Bima keluar dari kamar sesaat setelah Adit terlelap pulas. Ia lihat Rana sudah duduk di sofa berhadapan dengan Bapak. Tidak lagi bersila di lantai. Bima lalu mendekat ke mereka bertiga. Ia berdiri di sebelah buffet.
Pandangan Bapak kosong. Matanya nampak berat kelelahan tapi dipaksa untuk kuat. Penat dikesampingkan demi memberi ketegasan pada puterinya.
Tak ada yang benar-benar dewasa di dunia ini. Setiap manusia mengalami fase baru dalam hidupnya. Bayi mengalami pertama kalinya menjadi bayi. Bersamaan dengan itu, seorang wanita berubah statusnya menjadi ibu. Suami yang mendampinginya bertambah tugas menjadi ayah.Nantinya, bayi itu akan merasakan banyak peristiwa perdana. Seperti masuk jenjang sekolah dari yang dasar hingga perguruan tinggi. Pengalaman sulitnya mencari pekerjaan akan ia rasakan. Juga masalah percintaan.
Orang tua pun begitu. Setelah memiliki anak pertama, akan lahir anak kedua. Dengan sifat yang berbeda tentunya. Mereka bukan lagi menjadi orang tua. Tapi pertama kali menjadi orang tua beranak dua. Lalu bakal lahir anak ketiga, keempat, dan seterusnya.
Tidak ada yang benar-benar dewasa. Kesemuanya perlu belajar. Bahkan jatuh dari sepeda pun memberikan pelajaran kehidupan. Melakukan hal yang salah tidak sepenuhnya salah. Mungkin kita hanya keliru. Atau mencoba kemudian gagal. Yang salah adalah mengulangi kesalahan yang sama. Dan menyerah atas kegagalan.
Bapak tidak salah memarahi anaknya seperti itu. Yang dilakukannya tentu untuk kebaikan Rana. Ia pertama kali memiliki anak perempuan seumuran Rana. Ia perlu kembali belajar menjadi ayah yang baik.
Rana juga tidak sepenuhnya salah. Ia baru merasakan fase pascasarjana. gaya kehidupan di Jakarta jelas jauh berbeda dengan Kediri. Agaknya Rana terbawa arus ibukota hingga lupa dengan nilai luhur asalnya. Ada kemungkinan lain, bahwa apa yang dilakukan Rana di luar tidak seperti yang Bapak duga. Rana juga belum angkat bicara.
Ia masih tertunduk dengan sisa isak tangisnya. Mulutnya berat untuk berkata. Ia sangat lelah dan ingin beristirahat segera. Tidak ia sangka malam ini menjadi malam yang runyam.
Ibuk menitikkan air mata yang memiliki banyak arti. Ia kecewa dengan tabiat puterinya. Namun tidak tega Rana dihunjam oleh kalimat-kalimat keras dari Bapak. Selain itu pula mungkin ia harus menanggung malu apabila kejadian ini terdengar oleh tetangga.
Bapak dan Ibuk menunggu penjelasan dari Rana. Bapak akui dalam dirinya ia khilaf. Ucapan yang tidak sepantasnya dilontarkan begitu saja pada anak kandungnya. Sesaat kemudian Rana menarik napas panjang. Bersiap bicara.
“Rana minta maaf, Pak. Rana memang salah pulang larut malam setiap hari. Ndak pernah bantu Ibuk.”
Ucapannya tertahan dadanya yang terasa sesak.“Tapi jujur, Pak,” Isaknya kembali. Bima hanya menatap kosong, tidak berbuat apa-apa kecuali mendengarkan. “Rana ndak melakukan hal seburuk yang njenengan kira.” Sambung Rana. Tangisnya pecah lagi.
Ibuk paham bagaimana perasaan Rana. Hatinya pasti sakit atas fitnah Bapak. Tapi ia juga tidak bisa mencegah Bapak melakukan itu.
“Lalu ngapain aja sampean, Nduk?” Bapak sudah menurunkan tensi bicaranya.
“Rana..” Napas Rana terburu. “Rana cari kerja, Pak.”
Mendengar itu Bapak menatap dalam wajah Rana. Ibuk dan Bima pun begitu. Sejenak saling pandang. Mereka bertiga menunggu kelanjutan Rana.
“Rana keliling kota untuk cari kerja biar bisa bantu meringankan bebannya Bapak. Memang sekarang Rana belum dapat pekerjaan pasti. Tapi alhamdulillah, hari ini ada teman Rana nawarkan kerjaan. Meskipun belum tau upahnya berapa, seenggaknya Rana bisa bantu Bapak sama Ibuk.” Jelas Rana panjang lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanpa Medsos Kau Tak Akan Mati
Fiksi UmumSosial media seakan telah menjadi kebutuhan primer dan budaya yang mendunia. Hingga adat dan adab lokal berangsur terabaikan. Kecanggihan ternyata tak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan. Tak usah jauh-jauh menyangkut lingkup negara, untuk...