4.

179 27 6
                                    

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang membakarnya menjadi abu.

─Sapardi

──────

“Chuuya?”

Aku memandang bingung ke arah Chuuya yang berada di hadapan ku. Wajahnya tidak terlalu nampak karena cahaya putih yang berada di sekiling kami menyoroti sebagian kepalanya. Tangan Chuuya terulur ke depan dengan cepat mendorongku jatuh ke suatu tempat gelap jauh dari tempat cahaya putih tadi.

Entah mengapa tubuhku tidak dapat bergerak sama sekali bahkan rasanya seringan kapas, hingga aku hanya dapat memandang Chuuya dalam keterkejutan tanpa berbuat apa-apa.

“Pergilah.” ucapnya.

Jangan pernah kembali.

°°°

Aku segera terbangun dari tidurku. Napasku tak beraturan, jantungku berdegup kencang, keringat membasahi pelipisku, seakan aku baru saja sedang melihat amarah lautan yang memecah udara di tengah badai.

“Syukurlah itu hanya mimpi.”

Aku melirik ke arah jam, masih larut malam. Tubuhku kembali ku rebahkan di kasur dengan lengan yang menutupi kedua mataku. Mimpi tadi rasanya begitu nyata. Sesaat tubuhku terasa lemas ketika kembali mengingat mimpi itu.

Aku tidak dapat tidur karena ada satu hal yang menarik perhatianku. Buku catatan yang masih terbuka menampilkan salah satu halaman. Aku menulisnya malam tadi sebelum tidur. Aku mengambil benda itu dan membacanya sejenak.

Dengan segala kelebihanmu, kelemahanmu, dan kekuranganmu. Meski diri ini akan ditelan oleh bumi, dan menjadi makanan cacing-cacing tanah. Aku akan terus mencintaimu, Chuuya.

Dalam segala kepantasannya, aku mencintaimu. Dan dengan yang buruk, aku akan benar-benar melakukannya.

Aku akan tinggal...di satu kehidupan ini, untuk kita berdua.

Dan kututup buku itu tanpa suara.

°°°

Saat langit gelap mulai berganti, aku sudah keluar dari markas Domba untuk berjalan-jalan sejenak. Angin khas pagi buta meresap ke dalam rongga dadaku. Membawa mimpi buruk tadi terbang sejauh-jauhnya. Ku dudukkan diri ini sambil menikmati bunyi-bunyi serangga serta kicauan burung yang membuat sukmaku membubung tinggi.

Aku menghirup udara dan melihat Chuuya dalam pejaman mataku. Segala sesuatu tentangnya kembali berputar dalam ingatanku dengan mengesankan. Awal kami bertemu, festival kembang api, kemudian Chuuya yang sudah menjadi sangat terbuka padaku. Sifatnya yang frontal dalam segala hal, kecuali tentang perasaannya selalu membuatku tertawa. Setiap kata yang keluar dari kedua belah bibir surgawi itu terdengar seperti syair yang menghancurkan seluruh rasa raguku. Penyair berambut sinoper itu sukses membuatku hanyut dalam pusaran ombak di matanya.

Apa yang telah kulalui dengan dirinya rasanya terlalu indah, hingga menciptakan bait-bait puisi yang selalu menjadi kegiatanku setiap tengah malam. Perasaan ku tak akan pernah habis kepadanya.

Terlintas di dalam pikiranku, mungkin jika seandainya Chuuya tidak diselamatkan oleh Shirase, aku tidak akan pernah mengenalnya. Dan jika aku tidak mengenalnya bagaimana mungkin aku tau rasanya jatuh cinta, kecuali aku menemukan seseorang yang lain. Aku merasa benang merah mempersatukan kami berdua, hingga terciptalah rasa cinta ini.

Sinoper || Colours Project || Nakahara Chuuya x ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang