20

7.5K 752 82
                                    

Kadang, ingin hati menenangkan rasa tanpa campur tangan ego yang selalu bisa mengalahkan keadaan tenang. Logika juga dituntut diam, agar kehendak hati murni mencapai klimaks yang sempurna. Apa yang sedang digelut oleh sekeping hati yang berusaha keras agar diam tidak mengacaukan suasana? Jika dianya bisa diam bagaimana dengan sekeping hati lain yang masih mencari pemilik hatinya?

Di depan pintu apartemennya, Elang mendapati Elora yang berdiri basah kuyup dengan mata memerah. Sekalipun air hujan membasahi pipinya, Elang tahu jika Elora menangis.

"Apakah kamu ingin membuatku terlihat jahat?" tubuh Elora berguncang. Ia tidak tahu lebih besar mana antara pengorbanannya dengan Elang.

"Ada apa?" tanya Elang. Datar, khawatir ia sembunyikan dengan baik.

Elang tidak mempersilahkan Elora masuk. Kedatangan Elora ke apartemennya tengah malam seperti ini memang membuatnya penasaran.

"Adakah yang aku tidak tahu tentangmu?"

Elang memperhatikan wajah Elora. Hatinya masih tenang dalam dinginnya cuaca malam itu.

"Tujuh tahun, apakah ada yang aku lewatkan?" karena saat kembali ke tanah air, sosok Elang cukup asing di matanya.

"Kenapa aku tidak mengenalmu sedang kita bersahabat?"

"Jangan katakan sesuatu yang telah kau akhiri." datar, tapi Elora bisa menangkap nada tajam dalam barisan kalimat itu.

Elora masih menangis. "Sebelum aku menuntut, katakan sebesar apa kebodohanku di matamu?!" Elora berteriak. 

"Pulanglah!" Elang tidak tahu jika Elora tidak mengatakan apa yang terjadi.

Elora yakin saat menahan lengan Elang dan mendorong kasar pintu apartemen laki-laki itu. Menerobos masuk, Elora kembali berteriak. "Kamu tahu betapa tololnya aku di matamu sedang aku tidak tahu apapun!"

"Kamu putus dengan tunanganmu?"

"Kamu pikir aku akan segila ini jika harus berakhir dengannya?" Elora sakit. Hatinya perih. Perasaannya tercabik.

Lalu apa? Elang tidak ingin menerka.

Saat Elang ingin masuk ke kamarnya Elora kembali menahan laki-laki itu dengan menarik baju Elang hingga robek di bagian punggung.

"Katakan caramu bertanggung jawab atas ketololanku!" 

Elang marah, tapi ia masih diam. Percuma membual sedang ia tidak tahu apa yang dibicarakan Elora.

"Aku akan mengambil handuk."

"Aku butuh kejujuranmu!"

Elang tidak peduli. Ia masuk ke kamarnya untuk mengambil handuk. Setelah itu akan mengantarkan Elora pulang.

Elang tidak tahu jika Elora mengikutinya ke kamar.

"Siapa yang mengubahmu sejauh ini? Dinda?" sinis Elora bertanya. "Dia bisa melakukan apapun untukmu sedang aku yang disisimu tidak bisa?" setiap mengingat hal itu hati Elora sakit. 

"Jangan ungkit orang yang sudah tiada."

"Karena begitu besar cintamu sehingga aku harus terlihat tolol di depanmu?!"

Elang meletakkan handuk di bahu Elora. "Bersihkan diri di kamar mandi. Aku tunggu di luar."

"Kamu pengecut Elang!" Dara meremas dadanya.

Sebuah pesan masuk ke ponselnya. Sebelum membalasnya, Elang menatap wanita yang pernah menjadi sahabatnya.

"Itu bukan baju Dinda."

Persetan dengan baju. Elora nekad keluar tengah malam buta karena ingin berbicara dengan Elang.

"Bicaralah sebagai seorang laki-laki." isak tangis Elora menyiratkan luka dihatinya. "Kamu pernah punya Emil, setidaknya aku yakin jika kamu adalah lelaki!"

"Sudah larut malam. Ganti baju. Aku akan mengantarmu pulang."

"Baiklah." Elora tidak menyerah. "Jika kamu tidak mau berbicara, aku yang akan bicara!" 

"Ganti baju du----"

"Persetan dengan pedulimu, Lang!" karena bukan itu yang Elora inginkan sekarang.

