Gadis itu mengerjap beberapa kali. "Maaf? Benci terhadap Hasegawa-kun?"
Kalem bernuansa suram, Langa pun mengangguk kecil. Ia terlihat seperti anak kecil yang cemas akan ditinggalkan ibunya. Alih-alih merasa canggung oleh ucapan sendiri, [Name] terkikik pelan.
"Kenapa kau berpikir demikian?"
Langa mengerucutkan bibir. "Karena akhir-akhir ini aku jarang melihatmu. Kau juga lebih sering berinteraksi dengan Reki."
[Name] tidak mengira Langa akan memikirkan tingkah lakunya sedalam ini. Ia selalu mengira Langa lebih cuek. Ada keberadaan atau tidak, status mereka hanyalah rekan kerja di Dope Sketch. Apalagi keberadaannya di Okinawa hanyalah sementara, sedangkan sobekan lembar kalender kian menipis; mengingatkan kembali pada realita kehidupan Tokyo.
"I-itu bisa saja kebetulan. Tapi ... maksud Hasegawa-kun berniat lebih itu?"
"Ayo kita jadian. Pacaran, maksudku."
"Hah?"
Kantong es krim yang dijinjing [Name] jatuh tanpa aba-aba.
Tiada harapan kembali utuh sedia kala.
Apalagi memutuskan "berteman" seakan mitos.
🛹🛹🛹
Dengan pemikiran berbasis logika pun, pernyataan Langa sama sekali tidak masuk akal. Bagaimana bisa setelah putus hubungan kurang dari dua puluh empat jam kembali berganti status? Bahkan, kurang dari satu jam kemudian. Apalagi, Langa tidak sedih sama sekali setelah mengalami percekcokan barusan. Seakan baru saja bebas dari sangkar setelah dikurung sekian lama.
"[Name]? Bagaimana jawa---"
Pertanyaan Langa dipotong gadis itu, "Maaf, aku sedang rekap bon."
"Mau pergi makan? Aku ajak Reki juga," kata Langa usai mengganti pakaian kerja dengan seragam.
"Lain kali saja. Paman Oka masih menyortir tagihan invoice minggu ini."
Subjek yang dimaksudkan mengernyitkan dahi; merasa tertuduh karena seakan-akan ia mengacaukan jadwal keponakan makan bersama teman kerja. "Paman bisa mengurusnya sendiri, kok. Tak perlu menyudutkanku."
Reki sibuk menggerutu sembari bersedekap. "Kalian kenapa lagi, siiih? Lama sekali kalian berbaikan."
"Kami nggak berantem, kok!" jawab [Name] dan Langa bersamaan.
"Kalau begitu ayolah makan bersama," kata Reki menggerutu kesal. "Aku traktir nih!"
Manik [Name] berbinar. Siapa yang tidak suka menerima makanan gratis?
"Aku mau!"
Susah-susah mengelak, tetapi nyatanya sudah goyah dengan sogokan makanan.
🛹🛹🛹
"AAAAA!!!! PELAN, PELAAAAN!"
Bukan sesuatu yang biasa jika bersama Reki dan Langa. Alih-alih jalan kaki seperti orang pada umumnya, mereka saling menantang berselancar roda tercepat menuju restoran ramen. Tentu saja, [Name] sang kalangan awam terimbas menginjak papan roda karena ditarik Langa. Déjàvu? Jelas, episode nomor tiga jawabannya.
Siapa yang menang? Snow yang berambisi sampai lebih cepat sepersekian detik.
Tengah mengantre, baik telinga Reki maupun Langa dijewer setelah [Name] yakin kakinya berpijak stabil. Tampang saja kalem, tetapi mereka berdua doyan ugal-ugalan akan kebebasan.
"Sakiitttt, [Name] malu ah dilihatin yang antre," cibir Reki mengusap telinga kanannya yang memerah usai dijewer.
Langa juga mengusap pelan menambahkan, "Tapi seru juga."
"Seruuuu? Aku bisa merasa nyawaku berkurang singkat karena diajak nekat begini."
Melihat reaksi [Name] sibuk mengomel, Reki tertawa terbahak-bahak. Tidak pernah keponakan Paman Oka seriang itu. Dulu saja, [Name] tidak pernah menyentuh papan roda miliknya sama sekali. Ia lebih sering pasif menjadi penonton di taman Gushikawa. Keberadaan Langa membawa perubahan besar pada orang-orang sekitarnya.
