1.

347 45 11
                                    

Jepang di pagi itu seakan siap memberi kejutan pada dunia. Semesta membungkus Yokohama dengan mentari yang merekahkan langit sambil memberi sentuhan sejuknya udara. Alunan melodi dari suara burung-burung menggema di udara. Tidak ada hal yang lebih menenangkan selain embun di pagi hari.

Di pagi buta aku sudah siap dengan kamera yang ku dapatkan secara cuma-cuma dari tumpukan barang bekas. Ku sorotkan lensa kamera ke arah gerombolan burung merpati yang sedang berkicau dibalik kabut tipis pagi hari. Satu dua gambar ku dapatkan dengan resolusi tinggi, namun saat ingin memotret gambar ketiga secara tidak sopan seseorang membuka pintu hingga membuat suara benturan antara dinding dan kayu itu. Burung-burung merpati terbang menjauh membuat asa ku akan pemotretan ketiga hancur seketika.

“Pagi [Name]-chan! Foto apa yang kau dapatkan pagi ini?” suara yang begitu ceria mengusik indra pendengaranku. Aku membalikkan badan sambil memandangi hasil jepretan yang kudapati tadi.

Yuan ─pelaku yang mendobrak pintu─ tersenyum penuh harap padaku. Aku menatap sekilas ke arahnya kemudian kembali memeriksa hasil gambar yang kutangkap tadi.

“Dua foto dan kau menghancurkan yang ketiga.”

Yuan tertawa.

Gadis itu memakai balutan kaus kuning yang dilapisi dengan jaket dan bercelana pendek di atas lutut. Ia seumuran denganku. Rambutnya berwarna merah muda yang sebagiannya digulung menjadi seperti bunga mawar. Matanya hampir selalu berbinar setiap saat.

“Ayolah jangan marah.” ucapnya sambil menepuk bahuku.

Ia mengambil DSRL dari tanganku sembari berjalan menuntunku ke luar ruangan.

“Dimana yang lain?” tanyaku

Yuan mengangkat bahunya “Entahlah, mereka belum kembali sejak malam tadi.” jawab Yuan.

Kami adalah kelompok kecil yang berisikan anak-anak yatim. Kami tinggal di bawah naungan gedung yang sudah tak terpakai, beberapa bagiannya sudah rusak karena terlalu tua. Kelompok kami sudah bersama sejak 1 tahun yang lalu ketika masing-masing dari kami menemukan adanya persamaan nasib yang menimpa.

Yuan masih memperhatikan kamera, ia melihat dari satu foto ke foto lainnya berulang kali. Hampir setiap hari aku memotret pemandangan-pemandangan indah karena satu hari yang terlewatkan akan membuat jiwaku semakin mati rasa. Kami berjalan ke luar gedung sambil ditemani oleh semilir angin yang menusuk kulit.

Tanpa aba-aba Yuan mengangkat kamera itu tinggi-tinggi hampir menjatuhkannya. Matanya menunjukkan binar yang begitu cerah.

“Fotomu selalu membuatku kagum, [Name]-chan!! Aku tak pernah melihat karya seindah ini!!” dia berseru senang.

Aku mengangkat bahu sambil tersenyum.

“Kau berlebihan, Yuan. Itu hanyalah foto burung merpati.”

“Tapi ini sangat bagus! Kita bisa menjualnya kepada museum!”

Kami tertawa bersama. Leluconnya selalu berhasil membuat hatiku tergelitik.

Kami berjalan menunggu yang lain untuk sarapan pagi, biasanya kami akan sarapan menggunakan roti yang entah bagaimana mereka mendapatkannya.

“Itu tidak mungkin kan?”

Yuan menggeleng “Itu sangat mungkin. Ini adalah salah satu dari sekian harta karun yang tak diketahui dunia!”

Aku tertawa “Kau benar-benar berlebihan, Yuan.”

Satu hal yang tak bisa kulupakan adalah ketika mereka membawakanku bando untuk hadiah ulang tahunku. Bando itu berwarna merah ceri dan tak terlihat menarik, namun itu sangat berharga bagiku. Setiap hari aku selalu memakai bando itu di kepalaku.

“Hei kalian.”

Aku dan Yuan berbalik ketika mendapati seseorang memanggil kami. Seorang pemuda berambut perak dengan balutan kaus biasa dan jaket musim dingin. Sebuah kalung berbentuk tanduk domba jantan tersampir di lehernya. Aku bertanya-tanya tentang siapa yang memberikannya.

