Bagas melepaskan sepatu bot karet yang tersisa pada salah satu kakinya. Menghela napas, kemudian Bagas memainkan jemari kaki yang baru saja terbebaskan. Seseorang datang menghampiri dari kejauhan, lengkap dengan jaket parka, sarung tangan wol, bot karet dan masker yang terpasang. Ujang menurunkan masker, membungkuk dan mengucapkan selamat pagi ke Bagas.
Ujang datang setengah jam lebih awal dari waktu yang seharusnya. Kalau dalam keadaan normal, Ujang pasti akan menyelesaikan kewajiban Subuh berjamah terlebih dahulu di surau dekat kaki bukit. Sekarang ini Ujang memilih menjalankan subuhnya di mushola perkebunan. Dengan datang lebih awal sehingga dia bisa pulang lebih awal, pikir Bagas.
Bagaimana keadaan ibu, tanya Ujang ke Bagas yang cukup membuyarkan lamunan Bagas. Alhamdulillah sehat, jawab Bagas singkat. Ya, kita berdua dalam keadaan sehat, lanjut Bagas dalam hati sambil menatap Ujang, menunggu, layaknya memilah dan mencari apa yang akan diucapkan berikut juga mengantisipasi apa yang akan Ujang tanya selanjutnya. Berujung kekakuan, Ujang akhirnya minta pamit dan segera berlalu untuk melanjutkan aktifitasnya.
Ibu senang dengan anak cucu yang memilih untuk nginap bersama kami, ucap Bagas sambil mengangkat badannya yang agak ringkih dari bangku kayu tempat pekerja biasanya beristirahat. Ujang, dengan penuh hormat, sigap membalikkan badan untuk kembali berhadapan dengan Bagas. Bagaimana dengan keluargamu, Jang, tanya Bagas yang lebih merupakan basa basi.
Tidak berapa lama lagi, kebun bunga ini akan berisi kawan-kawan Ujang yang merupakan pekerja harian yang dipekerjakan Bagas dan keluarganya. Sesungguhnya tidak banyak yang mereka lakukan di masa yang bisa dibilang tidak normal ini. Tetapi kebun bunga ini juga tidak bisa dibiarkan lama berantakan. Yang pasti, bunga-bunga yang tidak laku terjual, karena minimnya permintaan, bisa segera dikeringkan untuk dijadikan bunga rampai. Setidaknya, jenis itu bisa agak bertahan lama. Hari ini, Ujang sudah memetik beberapa bunga yang siap dirangkai untuk pelanggan yang memang memesan rangkaian bunga. Karena bukan keadaan normal, jadinya tidak banyak.
+++
Roda ban kembali berputar. Bagas, dengan masker kain yang menutup sebagian wajahnya, duduk di belakang kemudi, mengemudikan mobilnya dan meninggalkan 'checkpoint' yang baru saja disinggahnya. Masih terngiang pujian dari penjaga 'checkpoint' betapa indah karangan bunga yang berada di kursi samping kirinya. Tidak lama, mobil tipe wagon W124 yang dibawa Bagas keluar dari jalan bebas hambatan, menelusuri jalanan sepi pinggir kota. Matahari mulai meranjak, meskipun kabut masih menutupi warna keemasannya.
Di jalanan, baru satu ojol yang terlihat melintas. Ini ojol pertama yang dilihat Bagas pagi ini. Terkenang pada satu saat, ketika dalam keadaan normal, ada hampir 30 lebih ojol yang menunggu di depan gerbang perkebunan untuk mengantarkan antaran berbagai jenis bunga hari itu ke beberapa titik di kota. Ujang dan kawan-kawannya pasti agak kewalahan meskipun pada akhirnya mereka akan melewatinya dengan keceriaan. Pada setiap Selasa dan Jumat, Bagas memilih sendiri jenis bunga untuk dirangkai dan dibawa ke lembah kota bagian utara, di bawah kaki pegunungan yang mengelilingi ibu kota kabupaten. Ke tempat yang sama dengan tujuan dia pagi ini.
Suara handphone Bagas berbunyi. Segera dia memasang headset yang tergeletak dekat rangkaian bunga. Bagas menjawab panggilan dari nomor yang tidak dikenalnya. Angka speedometer perlahan turun dari sebelumnya bersamaan dengan wajah Bagas yang berubah kencang sambil dia terus memperhatikan jalanan kosong di depannya. Tiba-tiba, seorang pengendara sepeda motor lewat melintas, menyebrangi perempatan yang juga akan dilalui mobil Bagas. Seketika, Bagas menginjak rem dan menekan klaxon dalam-dalam. Si pengendara motor yang terkejut menoleh ke arah Bagas. Kepala yang tak dipasang helm dan muka yang tak ditutup masker mengantar pelototan mata kekesalannya sambil terus melintas di perempatan yang kosong. Mobil Bagas berhenti tiga meter dari perempatan, jauh untuk dapat menyenggol sepeda motor tadi.
Suara pada handphone Bagas terdengar samar-samar lewat earphone yang terpasang.
Hari ini, potong Bagas dengan tegas yang langsung menghentikan celotehan suara perempuan di seberang. Harus hari ini dan tidak bisa pindah ke hari lain, lanjut Bagas yang dilanjutkan dengan menjalankan kembali mobilnya. Saya tunggu kalian hari ini, tutup Bagas sambil mencopotkan earphone dari telinganya.
Kepala mobil memasuki area pintu gerbang yang tertutup rapat. Bagas turun dari mobil yang dibiarkan menyala, membuka gerbang dengan mudah. Tidak lama mobil Bagas masuk, menaiki tanjakan, melewati halaman rerumputan yang mulai terlihat tidak terurus, mengantarkannya ke bangunan utama, sebuah vila era kolonial. Biasanya Bagas akan turun kembali untuk menutup gerbang tadi, tetapi hari ini dia akan tetap membiarkannya. Bagas melihat ke arlojinya.
Dari dalam rumah, muncul perempuan sekitar 30an berpakaian ala suster. Bagas menghentikan mesin mobil yang menyala, melepas masker pada wajahnya, kemudian turun dari mobil. Perempuan bernama Ningsih menghampiri Bagas memberi kabar soal halaman rumput yang tak terurus.
"Minggu lalu terakhir kali Mang Syarip datang," ujar Ningsih. "Ada dua korban jiwa dari RW-nya Mang Syarip. Dia kemarin whatsapp ke saya, kalau Pak RW-nya minta warga satu RW untuk tetap berada di dalam rumah."
Bagas menganggukan kepalanya. "Nanti kamu saya ajarkan bagaimana menjalankan mesin pemotong rumput. Tidak susah."
Pernyataan Bagas tadi membuat Ningsih menyempilkan senyuman. Tidak lama dia menundukkan wajahnya. "Pak, ada yang saya mau bicarakan ke bapak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rangkaian Melati
RomanceSebuah roman berlatar belakang pandemi, tentang sebuah pengabdian seorang suami setia yang mempertaruhkan masa karantina untuk bersama pujaan hati masa lalunya yang hari demi hari semakin kehilangan ingatannya.