Sebuah tayangan sinetron tengah mengudara pada layar televisi. Adinda duduk terpaku menatap para pemain sinetron beradu akting, beradu close-up frame, beradu ekspresi diiringi alunan musik monoton dalam sebuah adegan klise. Tidak jauh, di dapur yang menghubungan dengan ruang TV, Bagas menuang semua nasi yang tersisa dari penanak nasi listrik ke dalam wajan yang sudah berisi rempah bercampur minyak.
Naik turunnya emosi pemain drama pas-pasan di layarkaca berbarengan dengan usaha keras Bagas mengaduk nasi yang digorengnya dengan bumbu seadanya. Panasnya aktifitas dapur memaksa peluh Bagas menetes di sekitar keningnya. Tidak jarang, dia harus menyeka dengan pakaian yang dipakainya.
"Gimana aromanya?"
Adinda menghentikan tatapannya dari layarkaca, mencoba mencium aroma yang mendekat ke dirinya dari arah dapur.
"Kamu tidak pakai terasi?"
"Hanya apa yang ada tersisa di dapur ini."
"Kita harus belanja bersama, Gas. Apa yang kamu suka, sering beda dengan yang aku suka."
Bagas menghentikan adukannya dengan nasi di wajan, mengambil dua piring yang sudah disiapkan, menyajikannya. Dengan apa yang ada dari dalam kulkas, Bagas berusaha maksimal untuk memberikan hiasan untuk makanan yang akan disajikan. Terbaik dari yang ada di sekitarnya. Ada, tapi tidak maksimal. Bagas menengadah, terdiam sejenak. Dia menatap kosong pada salah satu dinding polos sebelum menoleh ke salah satu sudut yang terdapat beberapa bingkai foto Adinda yang sedang bersantai. Salah satu foto yang mengabadikan Adinda, bertopi anyaman lebar musim panas berwarna merah, sedang tersenyum ke arah kamera sambil menikmati spagheti dengan latar belakang Pesisir Amalfi.
Dua piring, bersama peralatan makan lainnya, sudah berada di atas meja. Bagas menjemput Adinda untuk didudukkan di kursi yang berseberangan dengan dirinya. Dengan berlatar belakang adegan sinetron sebagai latar belakang, sesuai permintaan Adinda, mereka berdua menikmati nasi goreng seadanya buatan Bagas. Dengan ketelatenan memegang garpu di tangan kiri, Adinda menakar nasi yang hendak ditempatkan di atas sendok, sebelum dimasukkan ke dalam mulutnya. Bagas memperhatikan Adinda. Seseorang yang dia kenal selama ini, yang tidak pernah terburu-buru menikmati makanan. Lahapan demi lahapan selalu dinikmatinya dengan mengunyahnya hampir ada satu menit. Berbeda dengan dirinya, dimana hanya sendok yang selalu berada di tangannya, Adinda selalu sigap dengan sendok dan garpu di kedua tangannya, kecuali saat dirinya hendak menegak minuman atau mengelap sisa makanan.
"Kenapa kau pakai serbet merah muda itu," tanya Adinda saat memperhatikan serbet yang tergeletak di sebelah piring Bagas. "Kau merusak color coordination meja ini," lanjut Adinda dengan mengelap bibirnya dengan serbet putih yang diambil dari atas pahanya.
Bagas membuang serbet merah muda tadi ke lantai di bawahnya. "Maaf."
Kembali Adinda menakar nasi yang akan dilahapnya. Bagas terkenang Positano, kurang lebih 40 tahun yang silam, saat dia membelikan topi anyaman musim panas berwarna merah. Terkenang saat dia mengabadikan beberapa gambar Adinda tak resmi setelah tampil dalam tur 5 kota di Eropa Barat. Bagas terkenang saat Gustav dan Elena lebih memilih untuk berada di Disneyland Anaheim bersama Henk ketimbang menemani Adinda pentas. Bagas terkenang saat dia menemukan Melati Casablanca untuk ditempel pada topi anyaman merah yang dikenakan Adinda sepanjang tur. Terkenang akan pujian. Adinda memuji melati dan topi merah adalah kordinasi warna yang tepat, dua warna yang menyimpan penuh harapan. Entah apa arti dari pengharapan tersebut.
"Bagaimana rasanya?"
"Standard," jawabnya singkat. "Bagas."
Bagas mengangkat kepalanya.
"Kau lebih sering berada di sini ketimbang Elena."
"Elena ada di Negeri Belanda, Din."
"Ah, itu alasannya dia saja," tukas Adinda. "Kalau saja Gustav masih ada, dia yang akan menemani aku di sini. Gustav anak yang baik kan, Gas?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rangkaian Melati
RomanceSebuah roman berlatar belakang pandemi, tentang sebuah pengabdian seorang suami setia yang mempertaruhkan masa karantina untuk bersama pujaan hati masa lalunya yang hari demi hari semakin kehilangan ingatannya.