Trauma

45 5 0
                                        

" Semoga uangmu cepat banyak! Semoga kau bisa membeli kebahagiaan yang kau inginkan! Semoga berhasil! "

—————————

Hitam sudah menenggelamkan biru dengan sempurna. Suara detak jam semakin lama semakin terdengar. Sepi mulai meruam. Membuat resah jiwa-jiwa yang masih terperangkap gelisah.

Aku masih menunggu jawaban. Jawaban dari orang yang kini letaknya ratusan kilometer dari tempatku berada. Ia mungkin sudah bermimpi atau mungkin masih menyibukkan diri dengan dirinya sendiri.

Rasanya seperti tanah kering yang menunggu hujan. Menanti namun diabaikan. Rasanya ingin marah, tapi hanya jemari yang bisa bergerak tak tentu arah.

"Aku begini demi kamu kok. Biar bisa membangun masa depan dengan kamu," tulisnya di pesan singkat.

Tapi meskipun dia menggunakanku sebagai alasan, hatiku tak jua menerimanya.

"Aku nggak butuh uang kamu, aku butuh waktumu buat aku," jawabku gusar.

"Tapi aku harus usaha demi kebahagiaan kita nanti," balasnya.

Aku semakin perih.

———

Ia menatapku dengan pilu. Wajahnya jelas menyiratkan kesedihan yang amat. Aku mengerti apa yang ia siratkan tanpa perlu ia katakan. Ia tak ingin pergi.

"Kamu semangat ya," kataku saat itu.

"Sejujurnya aku nggak mau ninggalin kamu kayak gini," kata dia.

"Demi masa depanmu. Kamu harus berhasil," kataku menyemangati walau nyatanya hatiku menciut menatap wajah sedihnya.

"Ini demi kita juga. Demi kebahagiaan kita nanti," kata dia akhirnya. Aku mengangguk menguatkan pernyataannya.

"Aku tunggu kamu di sini. Jangan lupa itu," aku menaruh harap.

"Aku pasti kembali dengan kesuksesanku," ia memberi harapan.

———

Layar ponsel itu menyala terang. Tanda balasan pesan sudah masuk.

"Kamu jangan marah," kata dia.

"Aku nggak marah kok," jawabku.

Ya aku tidak marah. Hanya saja aku takut.

"Semua butuh waktu. Aku harus ini, aku harus itu," tuturnya menguatkan.

"Iya terserah kamu aja," kataku yang mulai lemah karena perasaanku.

———

Ia datang ke rumahku dengan dirinya yang baru. Bukan lagi ia yang dulu. Ia bukan lagi angka 0. Tapi ia telah punya angka 1 yang jika ditambah 0 di belakangnya ia akan semakin bernilai.

"Aku sekarang udah sukses," tuturnya sumringah.

"Aku turut bahagia," kataku.

"Sekarang aku bisa beli apa aja yang aku mau. Kamu mau apa?" tanyanya.

"Aku mau kamu aja cukup," jawabku.

"yakin?"

"Iya."

Lalu ia memelukku sayang.

———

Malam masih beranjak pelan. Hati yang perih tak jua membuat mata semakin pedih. Yang ada hanya lubang yang semakin membesar dan semakin membesar di hati. Persis seperti bongkahan es yang perlahan cair dan hilang.

Parade Patah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang