"Assalamu'alaikum."
Bapak, Bima, dan Adit baru saja selesai salat maghrib di musala. Kedatangan mereka langsung disambut dengan pecel lele dan sambal terong di meja makan. Aromanya semerbak memenuhi seisi rumah tanpa sekat itu.
"Wa'alaikumsalam." Ibuk muncul dari balik gorden membawa ceret berisi teh panas dan beberapa buah gelas kaca. "Ayok langsung makan dulu. Keburu dingin nanti ndak enak." Ajak Ibuk kepada seisi rumah.
Adit berlari menyalakan televisi di ruang tamu. Tidak menghiraukan ajakan ibunya juga mengabaikan perutnya yang mulai keroncongan.
"Aissh.. nanti liat tivinya. Makan dulu!" Tegas Bima pada adiknya.
"He em sek." Adit tetap sibuk memindah kanal mencari kartun kesukaannya.
Bima merebut remot dari Adit. Langsung ia pencet tombol off. "Dikandani maem sek, kok!"
"Hmmmh.. Ibuuk! Mas Bima looo!" Rengek Adit.
Bima berlalu melewati adiknya tidak peduli dan duduk di samping Bapak. Ibuk hanya geleng-geleng melihat tingkah mereka berdua.
"Adiit! Makan dulu, Dit! Ndang habis baru liat tivi." Sahut Bapak sambil mengambil nasi untuk Adit.
"He em," Adit menghampiri Bapak. Tangannya mengusap air mata yang menetes di pipinya.
"Lanang kok cengeng." Ejek Bima.
"Bapaaaak!"
"Uwes talah, Bim. Senenge se nggudo adikmu," Bapak melerai. "Panggilkan Mbak Rana. Suruh makan juga."
"Hehe.. nggeh, Pak."
Bima mengetuk pintu kamar Rana dan melaksanakan apa yang diperintahkan Bapak. Di suapan kesekian Rana baru keluar kamar. Parfumnya wangi mengalahkan aroma khas sambal terong Ibuk. Sesaat kemudian ia duduk di sebelah Ibuk.
Bapak sudah sampai di suapan terakhir namun tidak kunjung pergi. Ia mencelup-celupkan jari-jarinya di air kobokan. Dari tadi pikirannya suntuk dipenuhi dengan bagaimana kelanjutan Rana setelah ini dan penawaran Rohim yang masih ia bimbangkan.
"Ran,"
"Nggeh, Pak?"
"Apa rencanamu setelah ini?" Bapak membuka topik.
"Masih belum seberapa kebayang, Pak." Jawab Rana bingung. "Tapi Rana sudah punya peluang bagus lewat instagram."
"Instagram?" Bapak meragukan pernyataan itu. "Bukan itu. Maksud Bapak habis ini kamu mau cari lowongan di mana, Nduk?"
"Kalo itu sih belum tau, Pak. Cari-cari dulu kalo loker." Rana nampak tidak menunjukkan empatinya.Entah apa yang ada di benak Rana. Dia berasal dari keluarga pelosok tapi mencoba peruntungan di dunia maya.
Memang tidak salah. Namun Bapak kurang setuju jika Rana memutuskan terjun ke ranah sana. Selain karena Bapak kurang bisa mengakses hal semacam itu. Sisi negatif juga banyak ditularkan lewat media sosial.
"Mbak punya pacar ya?" Adit nyeletuk dan meringis.
"Uhuk," Rana tersedak. Bapak, Ibuk, dan Bima ikut terkejut.
"Enggak kok." Sanggah Rana lalu meneguk segelas air.
"Hussh.. arek cilik eroh opo!" Bima menyambar.
"Lapo se, weeek!" Adit balik mengejek dan pergi meninggalkan meja makan menuju ruang tamu. Ia membawa piring makan yang belum habis lalu makan sembari menonton televisi.
"Segera buat keputusan apa targetmu setelah ini, Ran."
"Inggih, Pak."
Jam menunjukkan pukul setengah tujuh. Musala sudah menyetel murottal surat ar-Rahman. Rana beranjak dari kursinya berlalu memasuki kamar. Bapak cuma memandangi dalam diam kelakuan Rana itu. Kenapa Rana tidak mencuci piringnya sekalian. Begitu batin Bapak.
"Rana ndak kamu suruh bantu-bantu, Buk?"
"Biarlah, Pak. Mungkin dia masih capek. Besok juga punya inisiatif sendiri."
Bapak hanya mengiyakan. Ia masih terbayang Rohim tadi sore. Ibuk masih lelah dengan pekerjaan rumah tangga seharian. Bima belum saatnya diajak membahas hal besar seperti ini. Bapak memilih diam menunggu waktu yang tepat.
**
Pagi-pagi buta ayam jantan Pak Waluyo, tetangga sebelah, sudah berkokok nyaring. Konon katanya jika ayam berkokok pertanda ada malaikat turun. Bapak sedang mengasah pisau di pelataran rumah. Sementara si Bima baru keluar dari kamar dengan mata setengah merem. Ibuk sudah sibuk dengan penggawean rumahnya.
Fajar terbit tak lama lagi. Bapak bersiap pergi ke sawah bersama Bima. Warga desa lainnya pun sudah ada yang mencangkul.
"Le, tolong smpean perbaiki sepedanya Adit. Bapak berangkat dulu nanti kamu nyusul."
"Nggeh, Pak."
Bapak mengambil bilah bambu di belakang rumah. "Buk, Rana sudah subuhan?"
"Ndak tau, Pak. Kayaknya sudah." Ibuk berkata tanpa menoleh. Ia sibuk memotong bawang.
Bapak ragu dengan jawaban Ibuk. Langsung ia buka pintu kamar Rana dan terlihat anak perempuannya itu masih tertidur tapi di sampingnya bersuara musik dari smartphone. Bapak geleng-geleng sambil menghela napas.
"Nduk, bangun Nduk."
Bapak menjawil jari kaki Rana. Rana hanya berbalik posisi. Berkali-kali Bapak ulangi tapi sama saja.
"Rana." Bapak mulai menaikkan tensi.
Rana mendengar suara itu di setengah sadarnya. Kalang kabutlah ia duduk menjingkat di hadapan Bapak. Ia matikan musik yang sudah menyala sejak tadi malam. Dengan kepala menunduk Rana memulihkan kesadarannya.
"Sudah subuhan, Nduk?" Tanya Bapak merendahkan nada.
Rana hanya menggeleng.
"Lihat sekarang jam berapa?"
Rana melihat jam di atas pintu. "Jam setengah enam, Pak."
"Tidur jam berapa tadi malam kok sampek ndak bisa bangun subuh?"
"Jam sebelasan, mungkin."
"Malem sekali tidurmu. Jangan begadang kalo ndak bisa bangun subuh."
"Inggih, Pak. Ngapunten."
"Kemarin sudah sholat isya'?"
Rana tercekat. Matanya kosong pikirnya berkecamuk. Ia tak menjawab apapun.Bapak menahan-nahan amarah. Sabar. Ia tidak mau membuat keributan di awal hari ini. Bapak membungkukkan sedikit badannya sampai kepalanya lebih dekat dengan Rana.
"Apa ini yang setiap hari kamu lakukan di Jakarta?"
Rana diam seribu bahasa. Ia takut akan ketegasan bapaknya. Hanya menunduk untuk menghindari tatap mata Bapak yang tajam.
Bapak tidak memperpanjang urusan. Ia pergi meninggalkan kamar Rana lalu kembali lagi ke dapur membawa bambu tadi. Ibuk melihat hal yang tidak mengenakkan tersirat dari wajah Bapak.
"Kenapa, Pak?"
"Rana belum subuhan."
"Mungkin dia kelelahan, Pak."
"Tadi malam juga ndak isya'an." Bapak mengikat erat bambu dengan sedikit tekanan.
"Astaghfirullah,"
Bapak tidak menyahut. Dilihatnya Bima di pelataran. "Bima!"
Bima menoleh dan bersuara lantang. "Dalem."
"Ayo budal!"
"Nggeh,"
Mereka berdua berangkat ke sawah.
**
"Cak Dji! Parine sampean dicucuki manuk lo ket mau." Kata Bu Jaenab dari tengah ladang.
"Mboten nopo-nopo. Itung-itung sedekah, Bu." Sahut Bapak kemudian terbahak.
Sawah ini warisan dari Mbah Riyadin, bapaknya Bapak. Bapak tidak bisa meninggalkan desa ini karena hanya dia satu-satunya harapan menjaga aset dan tanah keluarga. Saudara-saudaranya banyak yang merantau ke luar pulau.
Ia anak bungsu. Dua kakak laki-laki Bapak nyasar menjelajah Kalimantan. Sekarang tinggal di Palangkaraya dan Balikpapan. Hanya ada satu saudara Bapak yang di Jawa, itu pun perempuan. Namanya Srianti. Biasa dipanggil anak-anak Bapak Budhe Sri. Wanita itu tinggal bersama keluarganya di Semarang.Masyarakat Desa Ngadisimo kebanyakan segan kepada Bapak. Selain karena ia adalah putra pembabat alas desa tersebut, Bapak juga dikenal sebagai orang yang tegas dan berani. Terbukti dengan kisah mudanya dulu yang berhasil menggulingkan kelaliman Pak Bagyo. Kepala desa sebelum Pak Suryo. Namun tidak sedikit juga yang mencibir Bapak terkait keputusannya mentidaksekolahkan kedua anaknya.
"Pak, kemarin itu siapa? Kayak orang kantoran gitu," Bima memecah keheningan. "Tumben-tumbenan ada orang begitu datang ke rumah."
"Itu, orang nawari kerja sama."
"Kerja sama apa, Pak?"
"Sawah orang sedesa ini mau dikasih bantuan teknologi pertanian dari perusahaan mereka. Nanti rencananya bagi hasil." Bapak sebenarnya ragu membicarakan ini dengan Bima. Tapi tak apalah. Mungkin memang sudah waktunya anak itu diajak membahas urusan orang dewasa.
"Semua sawah ini, Pak?" Bima membentangkan tangannya dan menunjuk ujung sawah milik orang.
"Iya. Gimana pendapatmu, Le?"
"Terima aja, Pak." Kata Bima bersemangat. "Tawaran langka begitu itu, Pak. Menjanjikan sekali untuk menaikkan ekonomi desa."
"Begitu ya, Le?"
Bima mengangguk.
Sawah sebegini luasnya sayang jika tidak dimanfaatkan secara maksimal. Bapak duduk di pematang sawah. Mengipaskan capingnya menolak gerah. Ia termenung. Masih bimbang dengan tawaran itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanpa Medsos Kau Tak Akan Mati
Fiksi UmumSosial media seakan telah menjadi kebutuhan primer dan budaya yang mendunia. Hingga adat dan adab lokal berangsur terabaikan. Kecanggihan ternyata tak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan. Tak usah jauh-jauh menyangkut lingkup negara, untuk...