2. Waxing Cresent
====================================
"Luka ku tersembunyi. Sengaja ku sembunyikan,
agar kalian tidak ikut terluka."
====================================
Plak ... plak ... plak ....
Tamparan demi tamparan menimbulkan seberkas luka kemerahan pada kulitnya yang putih. Otaknya berteriak memerintah untuk melawan, tapi tubuhnya menolak karena rasa sakit yang semakin terasa. Hingga pada akhirnya ia hanya bisa pasrah, berharap Ayahnya cepat puas agar hal menyakitkan ini cepat berlalu.
Kepalanya yang pening bertambah sakit saat sang Ayah menarik rambutnya dengan kuat, memaksa agar Bulan menatap wajah sang Ayah yang tengah dikuasai amarah. Sudut bibirnya sedikit berdarah karena banyaknya tamparan yang dilayangkan terlalu kuat.
"NILAI APA ITU, BULAN?" teriaknya sarat akan kemarahan tepat di hadapan wajah putri bungsu kesayangannya.
Bulan hanya dapat memejamkan matanya yang berair, seolah telah siap terjun bebas dengan sangat deras. Bibir yang biasanya berwarna merah muda itu kini terlihat pucat, bergetar tanpa dapat berkata apapun selain merintih sakit.
"JAWAB!"
"Ma-af, Yah, shh," lirihnya dengan sesekali merintih. Ia berusaha mati-matian untuk menahan isakan yang ingin keluar, karena ia tahu bahwa sang Ayah akan semakin kalap jika mendengar isak tangisnya.
"BELAJARLAH YANG BENAR! AYAH TAK MEMBESARKANMU UNTUK BERMALAS-MALASAN!" Bulan terjatuh saat sang Ayah melepaskan cekalan pada rambutnya yang kini berantakan.
"Ayah akan meminta Bu Vio untuk mengirimkan soal padamu. Langsung kerjakan dan jangan sampai ada yang salah!" titah Ayahnya dengan nada tegas enggan dibantah dan yang terdengar setelahnya adalah bunyi bedebum pintu yang ditutup kasar dan bunyi yang menandakan ia terkunci di dalam kamarnya, lagi.
Bulan menunduk, air matanya terjatuh satu persatu dan akhirnya turun dengan begitu deras. Isakannya terdengar walau masih tertahan. Sejak siang tadi, ia tahu ini akan terjadi, tapi ia tetap pulang ke rumah, tak ingin amarah sang Ayah menumpuk dan menjadi lebih menyeramkan.
Semua bermula sejak diadakannya ulangan fisika di sekolah. Ia hampir menyelesaikan semua soal sebelum seorang teman sekelasnya berteriak pada gurunya. Berkata bahwa ada darah yang keluar dari hidung Bulan. Ia sudah menolak perintah sang guru yang menyuruhnya beristirahat di UKS, ia ingin menyelesaikan ujian ini.
Namun, tubuhnya tak bisa dipaksa. Kepalanya memberat dan pandangannya mengabur. Bulan jatuh pingsan tanpa sempat menjawab sisa soal ulangannya. Dan yang terjadi setelahnya adalah angka delapan puluh tercetak indah pada selembar kertas tersebut. Sebuah angka yang membuat Ayahnya kalap seperti tadi.
Ia sangat butuh sebuah pelukan saat ini. Namun, entah kenapa setiap Ayahnya berbuat kasar, Bunda dan Kakak selalu tak ada di rumah. Mereka akan selalu pulang esok harinya dan melihat bahwa semuanya masih baik-baik saja, tanpa dapat melihat bekas luka yang ia sembunyikan dengan apik dibalik riasan yang ia kenakan.
Fokus Bulan teralih saat mendengar ponselnya berbunyi. Ia berjalan tertatih menuju meja belajar, mengabaikan kepala yang semakin memberat dan segala luka yang masih terasa sakit.
"Hiks Bintang." Bulan mengawali perbincangan dengan isakan lirih.
"Apa sakit sekali? Kau mau aku ke sana?" tanya Bintang dari ujung sana, nadanya terdengar sangat khawatir.
"Tak perlu, aku tak apa," jawab Bulan mulai meneteralkan napasnya.
"Besok datang ke sekolah lebih awal, oke? Temui aku di rooftop."
Bulan mengangguk walau ia tahu Bintang tak dapat melihatnya. Bibirnya membentuk senyum tipis, ia lega karena masih ada orang di sampingnya. "Terima kasih, Bintang."
"Everything for you, Princess."
"Sekarang, cepat kirimkan soal yang Ayahmu suruh, aku akan membantu."