"Dengar baik-baik." Elora akan mengulang, bila perlu ia akan mengatakan sedetail-detailnya.

Saling berhadapan dua manusia yang pernah menjadi sahabat itu menatap dalam manik masing-masing dalam raut yang berbeda.

"Ini tentang masa lalu." Elora merendahkan suara agar Elang tahu jika Elora sudah melupakan masa itu.

"Hubunganmu dengan almarhumah, aku mengetahui jauh sebelum kamu mengakuinya. Apakah layak kita disebut sahabat?"

Elora mengusap air matanya.

"Kamu membawaku ke apartemen dan lupa jika aku ada di sana, pantaskah kita disebut sahabat?" 

Sinis, kalimat itu dilontarkan Elora.

"Aku menjauh hingga benar-benar pergi, apakah tidak ada kaitannya denganmu?"

Yang lebih sakit adalah, "Kalian berciuman di rumahku sedang saat itu kita akan pergi bersama." Elora memukul dadanya. "Menurutmu, apa arti diriku saat itu?"

Elang mendengar. Ego mereka searah. Sama-sama merasa tersakiti.

"Aku pergi jauh dari orang tua membawa luka hati hidup di negeri orang apakah kamu pikir saat itu aku tegar?" percayalah itu tidak mudah. Support orang tuanya membuat langkah Elora kembali tegar. Elora tidak perlu mengiba di depan Elang.

Diam, bukan berarti menerima. Mendengar tanpa perlu menyaring karena Elang sama terlukanya dengan Elora.

"Aku sempat masuk ke rumah sakit saking lemahnya saat itu. Apakah ada kata lain yang menggambarkan kebodohanku saat itu?!" tatapan keduanya sama tajam.

"Aku patah hati." Elora marah. "Saat itu."

"Kamu diam saat itu." empat kata dari Elang menguak kembali luka masa lalu.

Elora tidak percaya dengan jawaban Elang. "Jika aku diam, tidak bisakah kamu jujur tentang perasaanmu pada sepupuku?!"

Elora merasa tubuhnya menggigil. "Apakah aku harus menyaksikan kemesraan kalian dulu?" sakit saat Elora mengulang ingatan itu. "Saat aku menjauh pun kamu tidak merasakan." Elora sudah keluar dari masa menyakitkan itu. Tapi tidak dengan malam ini.

"Harusnya kamu menikmati masa sendiri. Menjalani kesepian. Merenungi takdir." bukan menarik Elora bersamanya.

"Menurutmu, yang kamu lakukan itu benar?" 

Elang mulai awas.

"Aku sudah melupakan. Sudah meninggalkan. Artinya, aku siap menjalani masa depanku dengan siapapun."

Jantung Elang berpacu dengan hebat. Apa yang dikatakan Elora menjadi tanda tanya besar bagi laki-laki itu.

"Katakan." Elora meneguk ludahnya. "Satu kata saja." mata Elora menatap manik laki-laki yang pernah dicintainya. "Arti diriku untukmu."

"Aku menginginkanmu lebih dari wanita manapun." tajam dalam suara parau Elang memberikan jawabannya.

Saat sebuah ciuman berlabuh di bibirnya, Elora tahu untuk siapa rindu laki-laki itu menggebu. Karena gelora itu juga dirasakan beberapa hari yang lalu saat Elang menciumnya.

Elora tidak lupa diri, tapi ia juga tidak bisa melepas diri. Marah dan syahdu menyatu dalam  rasa. 

Untuk pertama kalinya, Elang menyentuh Elora dalam gelora memabukkan. Elang melakukan dengan hati-hati karena ini pertama kalinya untuk Elora. Ia akan meminta maaf besok. Sungguh, saat ini Elang hanya ingin menyatukan diri dengan Elora, wanita yang pernah menjadi sahabatnya.

Siapa Elora baginya?

Apa arti Elora untuknya?

Seberapa besar pengaruh Elora dalam hidupnya?

Yang terpenting adalah, sebesar apa ruang hatinya untuk Elora. Elang, tahu. Perlahan, Elang akan mengatakan biarpun Elora tidak menganggapnya.

Peluh Elora menjadi bukti, pun dengan Elora. Mereka tahu, hanya saja terlalu egois untuk mengakui apalagi menjelaskan arti sekeping hati yang menyimpan sejuta rahasia.

Bersambung ....

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 10 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinta Bertepuk Sebelah Tangan (Cerita Lengkap Di PDF)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang