Who Told You I Hate You

42 1 0
                                    

Hidung Adinda menghirup aroma kopi di depannya. Merasa cukup, Bagas menarik gelas kopi yang tadi dibiarkan dinikmati oleh penciuman Adinda.

"Kenapa kamu tidak kasih aku merasakan kopi itu," Bagas menggelengkan kepalanya sebelum dirinya menegak kopi tersebut. "Setiap kamu ke sini, kau tega membiarkanku hanya mencium kopi milikmu. Tega, sungguh tega," ucap Adinda sambil tersenyum manja.

"Aku bisa saja membiarkanmu merasakan kopi ini," ujar Bagas. "Tapi bukan itu yang tubuhmu butuhkan saat ini."

Senyuman Adinda berubah. Ruang tengah yang sekarang lebih banyak dipakai Adinda untuk menikmati makan pagi menjadi senyap seketika. Mata Bagas menatap Adinda yang tiba-tiba terdiam, menatap kosong piring di hadapannya.

"Kopimu itu pasti kwaliteit rendah," tukas Adinda kemudian dilanjutkan dengan memotong sisa French Toast di piringnya, dan dimasukkan ke dalam mulutnya. "Kamu tahu, Gas. Aku selalu menikmati kopi terenak di setiap tempat yang aku datang kunjungi.

Bagas menganggukan kepalanya. Terkenang Leningrad tahun 1978 ketika seorang pelajar seni dari Rhodesia mengenalkan biji kopi dari dataran tinggi tanah kelahirannya kepada Bagas dan Adinda.

Tiba-tiba, Ningsih hadir sambil mengalunkan lagu "selamat ulang tahun" bersama kue muffin yang sudah tertanam lilin menyala di atasnya. Bagas bangun dari kursinya, bergabung dalam perayaan. Wajah Adinda begitu berseri melihat perayaan kecil di hadapannya.

"Kamu," ucap Adinda ke Ningsih. "Tadi dicariin sama dia," menunjuk ke Bagas yang cukup membalasnya dengan senyuman.

"Selamat ulang tahun yah, bu," ucap Ningsih. "Semoga di usia yang ke 70 ini, ibu selalu diberi kesehatan, kebahagiaan dan berkah dari tuhan yang maha esa."

"Yee, saya ini bukan penganut agama kepercayaan. Yang kasih berkah itu Allah Subhana Wataala. Gas, aku itu paling ngga suka dari dulu kalau orang-orang kita berdoa in the name of tuhan yang maha esa."

Terkenang, yah apa lagi kalau bukan program acara ketuhanan yang maha esa di TVRI, yang lebih diutamakan ketimbang menampilkan acara kesenian barat. Bagas membalikkan badan, pergi ke luar ruangan, tidak menghiraukan panggilan Adinda padanya.

"Kamu, lekas panggil Bagas," perintah Adinda kepada Ningsih. "Aku mau dia ada di sini. Bukan kamu!"

Tidak lama, Bagas kembali dengan rangkaian bunga melati yang sudah berada di dalam vas yang cantik.

"What a lovely jasmine," ucap Adinda.

"Kamu mau aku taruh dimana ini?"

"Please, let me hold it dearly, and smell it for a while."

Bagas memberikan vas kecil berisi rangkaian melati ke Adinda. "I always love white flower. Especially melati. Thank you, darling." Adinda meletakkan vas itu di atas piring yang masih tersisa setengah dari French Toast yang belum habis disantap, dan memberikan jemari tangan kanannya untuk disambut oleh Bagas.

"So, you no longer hate me," ucap Bagas bercanda.

"Hah? Who told you I hate you," ucap Adinda merasa tersindir. "Perempuan tua ini? Biarin bunga ini ada di sini! Tidak apa-apa," bentak Adinda.

"Ini mau saya rapihkan, bu."

Adinda menahan apa yang hendak dikerjakan Ningsih dan mengusirnya, tanpa suara, hanya dengan pergerakan tangan yang gemulai. Perlahan, Ningsih mundur, sambil menatap Bagas.

"I'll take care the flower," ucap Bagas sambil mengangkat vas dari atas piring Adinda.

"Thank you, darling."