Lagi-lagi Bulan tersenyum tipis, mengirimkan soal-soal yang telah dikirim oleh Bu Vio sebagai pengganti karena hari ini tak dapat belajar tambahan dengan beliau. Malam itu pun ia lewati dengan mengerjakan soal bersama Bintang dengan telepon yang masih tersambung. Sesekali tangannya mengusap darah yang keluar dari hidung menggunakan tisu, tentu saja dengan terus berbincang agar Bintang tak khawatir.
Kesakitan yang dirasakan Bulan seolah lenyap karena kehadiran sosok Bintang. Siksaan tak lagi terasa sangat sakit, karena pemuda itu menyembuhkannya dengan kasih sayang. Sepi tak lagi ia rasakan, karena pemuda itu memberinya perhatian.
Inilah hidupnya yang membawa senyuman dan harapan pada orang lain, sampai ia melupakan diri sendiri. Siksaan yang ia terima atas dasar permintaan sang Ibunda. Masa depan miliknya yang telah dilukis sang Ayah terlukis begitu apik karena cita-cita sang Kakak.
.
.
.
.
"Kalau gini sembuh nggak?" tanya Bintang dengan tangan yang mengelus pipi gadis di hadapannya. Bekas tamparan itu tak terlihat, ditutupi riasan yang dipakai oleh Bulan, tapi Bintang tahu jelas luka itu pasti terasa sangat sakit.
Sungguh, demi apapun, Bintang sebenarnya sudah sangat kesal dengan perangai pria yang memiliki status sebagai Ayah Bulan. Ia benar-benar ingin membunuhnya. Andai ia lupa jika pria itu adalah orang tersayang Bulan, dan orang yang berjasa sehingga Bulan bisa ada di dunia ini, ia akan dengan senang hati melakukannya.
"Ya enggaklah," jawab Bulan realistis tapi masih membiarkan tangan pemuda itu mengelus pelan pipinya.
"Oh, ya udah."
Mata Bulan yang terpejam karena menikmati usapan pemuda itu kini terbuka lebar. Wajahnya merajuk kesal melihat pemuda itu memasukkan tangannya pada hoodie hitam yang ia kenakan. Cih, sok keren sekali.
"Ih, kok ngeselin?" kesal Bulan merajuk. Entahlah kenapa, tapi setiap bersama Bintang, sifat manja yang ia miliki keluar begitu saja.
"Toh nggak bikin sembuh, ngapain capek-capek?" balas sosok menyebalkan itu sembari menaikkan alis. Dan sialnya, itu malah membuatnya terlihat berkali-kali lipat lebih tampan.
Bulan menatap lelaki di hadapannya dengan marah, yang kemudian ia alihkan pandangan pada lapangan di bawah sana yang mulai dilewati para siswa. Bintang terkekeh, lantas mengulurkan tangan untuk mengusak rambut sang gadis.
"Jangan sentuh ih," kesal Bulan menepis tangan pemuda yang masih saja berdiam di atas kepalanya, "tuh kan, jadi berantakan," sungut Bulan menatap tajam pada Bintang. Yang sialnya perbuatannya itu percuma karena dimata Bintang bukannya terlihat seram malah terlihat tambah menggemaskan.
Tanpa aba-aba, tangan Bintang menggenggam lengan gadis yang ia sayangi itu. Menariknya pelan menuju pintu untuk masuk dan keluar dari rooftop sekolah ini. Tapi belum sempat sampai di pintu, gadisnya menghentikan langkah dan bertanya dengan nada sok galak, "mau ke mana?"
Bintang menoleh untuk melihat wajah Bulan yang masih terlihat marah itu. Senyum Bintang terukir dan lantas bertanya balik, "mau es krim?"
"Nggak mau."
"Really?"
"Tiga scoop, dengan banyak toping," ujar Bulan datar dengan wajah yang menengok samping, menghindar untuk tidak menatap Bintang.
Karena sungguh pipinya terasa panas hingga menjalar ke telinga, membuatnya malu dan malah membuat pipinya terasa lebih panas. Melihat hal itu, Bintang pun terkekeh dengan gemas, lalu berkata oke dan menarik gadis itu secara lembut untuk menuju kantin.
TBC
𝐁𝐚𝐧𝐝𝐮𝐧𝐠 ⌚ 17-Mei-2021
Revisi ⌚ 02-Sep-2021-𝐅𝐥𝐚𝐰𝐥𝐞𝐬𝐬
Written by - ✧ ⃟ ⃟ ━𝒕𝒂𝒄𝒊𝒏𝒕𝒂¹³
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐅𝐥𝐚𝐰𝐥𝐞𝐬𝐬 [✓]
Teen Fiction"Apa salah jika aku memiliki kekurangan? Aku juga manusia." Bulan sabit itu selalu dipaksa menjadi sempurna seperti sang purnama. Dan saat ia terlihat seperti purnama yang sempurna, dengan adil Tuhan menjadikannya kembali menjadi bulan sabit. Karena...