3.

209 28 2
                                    

Domba mulai menjadi basis kegiatan sehari-hariku. Tempat tinggal kami berubah menjadi markas semenjak aku memutuskan untuk bergabung dengan mereka. Para anggota Domba selalu sibuk setiap saat termasuk pemuda yang berhasil mencuri hatiku. Aku jarang sekali melihat Chuuya bersantai seperti dulu. Dia hanya akan pulang untuk tidur dan bangun untuk bekerja lagi.

Daerah-daerah yang menjadi wilayah kekuasaan Domba menjadi tanggung jawab Chuuya, karena itu dia harus melindunginya meski mempertaruhkan nyawa Chuuya sendiri. Shirase yang memberikan perintah tak pernah sekali pun membantu Chuuya dalam melindungi kawasan Domba. Hal yang dilakukannya hanyalah memerintah dan memerintah. Anggota Domba lainnya tak berbeda jauh dengan Shirase.

Karena hal itu aku menyadari satu hal.
Shirase dan Domba, hanya menganggap Chuuya sebagai senjata. Karena itu mereka membuat kasta agar Chuuya mau melindungi Domba dengan kemampuannya. Chuuya sebagai Raja dan kami sebagai bawahannya.

Aku yang menjadi dokter pribadi mereka hampir tak sudi untuk menyandang nama Domba. Setiap hari Chuuya selalu pulang dengan luka-luka goresan dan hal itu sungguh menyayat hatiku meski aku juga bersyukur karena kami memiliki waktu untuk berbicara ketika aku sedang mengobatinya.

Aku selalu berusaha untuk mendengarkannya ketika dia berbicara dan mengeluh soal pekerjaan yang Shirase limpahkan kepadanya atau hanya sekedar bercerita tentang hal lain walaupun mendengarkan cerita bukanlah keahlianku. Aku ingat betapa lincahnya dia bercerita bagaimana ketika ia pertama kali dibawa Shirase ke tempat arcade. Raut wajahnya terlihat kesal ketika mengakui bahwa dia selalu kalah dengan Shirase setelah itu Chuuya bersusah payah berlatih game itu hanya untuk melampaui keterampilan bermain Shirase.

Sejenak aku dapat mengingat betapa tampan dirinya ketika tertawa, betapa manis dirinya ketika sedang tersipu. Dia begitu sempurna. Aku bahkan dapat merasakan bahwa berada di dekatnya adalah sesuatu yang benar. Dan aku menerima kenyataan itu sebagai sesuatu yang tak akan pernah kuubah.

Malam ini adalah festival musim panas. Aku memakai yukata yang dibelikan oleh Yuan beberapa waktu yang lalu dan mengikat rambutku, tak lupa memasang bando. Ketika aku melihat diriku di cermin, sepintas aku merasa bando ini tidak cocok untuk ku pakai. Saat itulah aku tersadar akan satu hal. Apa sebenarnya tujuanku untuk membuang barang berharga ini? Apa hanya untuk terlihat cantik sehingga disanjung orang lain? Aku ingat betapa mereka bekerja keras hanya untuk memberikanku ini karena dahulu kami semua tidak memiliki pekerjaan apa pun.

Berbicara soal kerja keras, apakah Chuuya sudah menyadari bahwa selama ini dia hanya dijadikan sebuah alat oleh Shirase? Meski Chuuya memiliki hutang budi pada Shirase, bukan berarti dia akan menjadi tempat pelariannya.

Aku begitu mencintai Chuuya dengan seluruh hati dan jiwaku. Ia lah cinta pertamaku. Aku sangat menikmati kehadirannya bahkan aku tak pernah mengeluhkan apa pun tentang Chuuya. Dia adalah segalanya bagiku.

Seluruh perasaanku tumpah ketika aku melihatnya dengan balutan yukata musim panas. Lekukan senja itu terlihat lebih tertata daripada biasanya. Penampilannya malam ini membuatku terjatuh pada nirwana yang tak berdasar. Jantungku seakan berhenti saat Chuuya mendekatiku. Kakinya berhenti di hadapanku ketika matanya menatap diriku yang juga memakai balutan yukata.

“Dimana yang lain?” aku bertanya dengan senyuman.

Chuuya mengusap belakang lehernya sambil sedikit memiringkan posisi tubuhnya. “Mereka sudah pergi lebih dahulu. Katanya, ada tempat rahasia untuk melihat kembang api. Yuan bilang kita harus mencari tempat lain untuk melihat festivalnya.”

Aku menghela napas gusar, meski di dalam hati aku merasa bahagia. “Yuan memang seperti itu.” gumamku dengan nada pasrah.

“Kalau begitu, ayo kita cari tempat yang lain sekarang. Nanti kita akan terlambat melihat kembang apinya.”

°°°

Langit malam kota Yokohama bagai permata kilau yang menyinari tata surya. Nada-nada letupan bersahutan membentuk suara yang merdu. Baru pertama kalinya aku melihat festival kembang api seindah ini. Mungkin keindahannya bertambah karena kehadiran sosok Chuuya di sisiku.

Festival sudah dimulai sejak tadi. Kami berdua duduk ditepi bukit dengan kaki yang bergantung bebas. Dia menatap kembang api dengan khidmat. Angin yang menerbangkan surainya pun seakan ikut berkomentar tentang betapa sempurna dia dengan pemandangan ini. Beberapa kali jiwaku berkejap karena letupan yang membawaku pada tepi khayal nan nyata.

Tidak ada seorang pun di sekitar kami. Hanya ada suara kembang api disertai hawa dingin yang menusuk kulit. Aku merasa ini adalah saat yang tepat untuk menyatakan apa yang kurasakan terhadap dirinya selama ini. Tetapi─

“Hei.” panggilku.

Aku mengalihkan pandanganku ke arahnya. Mata atlantik itu terlihat sangat indah, bagai laut jernih yang dihiasi dengan karang dan ikan-ikan kecil berwarna. Wajahnya diselimuti ekspresi keluguan. Sejenak aku merasakan adanya hembusan kehangatan yang menjalari sukma dan asaku yang membawaku tenggelam dalam wahana imajinasi yang tak terbatas.

“Apa kau bahagia di Domba?”

Wajah Chuuya terlihat bimbang, antara iya atau tidak. Aku menunggu jawabannya sambil memperhatikan helaian rambutnya yang melambai-lambai mengikuti arah angin laut.

“Ya...aku bahagia.”

Chuuya tidak mengatakan itu dengan hatinya. Aku merasa bahwa Chuuya sengaja mengatakan hal itu agar aku tidak tersinggung.

“Jangan berbohong, Chuuya. Akhir-akhir ini aku memperhatikan kau terlihat tertekan dengan seluruh misi Domba. Jika kau mempunyai keluhan atas apa pun yang kau alami, katakan saja, selama kau masih memilikiku.” aku mengucapkan kalimat itu dengan senyuman.

Sebelum aku menyadarinya wajah Chuuya merona merah. Kalimat yang seharusnya ku rangkai dengan indah berubah menjadi kalimat ambigu yang memalukan. Lalu dengan cepat aku menambahkan, “T-tidak, maksudku selama kita masih bersama dengan Domba-”

Chuuya menggenggam tanganku. Sentuhan tangannya memberikan arti kehangatan yang sesungguhnya. Wajahnya ia palingkan ke arah samping, namun rona merah itu kembali menjalar hingga ke telinga Chuuya. Festival masih belum selesai sehingga warna-warna kembang api itu memercikkan cahaya yang menyinari Chuuya bagai lukisan indah.

Chuuya tidak menjawab pertanyaan tadi, sebaliknya dia semakin mengeratkan genggamannya pada tanganku. Semakin lama semakin erat genggamannya. Aku tidak terlalu terganggu dengan hal itu namun aku merasakan adanya afeksi getaran pada tangan pemuda ini.

“Chuuya, ada apa-?”

“Diamlah sebentar.” ucap Chuuya dengan suara tertahan.

Aku terdiam. Kepala Chuuya menekuk hingga mahkota jingga itu menutupi wajahnya. Chuuya tidak mengatakan apa-apa sampai dia akhirnya mengangkat kepalanya kembali.

“Kau benar, mungkin aku tidak terlalu betah tinggal di Domba. Tapi─”

Chuuya tersenyum tipis.

“Aku menikmatinya, di saat-saat seperti ini.”

°°°

Kelimabelas

Malam setelah itu dihabiskan dengan perjalanan pulang.

Aku meringkuk di bawah sinar bulan sembari membayangkan sosoknya. Sosok yang rasanya begitu dekat untuk diidamkan, namun begitu jauh untuk dicapai.

Oh, Nakahara Chuuya.

Laut adalah cerminmu. Engkau menghargai jiwamu yang dahsyat yang tak henti-hentinya menggulung di bawah langit senja. Dan jiwamu masih belum menjadi jurang yang suram.

Tuhan, apabila engkau membuat hatiku untuknya, kuatkanlah hatiku untuk dapat mengungkapkas segala rasa yang ada di dalam diriku untuknya. Karena ku tahu bahwa cintaku terhadapnya diselimuti oleh kekekalan yang tak akan tergoyahkan.

Namun, saat aku begitu yakin bahwa cintaku adalah kekal, saat itulah kekekalan datang untuk menghukum ku, seakan memberi peringatan bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini.

── Catatan tambahan ──

"Laut adalah cerminmu. Engkau menghargai jiwamu yang dahsyat yang tak henti-hentinya menggulung di bawah langit senja. Dan jiwamu masih belum menjadi jurang yang suram." Adalah bait pertama dari puisi 'Manusia dan Laut' karya Charles Baudelaire.

Sinoper || Colours Project || Nakahara Chuuya x ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang