Sweet : 07

3K 398 64
                                    

Arwen memarkir mobil di tempat biasa ia menjemput Kinan di kontrakan. Tidak terasa memang, sudah kembali hari Senin. Arwen tidak tau kelanjutan cerita ketika Kinan sudah di kos-kosan kakak perempuannya. Tentu Arwen bertanya, tapi sama sekali tidak ada yang dibalas. Jadi Arwen hentikan bertanya pada Kinan meski rasa penasarannya masih mendera. Ia pikir, Kinan butuh waktu untuk dirinya, entah itu sendiri atau dengan kakaknya.

Tidak bisa diambil kesimpulan dari masalah Kinan dan keluarga, yang Arwen pahami dari permasalahan ini adalah hubungan kekeluargaan yang sama sekali tidak ada di dalam keluarga Kinan. Ia masih tidak bisa percaya kalau nilai turun sedikit saja bisa sampai buat Kinan ketakutan segitunya, sampai menangis tanpa sadar. Hanya sekadar nilai, pun turunnya nilai Kinan tidak benar-benar parah. Tidak ada di lima besar, tapi posisi Kinan masih ada di sepuluh besar. Arwen rasa kalau itu ia, ia pasti sangat bangga. Sayangnya cara didik orangtua Kinan bukan seperti itu.

Karena Kinan tidak kunjung datang meski Arwen sudah memberitau ia sudah sampai, Arwen memutuskan untuk turun dari mobil, menghampiri Kinan langsung. Setidaknya Arwen perlu tau apa Kinan sudah berangkat atau belum. Baru Arwen mau mengetuk pintu rumah, sosok Kinan muncul dengan mulut penuh roti panggang.

“K-kak?!”

Arwen hanya mengumbar senyum. Ia lihat Kinan langsung buru-buru kembali ke kamarnya, mungkin untuk mengambil tas atau entah, karena Arwen lihat tadi Kinan sudah siap dengan seragam putih abu-abunya. Tidak menunggu lama, Kinan lekas kembali menampakan dirinya, mulutnya masih penuh dengan roti panggang, terlihat kerepotan karena harus membawa tas, dasi yang belum ia pakai, sampai menenteng-nenteng sepatu. Ya, jadi repot karena Kinan hanya bisa menggunakan satu tangan.

“Maaf Kak.”

“Gak papa. Aku kira masih tidur atau apa.”

“Aku lagi makan tadi, HP lagi isi batere jadi gak tau Kak Arwen ngechat aku.”

Lagi-lagi senyum Arwen mengembang, ia bantu Kinan menyimpan ranselnya di kursi belakang, sementara Kinan masuk dan lekas memakai sabuk pengaman, lalu dasi. Yang susah memang dasi karena harus memasang satu tangan, biasanya Kinan pakai di sekolah, minta bantuan teman. Rere contohnya, perempuan satu itu teman paling setia bagi Kinan.

Mobil melaju, lagu-lagu yang sedang populer belakangan ini terputar di radio, ikut menyambut pagi bersama Arwen dan Kinan. Sesekali Arwen melirik, Kinan menganggukan kepala mengikuti alunan lagu, kadang juga ikut bersenandung, tidak seperti hari-hari sebelumnya yang biasanya Kinan hanya diam dan lama-lama ketiduran, pagi ini Kinan telrihat lebih semangat, mungkin masalahnya sudah selesai, atau masalah yang Kinan pendam sudah tercurahkan.

“Eh Kak, ada salam dari Kak Wina, katanya makasih udah ngerawat aku.”

“Oh, ya. Sama-sama.” Kakinya menginjak rem perlahan, harus berhenti di lampu merah. “Kamu sampe kapan di sana?”

“Baru semalem pulang.”

“Udah selesai?”

“Apanya?”

“Masalahnya.”

“Oooh.” Kinan mengangguk, “Ya gitu.” Lalu mengumbar cengiran meski hambar, “Kalo Kak Wina lebih ngerti Kak, aku klop sama dia, soalnya ya gitu... orangtua aku juga gitu ke dia. Kalo ke Kak Kiki ng.. agak beda sih, tapi sebenernya Kak Kiki juga gak mau kayak gitu.” Jelas Kinan, ia melirik memberi isyarat mobilnya sudah bisa jalan. “Gitu lah Kak.”

“Terus, masalah nilai turun kemaren?”

“Nanti siang mau aku telpon aja, kak Wina nyuruh aku gitu. Tetep ngasih au. Lagian kalo cuma dimarahin kan udah biasa, jadi yaa. Gitu deh. Ah susah Kak.” Kinan malah tertawa, “Aneh ya?”

Lack of Sweet (BL) [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang