Part 8

6.1K 127 0
                                    

Vote dan follow sebelum membaca
Makasih

"Paul?"

Brandon yang mendengar nama itu sontak saja panik. Apa yang pria itu inginkan dari Camila dengan datang berkunjung dipagi hari seperti sekarang?

Ia berusaha mengintip dari balik pintu ruangan laundry. Camila bahkan memiliki mesin cuci di apartemennya, tapi untuk apa tetap mencuci dengan layanan laundry?

Rasanya ingin marah saat tahu Paul terlihat akrab dengan Camila. Brandon bertanya-tanya apakah Camila sering menghabiskan waktu bersama Paul? Mereka terdengar berbicara sangat santai. Apakah selama ini Camila yang hanya bermain-main dengannya? Dadanya nyeri sekali jika opininya benar. Tapi tidak mungkinkan Camila yang ia kenal seorang 'player'?

...

"Paul?"

"Maaf pagi-pagi aku berkunjung? Boleh aku masuk?" Camila memiringkan tubuhnya memudahkan Paul untuk masuk. Napasnya tercekat mengingat Brandon ada diapartemennya.

Sarapan yang nyaris lengkap menghiasi meja makan. Pasti Paul sadar ia sedang tidak seorang diri.

"Sarapan?" Tanya Paul melihat meja makan Camila penuh dengan berbagai makan protein dan karbohidrat

"Ya, aku sedang sarapan tadi saat kau memencet bel." Camila menggaruk lehernya yang tidak gatal lalu tertawa kecil menghilangkan kegugupannya. Sedikit mencari-cari keberadaan Brandon ditiap sudut ruangan dengan gerakan yang sebisa mungkin tidak terbaca.

"Dua porsi? Kau sangat lapar ya?" Paul tertawa sambil menunjuk dua piring dan dua gelas penuh susu.

"Hah! Ya, aku sangat lapar tadi. Tapi karena kau datang berkunjung jadi satu porsi lagi untukmu. Ayo sarapan."

Mereka duduk berhadapan. Camila tidak dapat menyembunyikan rasa groginya. Ruangan tiba-tiba seakan memanas. Keringat dingin bahkan mengalir di pelipisnya. Takut jika Paul menemukan Brandon di apartementnya dipagi hari seperti saat ini.

"Ayo, silahkan dimakan."

"Terima kasih. Aku makan ya." Ucap Paul sambil melahap sarapannya.

Dari tempatnya, pintu kamar laundry terbuka sedikit menampakkan Brandon yang sedikit mengintip kearahnya. Camila panik! Jangan sampai Brandon berbuat nekat lalu keluar dari kamar laundry. Untung saja posisi duduk Paul membelakangi pintu dimana Brandon menyelipkan kepalanya sedikit untuk mengintip. Rasanya jantung Camila sebentar lagi lolos keluar sakin panikya

"Ngomong-ngomong apa yang membuatmu datang sepagi ini Paul?" Camila berusaha membuka percakapan untuk menetralkan suasana. Lebih tepatnya dirinya. Ia sangat takut Brandon berbuat nekat.

"Tadinya aku ingin mengajakmu sarapan di restaurant yang baru buka beberapa blok dari sini. Katanya mereka menyajikan sarapan sangat enak." Paul terlihat senyum menahan malu.

Sebenarnya Paul cukup tampan. Ia menjulang tinggi dengan tubuh yang cukup atletis. Terkenal sangat pintar saat di universitas. Paul dulu salah satu seniornya saat kuliah. Mereka dulunya sangat dekat tapi itu sebelum pria ini tahu Camila akan segera menikah, Paul perlahan mengambil langkah mundur saat tahu siapa yang akan melamarnya. Pria paling kaya di Manhattan. Jake Holland.

Saat tahu Ia dibuang, tidak lebih tepatnya Camila memutuskan untuk menceraikan Jake, Paul kembali gencar untuk mendekatinya kembali. Terlebih lagi saat mereka ternyata satu tempat kerja.

Sesaat, Camila teringat potongan-potongan kejadian sebelum ia meminta Jake untuk benar-benar menceraikannya. Ia muak hanya dengan sekedar mengingat wajah mantan suaminya itu.

"Camila?"

"Ya?" Camila tersadar dari lamunannya.

"Kau ada waktu?"

