8. Waning Cresent
================================
"Kematian adalah bukti nyata
bahwa manusia tidak sempurna."
================================
Langkah kaki terdengar terburu di lorong sepi rumah sakit. Pemuda itu terus berlari tak peduli dengan tubuh yang basah kuyup karena hujan. Jantungnya terpacu sangat cepat. Pikirannya kalut terselimuti rasa takut.
Sesampainya di depan ruang IGD langkahnya terhenti dengan napas yang tak beraturan. Setelah memantapkan hati, tungkainya melangkah pelan memasuki ruangan. Pikiran yang coba ia tepis, kini malah terjadi di depan mata. Telinga yang tadi mendengar isak tangis begitu memasuki ruangan, kini mendadak tuli. Tubuhnya diam membeku di pintu masuk. Pandangannya terfokus pada tubuh kaku yang terbaring di atas ranjang rumah sakit.
Dengan langkah berat ia mendekat. Mengabaikan pasang mata yang menatap ke arahnya, karena pandangannya terlalu fokus pada presensi gadis pucat di atas ranjang rumah sakit itu. Tangannya terulur, mengusap pipi dingin sang gadis saat telah sampai di sisi ranjang.
"Kau tahu ini tidak lucu, kan?" lirih Bintang mencoba tersenyum pada tubuh yang telah kehilangan jiwa itu.
"Bangunlah," ujarnya tak kuasa menahan air mata yang telah turun membasahi pipi, "aku sudah bilang, jika lelah istirahat saja. Tapi jangan tinggalkan aku," lirih Bintang disusul dengan isakkan yang keluar dari bibirnya.
"Aku berjanji akan mentraktir mu es krim, jika kau memperlihatkan lagi binar matamu itu," ujar Bintang sungguh-sungguh, seakan ia meyakinkan gadis itu jika ia tidak akan berbohong. "Sungguh, aku bahkan akan memberikan tiga scoop untukmu."
"Kenapa masih belum bangun?" lirih Bintang dengan terus mengusap pipi gembul favoritnya itu, "aku berjanji akan mengabulkan apapun jika kau bangun," lanjutnya bernegosiasi dengan tubuh yang jelas-jelas tak akan mendengarnya.
Karena kenyataannya, gadis itu memang sudah pergi. Bulan Rananta Zora memilih untuk berhenti berjuang di dunia yang penuh siksaan ini. Ia memilih pergi untuk menunggu mereka yang dicintai menyusulnya ke rumah baru. Rumah di mana dirinya tak akan merasakan sakit lagi.
"BANGUNLAH! KAU TAK BISA MENINGGALKANKU SEPERTI INI!" raung Bintang mengguncang tubuh itu. Ia terus berteriak meminta agar gadis itu kembali. Ia menangis, tapi gadis itu tak kunjung membuka matanya.
"KU BILANG TUNGGU! AKU AKAN MEMBAWAMU PERGI DAN KITA AKAN BAHAGIA!" teriaknya marah.
"Tapi, kenapa kau malah pergi?" lirihnya dengan air mata yang terus menetes dan tubuh yang terduduk di lantai sisi ranjang dengan tangan yang masih menggenggam tangan dingin gadisnya.
Bulannya pergi. Gadisnya yang baru tadi siang membuatnya melayang dengan kata cinta, kini dengan tega menjatuhkannya ke dasar jurang terdalam. Rengekan dan tawa lembut dari bibir yang indah itu, kini takkan pernah terdengar lagi olehnya.
Bintang ingin sekali marah pada Tuhan yang dengan tega mengambil nyawa Bulan. Namun, Bintang juga tahu, meminta Bulan kembali sama artinya dengan meminta Bulan kembali sakit. Karena itulah ia hanya bisa menangis, meraung meminta gadisnya untuk kembali, walau itu tak akan pernah terjadi.
.
.
.
.
Waktu terus berjalan, enggan berhenti sekalipun manusia meminta dengan balasan nyawa. Hari ini, untuk kesekian kalinya Bintang datang. Dengan sebuket bunga yang sagat indah.
"Hello, Princess." Adalah kata pertama yang selalu Bintang ucapkan di depan gundukan tanah itu.
"Ini hari kelulusan. Aku mendapatkan nilai tertinggi karena tidak ada dirimu," tuturnya bercerita. "Tapi aku yakin, jika kau ada pun, akulah yang menang," guraunya terkekeh.
"Ahh~ aku merindukanmu lagi," desah Bintang, "apa kau tidak merindukanku? Setidaknya datanglah ke dalam mimpiku sekali saja," pinta Bintang.
"Tapi, aku tak akan memaksamu. Mungkin kau sedang sibuk tertawa bahagia di sana, karena itu aku tak akan memaksa. Karena jika kau bahagia, aku pun bahagia."
"Ah iya, kau juga bisa tenang di sana. Orang tuamu sudah kembali seperti biasa, Kakakmu pun sudah mendapat tawaran dari salah agensi di Korea Selatan, jadi kau tak perlu mengkhawatirkan mereka."
"I miss you, Princess," ucapnya mencium batu nisan dengan ukiran nama Bulan. "Bahagialah di sana," lanjutnya tersenyum.
Ia dengan berat hati melangkahkan kaki keluar dari pemakaman. Baru saja akan memasuki mobil saat onyx-nya tak sengaja melihat seorang wanita dengan topi putih sedang bersusah payah menghadapi tiga pria yang menyerangnya.
Dan ia tetaplah Bintang, yang terus bersikap baik walau hatinya masih bersedih atas meninggalnya sang kekasih. Karena itu ia langsung berlari dan menendang satu orang pria yang hendak memukul gadis itu dari belakang. Pertarungan sengit terjadi, dua lawan tiga, tapi akhirnya Bintang dan gadis itu menang, sehingga tiga pria tadi terburu-buru pergi.
"Hei, apa kau baik-baik saja?" tanya Bintang memegang bahu gadis yang sedang menundukkan kepalanya itu.
Gadis yang sedang menetralkan napasnya itu perlahan mendongak untuk melihat pemuda yang membantunya. Senyum gadis itu mengembang tipis dengan mata hitam legam yang terlihat sangat indah. "Aku tak apa, terima kasih."
Bintang mengambil satu langkah mundur, tangannya yang tadi bertengger pada bahu gadis itu kini terulur untuk memegang dagunya. Memaksa dengan lembut sehingga wajah gadis itu terlihat sempurna di depannya.
Senyum gadis itu perlahan menghilang, matanya yang tadi teduh kini berkilat tajam. "Bangsat, jang—"
Bruk
Ucapan itu langsung terhenti saat Bintang dengan tiba-tiba memeluk sang gadis. Gadis itu berontak, tapi Bintang malah semakin mengeratkan pelukan dengan wajah penuh air mata yang disembunyikan pada bahu sang gadis.
"Lepaskan aku, Brengsek!" umpat gadis itu mendorong kuat dada Bintang yang sialnya tak berefek apapun.
Bintang melonggarkan pelukan hanya untuk menjauhkan wajah demi melihat gadis yang dipeluknya. Mata Bintang menatap sayu membuat gadis itu terdiam entah kenapa.
"I miss you, Bulan."
.
.
.
.
Begitulah hidup berjalan. Semua yang ada di masa lalu akan terlupakan seiring berjalannya dengan waktu. Semua orang akan menemukan bahagianya di waktu yang tepat.
Bulan masih tetap terkenang indah diingatan orang-orang yang mengenalnya. Kebaikan-kebaikan kecil yang ia beri, mengingatkan semua orang akan hal baik yang dimilikinya.
Itulah dirinya. Sang cahaya yang perlahan terkikis dan berakhir menyatu dengan gelap.
Itulah dirinya. Manusia cacat yang hidup dalam belenggu kesempurnaan.
Dan itulah dia. Yang telah pergi meninggalkan segala luka untuk menjemput bahagia yang nyata.
Darinya untuk kalian yang masih ada. Hiduplah dengan bahagia hingga luka itu tak lagi terasa menyakitkan. Jangan terlalu fokus pada luka hingga lupa mencari bahagia.
Tak ada guna memikirkan luka yang pasti ada. Karena tanpa luka bahagia tak mungkin ada.
END
𝐁𝐚𝐧𝐝𝐮𝐧𝐠 ⌚ 21-Juni-2021
Revisi ⌚ 22-Maret-2022—𝐅𝐥𝐚𝐰𝐥𝐞𝐬𝐬
Written by - ✧ ⃟ ⃟ ━𝒕𝒂𝒄𝒊𝒏𝒕𝒂¹³
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐅𝐥𝐚𝐰𝐥𝐞𝐬𝐬 [✓]
Teen Fiction"Apa salah jika aku memiliki kekurangan? Aku juga manusia." Bulan sabit itu selalu dipaksa menjadi sempurna seperti sang purnama. Dan saat ia terlihat seperti purnama yang sempurna, dengan adil Tuhan menjadikannya kembali menjadi bulan sabit. Karena...