“Shirase!” Yuan melompat ke arah Shirase dan memeluknya erat.

"Astaga Yuan, berhati-hatilah!" Shirase mengingatkan gadis itu. Yuan memang suka memeluk orang lain sifatnya yang sembarangan itu terkadang membuat kami sedikit jengkel. Tapi beberapa dari kami sudah terbiasa dengan perlakuan Yuan yang tiba-tiba, seperti Shirase dan aku.

“Yang lain sudah menunggu kita. Ayo kita sarapan.”

Aku tak mendengarkan percakapan antara Shirase dan Yuan.

Mataku terpaku pada seseorang di belakang Shirase.

Ia bukanlah salah satu dari kelompok kami. Pemuda itu memakai baju kaus biasa yang longgar. Matanya yang berbinar dalam kelopak indah menjadi tempat sempurna untuk bola mata biru laut yang menawan. Rambut yang pendek tergerai dengan lekukan warna senja menghias kepalanya. Pahatan wajahnya terlihat begitu sempurna, tidak pernah aku melihat karya tuhan yang seindah dia, mungkin dia adalah pemuda terindah yang pernah diciptakan.

Segala hal yang ku lihat dalam dirinya terasa sangat sempurna.

“[Name]?”

Aku terperanjat. Suara Shirase nyaris membuat diriku melompat kaget, lantaran terlalu terpaku pada pemuda asing di belakangnya.

Aku melirik ke arah mereka. Yuan yang merangkul tangan Shirase ikut memandang bingung ke arahku.

Dengan senyum yang canggung, aku menunjuk ke arah pemuda tadi. “Siapa dia?” tanyaku.

Shirase melirik ke arah belakang kemudian tertawa keras. Tangannya meraih bahu pemuda itu dan mendorongnya ke arahku, membiarkan rangkulan Yuan lepas dari lengannya. Pemuda itu terlonjak ia hampir tersungkur ke tanah ketika Shirase mendorongnya.

Shirase merangkul anak itu.

“Aku lupa bahwa kau masih ada di sini. Baiklah dia Chuuya, kami menemukannya dalam keadaan sekarat kemarin malam, tapi dia sudah baik sekarang.” Shirase mengatakan hal itu dengan nada ceria.

"Namamu sangat lucu!! Chuuya-kun, boleh aku memanggilmu begitu? Kau bisa memanggilku Yuan-chan!" ucap Yuan antusias, sama sekali tidak menangkap poinnya.

Posisinya menghalangi pandanganku. Aku hanya diam melihat mereka. Rasa kesal perlahan menjalar dari dalam tubuhku tidak pernah sekalipun aku merasakan hal ini untuk Yuan.

Setelah melakukan percakapan yang sama sekali tidak aku dengar tiba-tiba ia berjalan ke arahku. Dengan wajah yang sedikit pucat dan gerakan tubuh yang benar-benar kaku ia berkata "Namaku Nakahara Chuuya. Umm.. umurku.. 14 tahun?.. Dan... Siapa.. namamu?"

Aku memandangnya dalam diam. Matanya yang indah sesekali melirik ke arah Shirase yang memberikan instruksi lewat tangannya.

Aku dapat merasakan hal yang berbeda ketika dia berada di dekatku. Aku menjadi sangat tersanjung dan bahagia. Seakan hati ini terbungkus oleh surga dan diri ini terbuai oleh nirwana. Kubiarkan jiwa ini jatuh karena kutahu aku akan jatuh dikelilingi oleh bintang-bintang hasil percikan dari pesonanya.

Dengan senyuman aku memperkenalkan diri.

“[Name]. [Surname] [Name]. Salam kenal, Chuuya.”

Aku meraih tangannya. Hangat. Tangannya terasa sangat hangat. Pada saat yang bersamaan aku dapat merasakan tangannya juga sedikit bergetar. Chuuya mengangguk dan tangannya mengusap rambut bagian belakang kepalanya.

“Salam kenal.”

Matanya melihat ke arah lain. Namun, saat mata itu melirik ke arahku kembali... Ahhhh....jiwa pun terguncang dengan sangat.

Dia adalah mahakarya tuhan yang sangat luar biasa.

Saat itulah, aku jatuh pada pesona seorang Nakahara Chuuya.

Sinoper || Colours Project || Nakahara Chuuya x ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang