"Lana?"
Alana tertegun melihat siapa yang datang, tak salah lagi, hanya ada satu orang yang memanggilnya begitu.
"kamu? Hua ...." Alana segera berlari masuk ke dalam kamar. Ia baru sadar hanya mengenakan celana setengah paha dan tank top. Sudah begitu rambutnya acak-acakan. Padahal tadi bundanya sudah menasehatinya untuk ganti baju dan cuci muka dulu.
"Lho, kamu kok ninggalin temen kamu gitu aja, sih?" Bunda Alana yang sedang membuat minuman di dapur heran melihat Alana kembali masuk ke kamar.
"Bunda kok nggak bilang kalau dia datang?" protes Alana sambil mencuci muka di wastafel.
"Dia siapa?" Bundanya bertanya keheranan.
"Bunda temani dia dulu, ya. Aku mau ganti baju dulu." Alana masuk ke dalam kamar, bundanya hanya menggelengkan kepala melihat tingkahnya.
Setelah berganti baju Alana segera menemui Adrian di ruang tamu. Cowok itu terlihat sedang berbincang dengan bundanya.
"Bund, kenalin ini namanya Mas Adrian." Alana merasa canggung karena menyebut Adrian dengan panggilan 'mas'. Sementara Adrian hanya tersenyum simpul.
"Orang tadi udah kenalan, wlee!"
Bunda Alana berlalu ke dapur diiringi senyuman Adrian. Alana hanya bisa merasa malu dengan tingkah bundanya yang kekanakan.
"Bunda kamu orangnya asyik." Adrian berkata sambil meminum jus yang disediakan bunda Alana.
"Eh, iya. Bunda emang orangnya gitu." Alana menggaruk rambutnya yang sudah disisir rapi.
Suasana terasa sangat canggung, baik Alana maupun Adrian tak ada yang berniat memulai percakapan.
"Ada perlu apa ke sini?" Akhirnya Alana yang membuka suara.
"Saya ke sini cuma nganter oleh-oleh."
"Dibawain beneran?" Alana terkejut sekaligus penasaran, kira-kira oleh-oleh apa yang dibawakan Adrian untuknya.
"Kan udah janji."
Adrian memberikan sepucuk bunga Edelweiss untuk Alana. Tentu saja disambut dengan senang. Bunga abadi untuk cinta yang abadi. Alana berkhayal dalam hati hehe ....
"Bukannya bunga ini dilindungi pemerintah?" tanya Alana heran, ia masih tak menyangka Adrian akan memberinya oleh-oleh bunga, bunga abadi lagi. So sweet ....
"Saya menemukannya tergeletak di tanah, entah siapa yang sudah jahil memetiknya. Ya sudah, daripada mubadzir saya bawa pulang." Adrian menjelaskan dengan santai.
Alana jadi kecewa mendengar jawaban Adrian. Jadi sebenarnya cowok itu tak berniat memberinya bunga Edelweiss ini?
"Ini oleh-oleh yang sesungguhnya buat kamu." Adrian menyerahkan sebuah tas plastik. Alana antusias menyambutnya. Kok berat?
"Apa ini?" Alana mencoba membuka tas kresek itu dengan rasa penasaran.
"Ubi ungu?" Alana lemas setelah tau isinya adalah ubi ungu. Memangnya apa yang ia harapkan dari cowok seperti Adrian.
"Itu oleh-oleh khas sana, bisa direbus, dikukus atau digoreng. Oh, ya! Dibuat kripik atau bakpao juga bisa." Adrian menjelaskan dengan polos.
"Makasih." Alana tersenyum dipaksakan. Sudahlah Alana, yang penting Adrian masih ingat janjinya untuk memberi oleh-oleh, Alana berusaha menghibur diri.
"Gimana Bromo? Bagus?" Alana mengalihkan pembicaraan mereka tentang ubi ungu.
"Bagus. Mau lihat fotonya?" Adrian menyerahkan ponselnya kepada Alana.
"Boleh?" Alana merasa tersanjung karena Adrian mengijinkan ia memegang salah satu benda privasinya.
"Boleh, lihat saja."
Saat Alana sedang asyik melihat foto-foto pemandangan (yang sayangnya tak ada satupun foto Adrian di sana) adzan Ashar berkumandang.
"Saya mau ke masjid depan, ya?" Adrian meminta ijin pada Alana untuk menunaikan sholat.
"Oh, ya silahkan." Alana merasa kagum kepada Adrian yang ternyata rajin beribadah. Sungguh paket lengkap, udah ganteng, soleh pula.
Setelah Adrian pergi, terbersit keinginannya untuk memeriksa ponsel ini lebih jauh. Ia penasaran apa yang ada dalam ponsel cowok itu.
Dada Alana berdebar keras. Tidak, ini tidak benar! Ia tak boleh lancang menggeledah ponsel orang lain.
Tapi bukannya Adrian sendiri yang mengijinkan dirinya memegang ponselnya? Jadi nggak papa kali, ya? Pikir Alana.
***
"Lana? Kenapa kok diam?" Setelah kembali dari masjid, Adrian merasa heran dengan perubahan sikap Alana. Gadis itu terlihat murung.
"Em, lagi nggak enak badan." Alana beralasan.
"Ya udah, saya balik aja, ya?" Adrian berniat pulang agar Alana bisa beristirahat. Padahal ia masih ingin berbincang dengan gadis itu. Seminggu tak bertemu ada rasa aneh yang menggangunya sejak kemarin. Ia merasa ... Rindu?
Setelah kepergian Adrian, Alana segera masuk ke kamarnya. Ia mengunci pintunya dan menutup wajahnya dengan bantal, ia menangis meraung-raung.
"Hua ... Adrian jelek!"
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Tapi Cinta
UmorNggak ada persahabatan yang murni antara pria dan wanita? Setuju? Kalau nggak percaya baca aja cerita ini.