Kini

31 1 0
                                    


Bogor 2017

Sore ini, tepatnya jam dua siang. Aku dan dia duduk berhadapan. Kami dipisahkan oleh sebuah meja besi putih yang senada dengan kursi yang kami duduki. Di atas meja tersedia dua gelas kopi yang di cangkirnya tercetak bekas bibir karena sudah di sesap.

Siang ini gerimis turun. Kulihat kesekitar, dan kuakui tempat ini memang sangat mempesona. Sebuah foodcourt yang terletak di lantai teratas Bogor Trade Mall ini memiliki pemandangan pegunungan dan kota Bogor yang selalu sejuk. Sama sejuknya seperti tatapannya yang tak pernah berubah. Bahkan setelah 6 tahun berlalu.

Dulu...

Beberapa tahun lalu, kami pernah duduk di sini sembari mengobrol mesra. Kami saling bercanda, berbagi tawa, dan merangkul dengan bahagia. Seolah-olah dunia sebesar ini hanya milik kami semata. Hanya kami saja tanpa mau peduli.

Aku menyuapinya, ia menyuapiku. Selayaknya pasangan yang sedang kasmaran, kami saling berpegang tangan, juga saling menatap. Walaupun tatapan di sekitar menghujat kami, menghina kami. Tidak apa-apa. Biarkan saja. Apa salahnya? Kami hanya dua orang yang saling jatuh cinta.

"Gimana kabar keluarga kecilmu?" ia memulai.

"Baik. Kebetulan suamiku bertugas di kota ini untuk beberapa hari. Jadilah aku mampir ke sini. Kau sendiri, bagaimana kabarmu dan keluargamu?" jawabku, kemudian balik bertanya.

"Syukurlah. Keluargaku juga baik" jawabnya diakhiri dengan senyuman. Senyuman yang sama saat kami masih bersama dulu.

Kulihat ia telah banyak berubah. Begitu juga denganku. Tampak rambut panjang yang dulu selalu dipotong pendek itu terbang ringan tertiup angin. Kini kau kelihatan jauh lebih cantik ketimbang saat masih bersamaku.

"Dimana suami dan anakmu? Apa mereka ikut juga ke sini? Atau... hei sudah punya berapa anak?" tanyaku bertubi-tubi.

"Suamiku dan anakku-anak satu-satunya, sedang bermain di tempat permainan anak. Mereka memang suka lupa waktu kalau berada di sana" jelasnya. "Kau sendiri?" lalu ia balik bertanya.

"Mereka menunggu di hotel. Laki-laki memang begitu, mereka tidak suka ikut ibu-ibu macam aku ini menelusuri mall dan berbelanja" jawabanku membuat ia terkekeh.

Kebetulan memang seringkali lucu. Setelah sekian lama kami sama-sama menghilang, Tuhan mempertemukan kami secara tidak sengaja di tempat dimana kami pernah menorehkan kenangan. Entah aku harus marah atau tertawa saat ini. Yang jelas aku bersyukur ia dalam keadaan baik-baik saja.

Sempat kuingat sosok kami yang dulu. Kau dan aku yang masih begitu muda. Pucuk-pucuk baru tumbuh yang baru mengenal cinta, lalu ngotot melanggar takdir dan menentang dunia.

Tapi waktu yang berjalan merubah segalanya. Termasuk cara berpikir kami dan juga cara pandang kami terhadap hal bernama cinta. Hal suci itu bukan sekedar hasrat ingin bersama. Namun jauh di atas itu.

"Baiklah, aku pamit dulu. Sudah dua jam aku berkeliling tempat ini. Pasti suami dan anak-anakku sudah menungguku di hotel," ucapku seraya berdiri.

"Oh iya, silahkan. Aku masih menunggu suami dan anakku sampai mereka selesai main," ujarnya juga ikut berdiri.

Ia mengulurkan tangannya dengan wajah penuh ketulusan. Aku bisa membacanya dalam sekejap. Wajah yang sama saat kami memilih untuk mengaku kalah dan sama-sama sepakat untuk saling menghilang.

"Terima kasih telah menjadi bagian hidupku. Aku sangat menghargainya," ucapnya saat tangan kami bertautan.

Aku tersenyum,"Terima kasih sudah menemaniku minum kopi hari ini."

Selepas tautan tangan itu terlepas dan langkahku semakin menjauh, kenangan masa lalu itu pun ikut berlalu. Setidaknya biar sempat sama-sama terluka, kita tidak saling melukai. Hingga saat kebetulan membuat kita bertemu lagi, tidak ada kata maaf yang terucap. Hanya terima kasih.

Terima kasih telah membuatku sebegitu beraninya menentang dunia.


Bogor 2011.

Parade Patah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang