Seorang gadis cantik berusia sekitar 22 tahun beranjak menuruni bis yang ia tumpangi. Kakinya menginjak trotoar yang ramai akan pedagang asongan. Ia melihat sekitar, hiruk pikuk pasar pedesaan yang sangat khas memenuhi pandangannya. Penjual dan pembeli saling melempar tawaran. Candaan receh sesama tukang becak. Lalat-lalat berterbangan mengitari ikan asin di dagangan yang ditinggal oleh pemiliknya entah ke mana.
Ia berjalan perlahan menyeret koper dan menenteng tas punggungnya. Penampilannya sedikit lusuh dan berkeringat lantaran perjalanan jauhnya untuk kembali ke kampung halaman. Namun itu tak mengurangi kebanggaannya sebagai wisudawati Universitas Indonesia bulan kemarin.
“Neng, becak Neng?”
“Mboten, Pak. Matur nuwun.”
Deru asap kendaraan dan rokok bercampur. Membuat kusam wajah eloknya khas wanita desa. Meski begitu, aura cantiknya tetap terpancar. Preman pasar yang jelalatan memandanginya. Juga bersiul padanya. Ia acuh tak acuh saja. Sekian lama hidup mandiri membuatnya terbiasa mendapati hal semacam itu. Lebih baik ia hiraukan. Karena jika ditanggap, orang begitu malah makin menjadi-jadi.
Kakinya masih dia percaya kuat untuk berjalan menuju rumah yang kira-kira masih berjarak satu kilometer. Semakin siang jalanan semakin ramai dilewati berbagai kendaraan. Dalam hati ia sangat senang bisa kembali menapakkan kaki di tanah kelahirannya ini. Sudah lama ia tidak merasakan suasana pedesaan seperti sekarang. Empat tahun setengah dihabiskan hari-harinya sebagai mahasiswi ibukota.
Langkahnya terhenti di persimpangan jalan. Di hadapannya tampak gapura Desa Ngadisimo yang terbuat dari semen. Gapura itu masih sama sejak ia pertama kali meninggalkan rumahnya. Bercat merah menyala dan putih tulang. Hanya saja sebagian sudah terkelupas termakan usia. Matanya tertuju ke toko gerabah di samping gang. Seorang wanita paruh baya sedang membersihkan guci dagangannya yang dipajang di teras rumah.
Ia menyeberang jalan dan mulai memasuki gang. Bau tanah lembap membuatnya nyaman meskipun matahari semakin terik menyengat. Keringat mengucur melewati dahinya, lelah ia abaikan sementara karena rumah sudah terlihat. Dengan napas sedikit terengah alunan kakinya tidak berhenti.
Anak-anak kecil berlarian mengejar bola yang mereka mainkan. Salah satu dari mereka melihat gadis itu kemudian wajahnya semringah dan berteriak semangat.
“Mbak Rana!”
Gadis itu menoleh dengan mata sayunya lalu tersenyum. Anak itu berlari kemudian memeluknya.
“Aku tunggu dari tadi akhirnya datang juga.” Ucap bocah itu sambil melepas tangannya.
“Ngapain nunggu? Ntar kan Mbak dateng-dateng sendiri, Dit.” Jawab Rana dengan mengelus rambut Adit, adiknya.
“He he.. ya suka-suka akulah,” Adit menarik tangan Rana. “ayok! Udah ditunggu Bapak sama Ibuk.”
“Eh, kamu nggak lanjut main?”
“Nggak, udah dari tadi mainnya. Capek.” Adit berlari mengambil sandalnya yang tadi digunakan sebagai gawang.
“Aku moleh sek yo!” Pamitnya pada teman-temannya.
“Iyo.. Iyo..” Jawab kawannya bersahutan
**
Kirana Arum Sekarwangi atau Rana, puteri sulung dari tiga bersaudara yang berasal dari keluarga sederhana. Bisa dibilang pas-pasan. Rana lahir dan tumbuh dewasa di Kediri. Tinggal bersama keluarganya di rumah tua peninggalan kakek. Rumahnya cukup luas namun bentuk dan kekokohannya sudah rapuh sejak lama. Dinding berwarna hijau pupus mengelupas. Pagar bambu di depan latar beberapa sudah ada yang patah. Jika musim penghujan tiba, sudah menjadi hal biasa ketika air menetes di sudut-sudut rumah. Keadaan itu mereka biarkan dan lalui begitu saja. Mengapa? Karena ada hal yang dirasa lebih penting ketimbang merenovasi rumah.“Assalamu’alaikum.” Rana mengucap salam sambil membungkukkan badan melepas sepatu.
“Wa’alaikumsalam. Eh anakku cantik sudah datang!” Jawab seorang perempuan yang tidak lain adalah ibu Rana.
Rana menyalami ibunya. Kemudian Ibuk memeluk dan menciumi puteri sulungnya itu.
“Nggak sia-sia kerja keras Bapak sama Ibuk selama ini. Ibuk bangga sama sampean.” Ucapnya dengan haru. Air mata mulai menetes di pipinya yang mulai keriput. Rana kembali mendekap wanita itu. “Selamat ya, Nak.”
Rana tersenyum teduh. “Inggih, Buk.”“Bersih diri dulu ndang. Habis itu makan, lanjut istirahat.”
Rana mengangguk pelan kemudian menuju kamar. Bersamaan dengan itu Adit berlari dari luar memasuki rumah tanpa alas kaki.
“Mbak Ranaa!!”
Rana menoleh.
“Ayok maen!” Pinta Adit.
“Main apasih, Dit?” Rana mendekatinya.
“Adiiit! Mandi dulu sana! Kakakmu tu masih capek, nanti saja kalau mau main.” Teriak Ibuk dari dapur.
“Iyaa, Buk.” Jawab Adit lesu.
“Masih banyak waktu kok. Ntar malem kan bisa.” Sahut Rana menenangkan adik bungsunya.
“He em,” Adit kembali ceria
“Ya udah sampean mandi duluan. Habis itu Mbak.”
“Iya, Mbak.”
Adit menuju ke belakang rumah dan Rana masuk ke kamar. Direbahkan tubuhnya melepas penat. Napasnya masih sedikit menderu.
“Kok ya ndak pegel-pegel se maen dari tadi pagi? Lihat bajumu, ke campur tanah sama dakimu,” Suara Ibuk berbicara dengan Adit. Seperti itu biasanya Ibuk menasehati anak-anaknya. Berusaha sehalus mungkin namun tetap menumbuhkan kesadaran.
“Mandi yang bersih, badannya disabuni semua. Jangan lupa sikat gigi!”
“Iya, Buk!”
Rana memberesi barang bawaannya selagi menunggu Adit selesai mandi. Ia buka koper merah kesayangannya. Ada pigura kecil berisikan foto Rana dan dua orang sahabatnya. Mereka berfoto bersama sesaat setelah yudisium. Mengenakan kostum wisuda dan toga. Satu orang berasal dari Kediri juga. Satunya lagi bertempat tinggal di Mojokerto.
Pigura duduk itu ia tempatkan di atas meja. Rapi tertata seperti biasa. Hanya sedikit berdebu karena sudah lama ditinggal. Lanjut ia menata baju di lemarinya sambil memilah baju-baju yang sudah kekecilan.
Terdengar suara langkah lari Adit ke luar rumah. Entah ke mana ia pergi. Anak kecil memang begitu. Walau sudah mandi membersihkan diri, masih saja mau bertingkah berkeringat lagi.
Rana mengikat rambutnya yang panjang sepunggung. Lalu mengambil selembar handuk dan alat mandinya. Ketika ke luar pintu kamar, pandangannya tertuju ke jalan desa depan halaman. Itu karena kamarnya terletak di samping ruang tamu. Rana mengalihkan niat sejenak untuk pergi ke teras.
Ia duduk di kursi bambu. Menghirup udara dalam-dalam. Rindunya akan rumah sudah terbalas hari ini. Sejauh apa pun merantau. Seasik apa pun dunia di luar sana. Tidak ada yang bisa menggantikan suasana hangat di rumah.
Kicauan burung yang berisik itu lebih baik ketimbang rantaian bunyi klakson di Jakarta. Keadaan yang tenang dan santai sukar ia temui di sana yang selalu serba cepat dan sibuk. Tetangga ramah dan saling senyum itu menenangkannya. Lucu ketika ia teringat pemilik kos berteriak meminta uang bulanan.
Dengan penuh harap, Rana pulang untuk mewujudkan mimpinya. Meingkatkan ekonomi keluarganya. Atau jika sedikit lancang, mengentas kemiskinan yang selama ini dialami baik keluarganya maupun warga desa. Tentu itu tidak mudah. Pasti ada saja halang rintang yang akan dihadapinya. Namun ia yakin ia kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanpa Medsos Kau Tak Akan Mati
General FictionSosial media seakan telah menjadi kebutuhan primer dan budaya yang mendunia. Hingga adat dan adab lokal berangsur terabaikan. Kecanggihan ternyata tak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan. Tak usah jauh-jauh menyangkut lingkup negara, untuk...