+++

Di dalam dapur, Bagas menekan tombol hapenya. Lagu yang menjadi nada panggil membuat Bagas menjauhi hape dan menekan fitur speaker. Lagu ini menjadi terdengar, bersamaan Ningsih hadir di belakang Bagas. Panggilan Bagas tidak terjawab.

"Pak, saya ingin melanjutkan pembicaraan yang tadi."

Bagas menganggukan kepala, menyilahkan Ningsih untuk berbicara.

"Jadi begini, pak. Orang tua saya khawatir dengan keadaan yang semakin tidak menentu seperti sekarang ini. Mereka cemas kalau kota kami, akan...."

Panggilan telepon untuk Bagas terdengar, dan Bagas harus menahan Ningsih berbicara saat dia mengangkat panggilan telepon.

"Barusan saya telpon, cuma ingin kasih tau kalau ibu bisa siap dalam satu jam ke depan. Saya mau tanya berapa orang dari kalian yang akan datang," tanya Bagas sambil membuka lemari di dapur untuk persediaan. Ningsih datang mendekat.

"Saya sudah tidak membeli persediaan semenjak Mang Syarip berhalangan datang," bisik Ningsih secara perlahan ke dekat Bagas.

"Apa mereka semua akan masuk ke dalam rumah?" Bagas menunggu jawaban sambil berjalan menjauhi Ningsih. "Maaf, saya cuma bisa kasih kamu sendiri saat bersama ibu, dan yang lain harus keluar 10 menit sebelum ibu masuk ke ruangan." Kembali Bagas menunggu. "Tidak bisa, mbak. Saya harus sterilkan ruangan." Ningsih kembali mendekati Bagas.

"Baik. Begini saja. Kalian siap dengan baju ganti yang masih bersih. Sampai di sini, saya minta kalian mandi terlebih dahulu kemudian memakai baju bersih yang kalian bawa. Bagaimana?"

Bagas menganggukan kepalanya dan menyudahi pembicaraan.

"Pak, kita hampir kehabisan disinfectant dan sabun di kamar mandi tamu sudah habis," lapor Ningsih. Mata Bagas menatap Ningsih dalam-dalam.

"Oke, coba lanjutkan apa yang tadi kamu mau bicarakan."

+++

Tangan Bagas mengambil shower untuk membersihkan sabun yang masih tersisa di punggung Adinda. Rambut Adinda yang agak menutupi sebagian punggung diangkatnya sebentar sebelum membasahi seluruh punggung.

"Aku ingin setiap hari ada kamu memandikanku, Gas." Bagas tidak menjawab tapi terus membasahi celah-celah badan Adinda yang luput dari air. "Aku tak suka badanku dipegang oleh perempuan tua itu."

"Ningsih belum tua."

"Oh, itu toh namanya, Ningsih. Hmmm, bagiku dia sudah tua."

"Umurnya masih 32. Belum menikah." Bagas mengambil handuk dan mengeringkan badan Adinda.

"Tiga puluh dua dan belum menikah, dia perawan tua." Sekarang rambut Adinda dengan perlahan dan penuh perhatian dikeringkan Bagas. "Dia jahat padaku si perempuan tua itu. Aku tidak suka. Umur 32 aku sudah mempunyai Gustav dan Elena. Elena umur setahun. Bibirnya kecil, mirip dengan Henk. Kamu ingat mereka, Gas? Gustav dan Elena?" Bagas memberikan mantel mandi ke Adinda untuk dikenakannya.

Tidak lama, Bagas mendampingi Adinda berjalan ke luar dari kamar mandi, menuju meja rias di seberang tempat tidur.

"Aku mau kamu berpenampilan yang terbaik hari ini," pinta Bagas. "Ada tiga baju yang sudah aku siapkan." Bagas memperlihatkan tiga gaun yang digantung pada celah lemari. "Selain hari ini adalah ulang tahunmu, hari ini juga ada wartawan yang akan wawancara."

"Televisi?"

Bagas berhenti sejenak, mengkonfirmasi informasi dalam benaknya akan wartawan yang hendak meliput Adinda. Akhirnya. "Ya, televisi." Adinda tersenyum. "Kamu pilih baju mana yang ingin kamu pakai dari ketiga ini," ucap Bagas sambil menunjukkan kembali pilihan baju tersebut.

Pintu kamar diketuk. Ningsih sudah berada di mulut pintu, dengan pemindai suhu di tangannya.

Rangkaian MelatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang