu. Ada dua kamar besar di dalamnya. Lalu akan ada dapur dengan pemandangan planet bumi. Serta halaman besar yang ditumbuhi wortel,” ceritanya tanpa menoleh dari bulan.
“Serta pisang dan salak,” tambahku.
“Ah iya, pisang dan salak. Lalu malam harinya kita bisa melihat banyak bintang dari halaman. Pasti luar biasa.”
Aku melihat matanya berbinar dan aku hanya tersenyum.
“Apa kita tidak akan kesepian?” Ia menggeleng.
“Selama ada kamu, aku akan baik-baik saja Hal.”
Aku merangkulnya sambil menatap bulan. Tidak terbayangkan apa jadinya jika kita benar-benar pergi dan menetap di sana. Bahkan oksigen pun tidak ada. Bagaimana wortel, pisang, dan salak bisa tumbuh.
“Aku capek Hal,” ia membenamkan wajahnya di dadaku, dan aku mengusap punggungnya pelan, menenangkannya.
“Yuk kita pulang,” ajakku.
Ia berdiri dan aku memegang tangannya menuju ke rumah.
Namun setelah waktu berlalu, aku baru menyadari bahwasanya keinginannya menuju bulan bukan racauannya belaka. Ia benar-benar pergi ke tempat yang selalu ia inginkan untuk pergi. Ia pergi menuju bulan, tempat di mana ia tidak bisa lagi ditemukan.
***
Bukan Ranu kalau tidak memberikan kejutan. Dia bahkan tiba-tiba kembali ke hidupku setelah sekian lama menghilang. Yang aku tahu kariernya selama ini sangat mulus, ia bahkan bertemu banyak orang baru, serta menjalani hubungan yang manis dan mem-posting-nya di media sosial. Namun aku tidak terlalu banyak mencari tahu, karena semenjak ia pergi, ia tidak pernah sekalipun menghubungiku.
“Hala, ini aku Ranu, kamu ingat?”
Bagaimana bisa aku tidak mengingat orang yang dulu hampir 24/7 selalu ada di pikiran dan di sisiku.
“Hai apa kabar?” tanyaku canggung.
“Lumayan. Ayo kita makan. Kamu masih suka mie goreng?”
“Masih.”
Ia meraih tanganku dan kami berjalan bersisian seperti 11 tahun lalu.
Ia masih ceria seperti biasa, hanya saja ada perubahan yang signifikan di wajahnya. Lebih pucat dan tentu saja lingkaran hitam di matanya yang ada sejak dahulu semakin menghitam. Namun selain itu, tidak ada lagi yang berubah. Bahkan gaya rambut pun masih sama.
“Bagaimana kabarmu? Aku sangat ingin menghubungimu. Tapi ponselku hilang, begitu juga kontakmu.”
Bohong. Ia berbohong karena aku tahu kebiasaannya. Jika berbohong, ia tidak menatap menatap mataku sampai selesai bicara.
“Aku baik-baik saja.”
“Syukurlah. Aku sangat senang mendengarnya. Mau pesan es kopi favorit kita?” aku mengangguk. Ia terlihat senang.
Setelahnya kami banyak bicara. Ia bilang ada urusan selama beberapa hari di kota ini. Ia bahkan meminta izin untuk tinggal di rumah untuk sementara. Aku dengan senang hati mengizinkannya, karena selain rindu, aku penasaran dengan cerita hidupnya selama 11 tahun ini.
Tapi hingga hari terakhir, ia tak juga membuka pembicaraan tentang dirinya. Ia hanya tertarik pada ceritaku dan bagaimana aku hidup selama ini. Ia banyak berdoa untukku, semoga hidupku bahagia, semoga aku selalu sehat, dan semoga aku memaafkannya suatu hari nanti. Bahkan sampai saat terakhir, aku tidak mengerti apa maksud dari doanya.
Di hari di mana ia berpamitan setelah kami bersama, ia memelukku dengan erat dan tersenyum. Sebelum naik bus terakhir jam sepuluh malam, ia sempat membisikkan kata-kata yang membuatku tak pernah bisa melupakannya dan berharap kita akan bertemu kembali.
“Terima kasih telah hadir di hidupku.”
Hingga akhirnya aku melihatnya pergi menghilang di ujung jalan yang gelap.
***
Hari ini, saat bulan bersinar dengan sempurna di langit yang kelam, aku kembali teringat akan sebuah pesan yang masuk ke e-mail-ku. Sepertinya itu darimu, meski aku berharap bukan.
Di sana kau tulis pesan yang tidak terlalu panjang, namun membuatku menangis berhari-hari merutuki kebodohanku.
Dear Hala,
Sepertinya aku benar-benar akan ke bulan. Tapi maaf aku tidak akan membawamu ke sana. Karena selain sulit, kau harus tetap di bumi untuk menyelesaikan kisahmu sendiri. Dan lagi sepertinya menanam pisang dan salak bukan hal yang mudah.
Jangan terlalu khawatir, karena aku akan baik-baik saja. Dan jika kau rindu, aku akan melambaikan tanganku dari bulan untuk menyapamu. Jadi hiduplah dengan baik dan jangan menyesali apa pun juga.
Oh ya, satu hal yang harus kau tahu, dari milyaran manusia di dunia ini, kamu adalah favoritku. Dan jika kau sudah bosan dengan bumi, ikutlah denganku ke bulan. Akan kusiapkan satu kamar khusus dengan pemandangan galaksi terindah di tata surya.
Semoga kita bisa bertemu kembali.
Ranu.
Saat itu, aku menangis sesenggukan karena tidak sempat mencegahmu pergi. Aku terlalu bodoh menyadari bahwa ‘capek’ yang kau keluhkan bukan hanya kelelahan biasa. Bukan fisikmu yang lelah, tapi batinmu, jiwamu. Dan pada akhirnya pulang ke bulan adalah yang kau pilih.
Setidaknya kita masih bisa bertemu dan menghabiskan waktu bersama. Setidaknya kau mencoba berpamitan, meski aku tidak menyadarinya. Kini aku hanya bisa menatap bulan, berharap kau melambaikan tangan padaku dan membawaku tinggal di sana.
Sadtember 2023.