Suara ceret melengking mengantarkan Bagas untuk menyeduh dua minuman hangat; satu teh Oolong & satu kopi hitam untuknya. Disebelahnya telah rapih bertumpuk 2 'French Toast' yang sudah disiram dengan sirup mapel. Saat menyiapkan alat makan, serbet putih yang akan digunakan jatuh ke lantai, memperlihatkan ujung kaki Bagas yang sudah memakai sandal empuk rumahan. Bagas membuka laci tempat menyimpan serbet. Umpatan kecil terlontar dari mulutnya saat Bagas sadar dengan apa yang dilihatnya.
Tirai kain menyibak sinar mentari pagi kala Bagas membukanya sambil memberikan ucapan selamat pagi kepada Adinda yang masih bersembunyi di dalam selimut. Adinda mengintip lewat kelopak mata yang dibukanya secara perlahan, memperhatikan Bagas mengenakan sarung tangan dan menuang beberapa obat ke tangannya. Menoleh ke arah kiri, Adinda melihat baki makan pagi yang tersaji rapih. Dua gelas minuman hangat, French Toast, alat makan. Sempurna. Hampir. Kecuali dengan serbet warna merah muda yang berada tepat di belakang dua minuman hangat. Adinda mengangkat badannya, mengambil posisi duduk di atas tempat tidur.
"I hate you," ucap Adinda.
Bagas menghampiri Adinda dengan segelas airputih di tangan kanan dan obat-obatan di tangan kirinya. Dia menjulurkan tangan kirinya sambil menunggu obat-obat di telapak tangannya berpindah. Adinda menatap Bagas yang masih menatap telapak tangannya.
"I'm dying whether I take your medication or not."
"Not my medication," balas Bagas. "And, you're not dying."
"I hate you."
"Aku ngga peduli."
"Yes, I hate you," ucap Adinda secara perlahan sambil mengambil obat yang berada di telapak tangan Bagas. Mata Adinda menatap Mata Bagas yang sekarang sudah menyodorkan segelas air dari tangan kanannya. Tidak lama, Adinda mengambil gelas dari tangan Bagas dan menegak obat. "If only you were half of him."
Bagas terus menatap Adinda. Perlahan, senyuman tersimpul dari mulut Bagas. Dengan sigap, Bagas segera mengambil gelas yang sudah kosong dari tangan Adinda.
"Ada apa dengan pink napkins?"
"Serbet yang biasa belum selesai dicuci."
"Hah, sudah aku bilang. Pecat saja perempuan tua itu, tidak bisa kerja."
Bagas mengambil kursi, meletakkannya dekat pada sisi Adinda duduk di tempat tidurnya. Bagas duduk, dan mereka saling bertatap-tatapan.
"Kenapa kamu ada di sini? Mana perempuan tua itu?"
Bagas menjawab dengan memperlihatkan gerakan yang menunjuk ke luar kamar.
"Keluar! Kamu keluar dari sini," tukas Adinda. Bagas tetap duduk di tempatnya, menatap Adinda. "Apa?" Bagas menjawab dengan senyuman, tanpa kata-kata. "I don't need your pity. Out!"
Perlahan, Bagas berdiri. Ketika hendak keluar ruangan, dia membalikkan badannya, mengambil serbet merah muda yang berada di baki, dan melanjutkan langkahnya ke luar kamar.
Beberapa langkah di lorong luar kamar tidur, dengan serbet merah muda di tangannya, Bagas berhenti. Dia menghela nafas. Bagas berada di lorong yang temboknya berisikan jajaran bingkai foto hitam-putih seorang ballerina yang sedang melakonkan gerakan. Mata Bagas tertuju pada salah satu foto, sebuah close-up akan ekspresi sang ballerina yang tersorot lampu panggung dengan latar belakang hitam yang memberikan kontras. Terkenang akan 45 tahun yang silam penampilan solo internasional pertama Adinda di Narodni Divadlo Praha. Terkenang botol Becherovka yang pecah dari atas meja, tersenggol tangan gemulai Adinda saat dia akan memanggil pelayan di sebuah kavarna di Stare Mesto.
"Bagas, dimana dikau," teriak Adinda dari dalam kamar."Aku lapar, Bagas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rangkaian Melati
RomanceSebuah roman berlatar belakang pandemi, tentang sebuah pengabdian seorang suami setia yang mempertaruhkan masa karantina untuk bersama pujaan hati masa lalunya yang hari demi hari semakin kehilangan ingatannya.