3 | without making peace--

1.1K 334 36
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Diana, nilaimu kalah telak sama Milo. Ibu saranin, lebih baik kamu mundur saja."

Diana menyimak ujaran Bu Pristin--guru bimbingan konseling--dengan saksama. Gadis bernetra cokelat itu tengah mengikuti sesi konsultasi pemilihan perguruan tinggi.

Melihat wajah murung Diana, Bu Pristin iba.

"Kamu yakin mau tetap kuliah?"

Eh?

"Kamu selama ini sudah bekerja sebagai model, kan? Kenapa tidak serius tekuni itu saja? Dengan wajah secantik ini, buat apa kuliah, buang-buang waktu? Toh, orang kuliah--ujung-ujungnya buat cari duit juga."

Detik itu juga, Diana tersadar. Bagaimana jika wajah cantik ini adalah pisau bermata dua? Di satu sisi, ia dipuja. Di sisi lain, ia dianggap tidak lebih dari sekadar rupa elok dan lekuk menawan--sisanya kosong belaka.

Diana cantik dan pintar. Orang cuma peduli cantiknya. Sisanya mereka tidak peduli. Sekeras apapun Diana berusaha, penilaian orang tereduksi sebatas pada wajahnya. 

***

Tiiintiiin. Serentetan bunyi klakson mengganggu langkah Diana.

"Cantiik, sini ikut naik," celetuk seorang pengemudi mobil dengan tatapan tidak menyenangkan.

Spontan, Diana yang tak terima, mengacungkan tinju.

"Wuihhh, cantik-cantik kok galak?!" sorak lelaki kardus yang bergelimpangan di sekitar sekolah.

"Makanyaaa, itu yang ngajakin jangan cuma ngomong, coba sambil dilambai-lambai pake duit, paling langsung nurut," gumam mereka, diiringi derai tawa.

Seorang pria tua bersiul genit. "Bercanda. Jangan marah dong, Neng Diana. Nanti cepat tua, gak laku lagi lho!"

Mata Diana menggenang. Benar, jadi orang cantik itu menyenangkan. Banyak yang memperhatikan. Namun, berapa banyak yang menaruh hormat dalam perhatiannya? Bukannya banyak yang menyamarkan gurau melecehkan atas dasar perhatian?

***

Panjang umur.

Baru tadi pagi Rhapsody diomongin, tiba-tiba dia menampakkan wujudnya, di Rumah Makan Margonda--kedai chinese food milik ayah Margo dan Monda.

"Margooo!" sapa Rhapsody dengan wajah berseri-seri. Tangannya melambaikan isyarat untuk mendekat. "Tumben kok kamu yang jaga warung. Monda mana?"

Kalau gue bilang gue ini Monda yang tukeran badan sama Margo, Rhapsody percaya gak ya?

Rhapsody memang hopengan--teman dekat--Monda sejak dulu. Setiap Rhapsody dan Monda bertemu, RM Margonda bagai milik berdua. Berisiknya minta ampun.

"Padahal aku ke sini pengen ketemu Monda. Kangen. Ya udah, salamin aja ya." Ody tersenyum.

Margo terpekur.

***

Suara Mama menahan langkah tergesa-gesa Margo yang baru saja pulang. "Dari mana kamu?"

"Dari warung," jawab Margo sambil menurunkan ransel dari punggungnya.

"Bagus. Sesekali kamu inisiatif bantu-bantu dong, kayak Monda. Kamu ini kerjaannya main melulu," keluh Mama.

Mama melanjutkan, "Seharusnya kamu contoh Monda, tahu prioritas. Banyak belajar, banyak kerja, sedikit main. Kamu kan kebalik. Main mulu, sedikit belajar, gak pernah kerja."

Pemuda itu tertegun. Apa selama ini ia hanya menilai sesuatu dari kulitnya? Bahwa semua keberuntungan di dunia ini diborong oleh Margo, berkat tampangnya yang rupawan? 

Manusia sibuk mencela karunia Tuhan yang tidak sama rata, tapi, bagaimana kalau Tuhan maha adil? Mungkin Tuhan mendatangkan banyak orang yang menggemari Margo karena rupa eloknya, tapi Tuhan juga menghadiahkan segelintir orang yang menyayangi Monda tulus apa adanya.

***

Malam ini, dalam sunyi, mereka larut dalam pikir masing-masing.

Terkadang kita meminta ditukar posisi dengan orang lain, dengan harapan kita bisa merasakan enaknya saja. Tanpa berpikir bahwa tidak ada hidup yang sempurna. Suka selalu datang bersama duka.

Untuk pertama kalinya mereka berpikir, kesempurnaan hanya senda gurau belaka. 

 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tunarupa ✔️ | FLUFFY Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang