Matahari tepat di atas kepala menghasilkan bayangan persis di bawah empunya. Seorang remaja laki-laki bersama ayahnya sibuk membuat orang-orangan sawah. Orang-orangan sawah bekas panen bulan lalu kebanyakan sudah rusak dihantam hujan angin.
Cuaca saat ini memang sangat sulit diprediksi mengingat pemanasan global yang makin menjadi-jadi. Namun bagi mereka para petani, tak ada alasan untuk berhenti menggarap sawah. Karena hanya itu satu-satunya yang dapat menghidupi mereka. Meskipun hasil panen tak serta merta membawa pada kekayaan. Setidaknya upah yang didapat mampu menyambung hidup.
"Tarik lagi talinya sampe kencang!" Teriak Bapak pada Bima.
"Sampun, Pak." Jawabnya.
"Ikat yang rapat!"
Bima melakukan perintah Bapak.
Sesudahnya ia berjalan menuju gubuk sambil membawa sisa bilah bambu. Ia menoleh sebentar melihat hasil garapannya. Karung goni berisi rumput kering dijadikan satu terlihat seperti orang berdiri. Ada pun tali memanjang hingga tepi sawah yang jika ditarik menghasilkan suara kerikil bertubrukan.Bima menghampiri Bapak di gubuk. Dilepasnya caping sambil menghela napas. Rambut ikalnya tergerai diterpa angin. Ia menyalakan keran lalu membasuh muka, tangan, dan kakinya. Keringat dan tanah meluncur deras bersama air meninggalkan kulitnya.
"Besok jangan gampang beri harga ke orang itu lagi." Ucap Bapak.
"Iya, Pak." Jawab Bima dengan muka tertunduk.
"Dia tengkulak licik. Banyak tetangga kita yang tertipu oleh dia. Jangan mudah dibohongi dengan cara bicaranya yang ramah."
"Nggeh, Pak. Ngapunten." Kata Bima lirih.
Mereka melepas lelah dengan menyelonjorkan kaki di gubuk itu. Pandangan mereka menyebar mengawasi lahan padi seluas satu hektar. Sesekali tangan Bapak mengayunkan tali untuk mengusir burung yang berdatangan.
"Apa para petani seperti kita ini memang ditakdirkan hidup di bawah garis kemiskinan, Pak?" Tanya Bima.
"Seyogyanya tidak. Namun banyak sekali faktor yang memaksa kita hidup seperti ini." Sahut Bapak dengan tatapan kosong ke langit.
"Indonesia yang mayoritas orangnya mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok, seharusnya segala pihak yang terlibat dalam penyajian sepiring nasi berhak dihargai lebih. Seperti petani, tengkulak, para agen beras, dan lain-lain. Karena secara tidak langsung mereka turut menghidupi rakyat negeri ini. Tapi sering kali kemakmuran dirasakan hanya oleh tengkulak dan kalangan atas yang lain. Petani pelosok seperti kita ini disepelekan."
"Laju perkembangan pembangunan industri selalu memakan lahan para petani juga menjadi faktor. Para investor berhasil membodohi petani tua dengan embel-embel membeli tanah mereka dengan harga tinggi. Padahal nantinya uang tanah itu sekali pakai akan habis sewaktu-waktu. Petani kehilangan tanah, penghasilan, pekerjaan. Sementara investor dan pengusaha besar akan bertambah kaya seiring perusahaan mereka maju."
"Selain itu, di era sekarang yang mengandalkan teknologi, masyarakat desa hamper semua masih buta. Itu yang semakin mempersulit daya saing petani untuk hidup dengan layak." Jelas Bapak.
"Tapi, Pak, kulo nate maos, ada segelintir petani yang sukses dengan berbagai macam hasil panen. Tidak cuma padi. Jagung, sawi, buah-buahan, sayuran juga ada. Kehidupan mereka terbilang cukup, bahkan sugihe ra ketulung." Sanggah Bima.
Dari kejauhan tampak Adit berjalan membawa rantang. Pertanda waktu makan siang sudah siap.
"Makanya, itu alasan Bapak dan Ibuk menyekolahkan Mbak Rana sampai sarjana. Untuk meningkatkan kualitas hidup kita." Jawab Bapak.
Adit datang menaiki gubuk.
"Assalamu'alaikum, Pak, Mas." Kemudian menyalimi mereka berdua.
"Sepedamu mana? Tumben jalan kaki." Tanya Bima.
"Bannya bocor habis kena paku he he," Kekeh Adit dengan lugunya.
Bapak membuka rantang yang dibawa Adit. "Ayo makan dulu! Nanti sepedamu biar Bapak betulkan."
Mereka bertiga pun makan dengan lauk sederhana berupa tempe, daun kates, dan sambal terasi. Begitu saja sudah terasa nikmat. Tak pernah sekali pun anak-anak Bapak dan Ibuk mengeluhkan masalah makanan. Sedari kecil, mereka sudah dididik untuk selalu bersyukur atas apapun pemberian Tuhan.
"Pak," Panggil Adit.
"Hmm?"
"Mbak Rana sudah datang lo." Lanjutnya sambil mencomot dua buah tempe.
"Alhamdulillah, datang jam berapa?"
"Sekitar jam sepuluhan tadi."
Bima hanya mendengarkan percakapan Bapak dan adiknya. Ketika selesai makan dan mencuci tangan, Adit beranjak pulang terlebih dulu. Ia menuruni anak tangga gubuk lalu memakai sandal.
"Dit, ini ketinggalan!" Bima menyerahkan gelas kaca yang baru ia cuci bersih.
Setelah menerima gelas tersebut. Adit pamit kemudian berjalan menyeberangi pematang sawah ke jalan setapak.
"Rencananya Mbak habis ini kerja di mana, Pak?" Tanya Bima.
"Belum Bapak pastikan. Nanti malam kita bicarakan."
Bapak dan Bima melanjutkan pekerjaan mereka. Rumput-rumput liar masih banyak tumbuh semburat di sisi-sisi padi. Bima sudah terbiasa dengan pekerjaan ini. Ia membantu Bapak membajak sawah hingga saat ini terhitung empat tahun lamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanpa Medsos Kau Tak Akan Mati
Ficción GeneralSosial media seakan telah menjadi kebutuhan primer dan budaya yang mendunia. Hingga adat dan adab lokal berangsur terabaikan. Kecanggihan ternyata tak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan. Tak usah jauh-jauh menyangkut lingkup negara, untuk...