"Saat ini kau terlihat lebih ceria, [Name]."
[Name] mengerjap bingung. "Apa maksudmu, Reki?"
"Dulu, kau diam sekali. Ada sih kita bicara, tetapi aku belum pernah melihatmu seribut ini."
Tiba masa antrean, mereka bertiga duduk dan memesan menu. Jika merenung kembali, [Name] yang dulu akan langsung menolak saat diajak ke S. [Name] juga akan memilih melarikan diri saat insiden papan roda berguling ke arahnya. Mungkin saja, pesona Okinawa menyihirnya pada perubahan tingkah lakunya. Begitu pun karena liburan musim panas yang identik padat aktivitas ketimbang ketiga musim lainnya.
Walau tidak bisa, [Name] tidak ingin waktu cepat berlalu.
🛹🛹🛹
Reki memutuskan pisah jalur pulang; membiarkan Langa dan [Name] pulang bersama. Tak lagi nekat seperti keberangkatan menuju kedai ramen, mereka berjalan beriringan. Langa tengah mendekap papan roda birunya, berjalan lebih pinggir pada trotoar, dan menempatkan [Name] di sampingnya.
Apakah [Name] panik ronde kedua? Ya, jelas! Namun, ia juga sadar bahwa tidak baik membiarkan pertanyaan Langa berlarut-larut tanpa kepastian.
"Apakah niatmu waktu itu ... serius?"
Langa mengangguk cepat. "Tentu. Jadi bagaimana jawabanmu, [Name]?"
"Kenapa aku?"
Jejak [Name] membekas bayang pada sorotan lampu jalanan. Tiada gestur. Terjeda. Langa tak langsung menjawab. Samar-samar, mereka bisa melihat jutaan bintang berkelap-kelip pada angkasa gelap. Seakan terlihat gelap, buntu, tetapi masih menyorotkan harapan.
Ketimbang langsung menjawab "iya" atau "tidak", [Name] memilih bertanya. Dari semua perempuan yang menghampiri lelaki itu karena tujuan status, kepopuleran, dan tampang. Adanya jejak sefrekuensi diam-diam menelusuri keyakinan Langa tanpa ragu. Walaupun waktu yang terlampau singkat. Ia tak pernah tahu seberapa cepat waktu berlalu.
Terhadap setiap orang diberikan kesempatan waktu yang sama. Dua puluh empat jam melalui pembulatan, tetapi sespesifik bumi berotasi dua puluh tiga jam, lima puluh enam menit, dan empat koma sembilan detik. Cepat atau lambat yang terasa berpandu pada momen yang terjadi.
"Karena ingin bersama [Name]."
"Bagaimana bisa?" [Name] mengepalkan tangan; dilema tak menerima jawaban detail. "Aku tidak lebih cantik dari gadis tadi. Aku ju--"
"Cantik, tetapi tidak bisa jadi diri sendiri saat bersamanya. Untuk apa?" Langa berbalik badan, kemudian merengkuh punggung tangan [Name]. "Tapi kau berbeda. Aku yakin kau juga merasa ucapanku terdengar palsu karena baru saja putus. Aku mau kau mempertimbangkan ini. Selama ini aku selalu pasrah terjebak dalam hubungan yang salah."
Jemari [Name] menyambut punggung tangan Langa yang menadah miliknya lebih dulu.
"Lupakan perasaan itu. Ingatlah, aku tidak selamanya menetap di sini."
Manik Langa kian melebar saat mendapati mata gadis itu berkaca-kaca. Ekspresi yang ditujukan dan ucapan yang bertolak belakang. Apalagi semakin berkata, hatinya seakan dicabik-cabik.
Sekali tarikan napas pun [Name] berucap, "Mulai minggu depan aku akan pulang ke Tokyo."
🛹🛹🛹
KAMU SEDANG MEMBACA
ᴾʳᵉᶜⁱᵒᵘˢ • ʰᵃˢᵉᵍᵃʷᵃ ˡᵃⁿᵍᵃ
FanfictionPertemuan mereka terjadi saat musim panas. Asumsi awal seorang Langa dingin, cuek, dan susah dijangkau. Namun, [Name] salah. Semakin dikenal, Langa adalah lelaki baik, naif, dan jujur dengan isi hatinya. Apakah mungkin laki-laki dan perempuan bisa b...