Empat

13 5 2
                                    

Bapak kelihatan lelah setelah seharian di sawah. Cangkul digeletakkan begitu saja di teras. Ia ingat ini hari Kamis. Nanti malam ia harus menghadiri rapat rutinan desa. Tidak terlalu banyak orang yang ikut. Cuma kepala desa Pak Suryo, Pak Waluyo, Pak Sodik, Cak Samid, dan Bapak. Mereka berlima yang pasti dan selalu hadir. Sementara warga yang lain kadang ogah-ogahan untuk datang.

"Rana!"

Tidak ada sahutan dari yang dipanggil.

"Ranaa!" Bapak berteriak lebih keras.

Terdengar suara pintu terbuka lalu tertutup lagi sedikit dibanting.

Sepertinya itu Rana yang tergopoh-gopoh memenuhi panggilan Bapak. Benar saja, anak pertama itu muncul di hadapan Bapak.

"Inggih, Pak?"

"Dipanggil kok ndak rumongso to. Minta tolong buatkan Bapak kopi jahe." Perintah Bapak.

"Iya, Pak." Rana langsung nyeludur masuk. Bapak tidak melihat ekspresi Rana yang agak kesal.

Tak lama kemudian Ibuk datang membawa secangkir kopi permintaan Bapak.

"Lhoh, kok Ibuk yang mbuatin?" Bapak heran.

"Lah.. Iya tadi Rana bilang ke Ibuk kalo Bapak minta kopi jahe, kan?" Ibuk juga bingung.

"Tapi Bapak nyuruh Rana. Bukan sampean, Buk."

"Ya sudah lah, Pak. Biarkan saja"

"Cah wedok kok ra gelem tandang gawe ki piye!" Amarah Bapak tersulut lagi.

"Sudah, Pak. Sudah." Ibuk mengelus punggung Bapak. "Ndang diunjuk niki kopine."

Bapak menuruti apa kata Ibuk. Setelah setengah jam menghabiskan kopi, Bapak segera bersih diri dan bersiap ke musala.

Selepas isya' Bapak tidak pulang ke rumah. Ia bersama yang lain segera menuju balai desa untuk rapat. Rencananya ia akan membahas tentang kerja sama yang ditawarkan Rohim itu.

"Assalamu'alaikum, Pak Aji." Sapa Pak Suryo sembari berjalan.

"Wa'alaikumsalam, Pak Kades." Bapak menjabat tangan Pak Suryo sambil tersenyum lebar.

"Pripun anak e sampean? Denger-denger sudah pulang ya?"

"Inggih. Sampun kalawingi, Pak."

"Alhamdulillah."

Mereka berdua berbincang layaknya teman akrab. Langkah demi langkah menuntun mereka ke ruangan rapat. Sederhana saja, tidak ada bentuk kemewahan di Balai Desa Ngadisimo. Lima kursi utama berada di depan dengan meja yang cukup panjang. Kursi berjejer dan berbaris memanjang ke belakang mengelilingi sudut ruangan. Tengahnya dibiarkan kosong.

Menunggu yang lain berkumpul, Bapak bersama Pak Suryo merokok. Cak Samid sudah datang dari tadi karena dia pembawa kunci. Bapak-bapak mulai berdatangan menempati kursi. Termasuk Pak Waluyo dan Pak Sodik. Setelah dirasa cukup lama, rapat dimulai dengan puja puji yang disampaikan oleh Pak Suryo. Lalu masuk ke pembahasan.

"Bapak dan Ibu, pertumbuhan padi bulan ini mengalami peningkatan pesat. Meskipun bulan lalu ada bencana hujan badai yang mengurangi hasil panen desa kita. Tapi alhamdulillah, bulan ini desa kita berpeluang untuk panen besar-besaran." Pak Suryo membuka rapat dengan suka cita.

Satu orang dari warga mengangkat tangan. Setelah dipersilahkan oleh Pak Sodik, ia angkat bicara. "Apa njenengan bisa menjamin bulan ini kita panen besar, Pak?"

"Saya tidak menjamin seratus persen. Tugas kita cuma berusaha semaksimal mungkin. Selebihnya, itu kehendak Allah." Pak Suryo memeperjelas. "Maka dari itu, apa ada usulan dari warga agar panen besar kita kali ini sukses?"

Tanpa Medsos Kau Tak Akan MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang