Pagi ini,
pertama kalinya aku menatap wajahku sendiri pada pantulan cermin lebih lama dari biasanya.
Jujur ... bukan ingin sombong,
dalam hati seolah berkata, "Siapa gadis ini? Dia begitu cantik dengan tampilan natural tanpa dibuat-buat."
Padahal selama ini lidahku kelu setiap kali ingin memuji diri sendiri.
Karena yang paling dikuasai oleh lisanku adalah mencaci.
Ya ... mencaci diri sendiri.Lalu, kepingan masa lalu hinggap dalam benak.
Mereka hilir-mudik dan menghajarku habis-habisan.
Kemudian, hatiku seolah menangis.
"Apa yang kamu sesali? Hal-hal buruk di masa lalu juga sudah terlanjur kamu jalani. Tidak akan ada yang namanya raga kembali memuda dan waktu berputar lebih cepat pada arah kemunduran."Dadaku seperti dihujam oleh ribuan parang tajam.
Sedikitnya ratusan bagian terkoyak dan darah bening mengucur dari setiap cabutan.
Luka mendalam tak kuasa untuk kurekatkan layaknya kertas yang bisa dilem dengan mudah.Hah, tawa yang dibuat-buat keluar begitu saja.
Sedetik kemudian, tangis keluar dengan lancang.
"Maaf untuk diriku yang tak pernah kuanggap berguna. Wajah, sikap, caramu berjalan, sifat, senyuman, tawa, kebiasaan, selalu aku caci dan seolah kalian tak pernah becus bernaung dalam diriku. Maaf atas segala kelicikan yang pernah aku lakukan. Padahal sudah pasti seseorang tak bisa membohongi dirinya sendiri."
Hanya itu yang mampu kukatakan. Selebihnya, aku adalah seorang pecundang yang tak pernah benar-benar berani meminta maaf pada diri sendiri.Kutipan hari ini.
Ramadhan hari ke-25.
Trenggalek, 07 Mei 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Quotes
PoetryBukan permainan diksi yang dirangkai secara indah dengan penuh arti. Sekadar kalimat yang mungkin cukup untuk dijadikan penghibur diri di kala duka menghampiri.