"Huh?"

"Aku butuh pendapatmu untuk menemaniku membeli beberapa pasang jas. Waktumu kosong kan?"

"Tentu saja! Tapi aku perlu mandi." Ucap Camila sambil sedikit tertawa.

"Baiklah, aku akan menunggumu." Paul kembali tersenyum.

"Sebaiknya habiskan dulu sarapanmu."

"Ini enak." Ucap Paul berkomentar.

"Terima kasih."

Mata Camila membulat saat melihat Brandon mengintip dari kamar laundry. Matanya menyiratkan kebencian terhadap Paul yang tiba-tiba mengajaknya pergi tanpa memberitahukannya terbelih dahulu melalui aplikasi whatsup

"Paul, aku mandi dulu. Kau tidak apa kan menunggu sebentar?"

"Tentu saja."

Camila berjalan menuju kamarnya disusul Brandon yang ikut menyelinap masuk. Oh Tuhan, hormon adrenalin didalam tubuhnya meningkat seketika. Rasanya ingin berteriak marah didepan wajah Brandon saat tahu pria itu ikut masuk kedalam kamar.

"Bagaimana jika Paul liat. Apa kau sudah gila?" Camila sedikit berteriak. Kepalanya sebentar lagi akan pecah.

Brandon mengkunci pintu yang ada dibelakangnya lalu menerjang Camila dengan ciuman. Sejak tadi ia menahan cemburu tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Didorongnya tubuh Camila hingga menyentuh salah satu sisi ranjang. Camila berusaha mendorong Brandon menjauh tapi sekuat itu pula tubuhnya terus ditahan agar mengikuti permainan pria itu.

Bibir bawahnya dilahap secara kasar. Tubuh Camila didorong hingga berbaring ditas kasur. Tepat diatasnya, Brandon mengkungkung tubuhnya. Tidak membiarkannya pergerak karena kedua tangannya di tahan cukup kuat. Ciuman mereka semakin dalam tapi Camila berusaha menghentikan tindakan gila Brandon.

"Hentikan! Kumohon..." ucap Camila saat Brandon menghentikan aksi cium paksanya.

Sadar akan tindakannya yang cukup diluar kendali Brandon menghentikan ciumannya.

"Maafkan aku. Aku... aku kehilangan kontrol. Tidak perlu hiraukan aku. Masuklah mandi." Brandon bangkit lalu membelakangi Camila. Merutuki dirinya yang sangat cemburuan. Oh, Tuhan!

"Camila? Kau baik-baik saja didalam?" Paul mengetuk pintu dari luar. Detik selanjutnya Camila masuk kedalam bathroom dengan panik. Memandang punggung Brandon dengan tatapan benci.

"Semua baik-baik saja Paul."

...

Setelah pagi itu, Camila pergi bersama Paul. Gawat! Ini gawat sekali! Pikirannya tidak henti melayang membayangkan apa saja yang Camila dan Paul lakukan bersama. Tubuhnya seakan ingin meledak. Emosinya membuncah. Tapi, Brandon tidak bisa berbuat apa-apa. Jika Paul tahu ia berusaha mendekati Camila, ia bakal jamin mereka akan dalam masalah besar. Sebaiknya Brandon harus lebih mengontrol emosinya. Bertindak gegabah akan menghancurkan segalanya.

Ia menelephone salah satu temannya. Menanyakan keberadaan kemudian meluncur pergi meninggalkan apartemen Camila yang sudah kosong dengan motor yang ia bawa semalam.

Rencananya semalam gagal total. Ia tidak memprediksi reaksi Camila yang menolaknya mentah-mentah. Tapi, ia tidak boleh menyerah semudah itu. Bukankah sesuatu yang berharga tidak mudah didapatkan?

Tapi hati dan pikirannya begitu kalut. Takut jika Paul berani menyentuh porselin berharga miliknya. Membayangkannya saja rasanya ingin mati.

"Paul sialan!"


See you on next chapter

Jangan lupa vote dan follow juga akun ini agar tidak ketinggalan chapter selanjutnya. Pastikan kalian menambahkan "the boy try to flirt me" kedalam list bacaan kalian. Jangan lupa komen juga yaa kalau ada typo atau pemilihan kata yang kurang tepat.

The Boy Try To Flirt Me [+21]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang