Setelah melampaui beberapa minggu sebagai pegawai paruh waktu Dope Sketch, sebuah panggilan Ibu [Name] masuk pagi itu. Melewati momen panggilan di bawah matahari terik bersambut nuansa menyegarkan dari secangkir es krim.
[Kenapa lama sekali tidak menelepon?]
"Maaf, aku lupa menghubungi. Kondisiku baik-baik saja, kaa-san."
[Ibu sudah memesankan tiket kepulanganmu. Kau tidak menyusahkan Paman Oka, bukan?]
"Yaaah, selama ini tidak ada komplain apa pun, jadi kurasa aku tidak menyusahkannya. Dan ...."
Tercetus keinginan gadis itu menetap pada Okinawa. Ia tidak ingin menemui musim dingin yang membekukan. Musim terkelam yang menyebabkannya enggan memikirkan perayaan natal yang dianggap membahagiakan bagi siapa saja.
[Ada apa?]
"Apa aku ... tidak boleh menetap di Okinawa saja? Aku tidak betah di Tokyo."
[Aku tahu kau begitu takut, [Name]. Tapi ini tidak terjadi selamanya. Kami juga tidak bisa membiarkanmu sendirian. Masa-masa SMA-mu pasti segera berlalu.]
Ia begitu tahu sebagai anak tunggal, orangtuanya mencintai penuh kasih. Harapan besar untuk tidak membiarkannya sampai terluka. Namun, apa daya ia telah merasakan penindasan yang menyakitkan. Apalagi, karier ayahnya sedang dalam masa kejayaan.
"Benar juga. Maaf ucapanku melantur, kaa-san."
🛹🛹🛹
Terulang lagi dalam memori. Kenangan kelam. Tertindas setelah menolong teman yang selalu menjadi budak pesuruh. Terciprat seember air saat di dalam toilet. Terkunci pintu disekat gagang pel. Mengorek lembaran uang supaya terhindar dari tendangan. Mengalami kehidupan destruktif selama setengah tahun terakhir terasa memilukan.
Beberapa kali eksistensi menghampiri atap sekolah. Berharap jika ia terbebas dari rasa sakit itu.
Sekotak susu stroberi diarahkan pada meja kasir. Lamunan [Name] terbuyarkan. Langa menopang dagu, setengah berjongkok, dan menjadikan sikunya bertumpu pada meja. Entah sejak kapan [Name] menyadari Langa sudah masuk shift selanjutnya.
"Ada masalah?"
Padahal [Name] sudah menolak perasaan laki-laki itu, tetapi perlakuan terhadapnya masih tetap sama. Gadis itu tersenyum tipis.
"Hanya merenung karena tidak ingin pulang, tetapi apa boleh buat demi orangtuaku."
"Kenapa tidak ingin pulang?"
Sebuah jawaban terlontar setelah menarik embusan napas ringan, "Karena aku akan kembali ditindas. Aneh bukan, padahal ini bukan kota kelahiranku, tetapi aku merasa nyaman di sini."
"Siapa yang mencoba menindasmu?"
Tenggorokan [Name] tercekat saat menjawab, "Aku menolong seseorang di kelas, lalu diserang karena ikut campur."
"Aku ... mungkin tidak paham apa yang sudah [Name] alami, tapi kurasa kau bahagia di sini, bukan?"
Pernah suatu ketika, Reki dan [Name] berbincang tentang Langa. Saat Langa masih awam dengan skateboard, ia sudah memiliki sedikit dasar dari snowboarding. Mengarungi daratan bersalju yang selalu mengingatkan eksistensi Oliver. Almarhum ayah Langa.
"Aku senang di sini. Sangat. Apa kau bahagia, Hasegawa-san?"
Pemuda itu mengangguk. "Kalau begitu, menetaplah di sini."
[Name] tersenyum tipis. "Aku ikut senang karena kau menemukan kebahagiaan lagi. Tapi ... aku tak bisa."
"Selama perbuatanmu benar, kau harus melawan. Ayo, kita hadapi bersama. Bagian dari rasa bahagiaku juga hadir karenamu, [Name]."
🛹🛹🛹
"Pamaaaan! Apa [Name] masih di sini?"
Akhir-akhir ini, Reki menyadari suasana hati [Name] kian memburuk. Sejak diundang melihat kompetisi skateboard, terdapat ekspresi yang tak biasa dari keseharian selama berlibur. Karena adanya kehadiran Langa, [Name] dapat menjadi sosok yang lebih bersinar. Sisi yang enggan kepercayaan diri.
"Langa tidak memberitahumu? Shift mereka selesai hampir bersamaan hari ini."
Reki menggeleng cepat. "Ha? Ada apa dengan Langa?"
Paman Oka mengusap dagu. "Tak biasanya lelaki itu bertindak impulsif seperti itu. Katanya dia mengajak [Name] ke rumahnya."
Mulut Reki menganga selebar-lebarnya. Baru saja Langa kembali melajang, tetapi sudah menargetkan keponakan manajer itu untuk diajak ke rumah?
"Paman kok mengizinkan mereka begitu, sih?!" Reki menyambar papan roda yang terselip di bawah meja kasir. Sesekali ia terbiasa menitip papan skate jika sedang melakukan sebuah inovasi. Dan sepertinya, saat ini merupakan situasi yang tepat dalam menggunakannya.
"Bukankah mereka teman? Toh, ada Ibu Langa juga di rumah."
Tidak menjawab rasa penasaran yang terbendung, Reki pun mulai meluncurkan diri keluar dari Dope Sketch. Tak peduli racauan Paman Oka yang mengingatkan shift-nya masih berlanjut.
Bantuan papan roda yang diinovasikan Reki melaju seiring peningkatan kemampuan berlatih solo di taman. Tak dapat dipungkiri, teman Kanada-nya itu sudah lebih berkembang. Perasaan minder juga tak dapat terhindarkan, tetapi ia percaya bahwa kemampuan seseorang dapat terasah seiring berjalannya waktu.
Belum terlalu lama ketinggalan, Reki menekan tombol bel dan sesekali bernapas terengah-engah. Ia berharap belum terlalu terlambat mengejar dua insan itu. Tidak untuk kali ini yang terjadi tanpa sepengetahuannya.
"Se-selamat sore, Bibi ...." Reki menyapa kaku, tetapi manik merahnya mencuri pandang untuk menjelajah di dalam ruangan sana.
"Wah, Reki, lama tidak berjumpa. Ada apa?"
"Apakah Langa ada di rumah?"
Ibu Langa mengernyitkan dahi. "Tadi sempat ... tapi sudah tidak di sini."
Jantung Reki pun mencelus. "J-jadi Langa ada di mana sekarang?"
"Sebenarnya Langa tak terbiasa seperti ini, tetapi mempercayai keinginan dan tekadnya adalah hal yang bisa kulakukan sebagai Ibu."
"B-boleh dijelaskan?" Reki tidak mau lebih buntu lagi terhadap informasi sepatah-patah yang diberikan kepadanya.
"Langa pergi bersama [Name] ... ke Tokyo selama dua hari satu malam."
🛹🛹🛹
KAMU SEDANG MEMBACA
ᴾʳᵉᶜⁱᵒᵘˢ • ʰᵃˢᵉᵍᵃʷᵃ ˡᵃⁿᵍᵃ
FanfictionPertemuan mereka terjadi saat musim panas. Asumsi awal seorang Langa dingin, cuek, dan susah dijangkau. Namun, [Name] salah. Semakin dikenal, Langa adalah lelaki baik, naif, dan jujur dengan isi hatinya. Apakah mungkin laki-laki dan perempuan bisa b...