𝟟- 𝕒𝕔𝕔𝕖𝕡𝕥𝕚𝕟𝕘 𝕥𝕙𝕖 𝕔𝕙𝕒𝕟𝕔𝕖

81 14 0
                                    

- H-1 jam sebelum Reki bergegas ke rumah Langa -

Pergelangan tangan [Name] digenggam Langa. Erat, tetapi tidak melukai. Ada perasaan menopang, sekaligus nyaman menyelimuti hati gadis itu. 

"Kita mau ke mana?" [Name] mengernyitkan dahi. Sebenarnya sudah sejak awal ia bertanya, tetapi ia terus mengikuti dari belakang. Akan tetapi, pertanyaan tersebut terlontarkan sebab arah mereka justru berlawanan dengan hunian [Name].

"Ke rumahku."

[Name] mengernyitkan dahi. "Kenapa?"

"Minta izin Ibuku."

"Untuk?"

"Mengizinkanku ke Tokyo."

[Name] menjedakan langkah sehingga Langa juga ikut berhenti. 

"Hasegawa-san, orang yang pergi ke Tokyo itu aku."

Pemuda berambut biru itu menoleh, kemudian mengangguk polos seakan penegasan kalimat barusan tidak mengubah keputusannya. Seakan Langa sedang izin mampir main ke rumah tetangga yang dekat. Genggaman Langa konstan menjaga keyakinan yang terbendung.

"Aku tidak mau [Name] menghadapi ketakutannya sendiri."

Manik gadis itu melebar. Biasanya, orang-orang yang mendengar keluhannya hanya akan menyuruhnya tabah dan bersabar dengan situasi. Tepatnya, ia juga sadar bahwa tidak semua orang peduli, melainkan hanya ingin tahu. Sebatas memenuhi rasa penasaran, kemudian hanya dapat berucap demikian supaya tidak ikut terbebani.

"Apa kau tidak khawatir dengan studimu? Liburanmu di sini juga hampir usai. Aku ... tidak mau menjadi penghambat siapa pun. Apalagi Hasegawa-kun."

Perhatian mereka terfokus pada sebuah bangunan rumah susun. Salah satu kediamannya terletak di sana. Langa tak langsung menjawab pertanyaan [Name], hingga mereka memasuki sebuah elevator.

"[Name] tidak pernah menghambatku. Seperti kehadiran Reki untukku, aku pun ingin menjadi kekuatan untuk [Name]."

Ding dong.

"Okaeri, wah ... Langa, kau membawa perempuan ke rumah?"

"Dia temanku, okaa-san." 

[Name] mendongak bingung. "Perkenalkan, saya [Full Name]."

Apartemen studio sederhana itu menampung selayaknya dua orang. Walaupun tidak luas, [Name] dapat merasakan kehangatan dari pigura foto yang menampilkan sosok pria yang gagah. Berperawakan gagah khas kaukasia, tetapi bersahaja. Ada pun sebuah wadah kuningan yang tertancap sebuah dupa yang sedikit mengepulkan asap halus.

Sosok almarhum Ayah Langa. Oliver.

"Okaa-san, kami tidak bisa berbicara lama, tetapi ada hal penting yang harus kusampaikan," tukas Langa menghampiri wanita itu menuju dapur untuk menyuguhkan teh.

"Sangat mendesak?"

Langa mengangguk mantap.

[Name] menggeleng cepat. "Hasegawa-san, kau tidak harus menyampaikan hal itu. Ibumu pasti khawatir. Saya akan mampir sebentar saja, lalu izin puㅡ"

"Kami akan ke Tokyo sesegera ini juga," potong Langa tanpa keraguan.

Bukan tanpa reaksi, Ibu Langa nyaris menjatuhkan secangkir porselen yang digenggam saat meminum kopi barusan. Bukan berarti hanya karena anak laki-laki, ia tidak merasa ketakutan yang dalam. Setelah Oliver, cinta pertama dan terakhir dalam hidupnya. Ia berjanji untuk membesarkan anak semata wayangnya itu dengan segenap hati.

"Hasegawa-san bercanda! Dia sepertinya sangat lelah bekerja di Dope Sketch, ahahaha!" ujar [Name] menepuk lengan Langa, menegaskan bahwa interaksi barusan hanyalah candaan konyol. Seperti kejutan pada April Mop, padahal musim semi sudah lama berlalu.

"Bisa berikan okaa-san sebuah alasan?"

Wanita itu sangat tahu bahwa Langa sangat jarang bercanda, apalagi terhadap ucapan seserius itu. Terdapat tatapan teguh yang dapat meluluhkan siapa saja untuk meruntuhkan tekadnya.

"[Name] ditindas di kota kelahirannya. Dia tidak mau pulang. Dia mau di sini. Tetapi orang tuanya tidak mau mendengarnya."

"Hasegawa-san, aku tidak apa-apa. Aku cukup kuat untuk menghadapinya selama setahun lagi."

Alih-alih memberikan larangan, omelan, maupun pendapat buruk, raut Ibu Langa menjadi lembut. Saat mendapatkan tatapan tersebut, [Name] sempat berusaha keras menguatkan diri dengan cengiran lebar jadi merasa cemas.

"Pasti [Name] merasa sangat berat menghadapi semuanya sendiri. Mereka sangat jahat, kenapa malah menyakiti seseorang supaya terlihat lebih kuat?"

Pertahanan yang terbendung pun meruntuh seketika. Bibir yang digigit erat berakhir bergetar pilu. Bercampur rasa basah oleh tetesan air mata. Semua potongan keyakinan terpecah tanpa arah pun seakan perlahan dirajut kembali.

"Maaf ... maaf ... tidak seharusnya aku menangis."

"Sudah lama Langa ... tidak pernah mengajukan permintaan. Jadi, kali ini akan kukabulkan. Permintaan kembali kepada kalian hanya satu."

"Terima kasih, okaa-san," kata Langa tersenyum riang. "Apapun akan kukabulkan kembali." 

Saat diberikan tisu, [Name] mengusap air mata sambil menahan perasaan haru.

"Kembalilah dengan selamat dan membawa kabar baik untukku setiba di sini."

"Ano ... karena pakai "dan" jadi dua permintaan, okaa-san."

Momen hangat yang terjadi bisa [Name] ketahui saat kedua orang di hadapannya memberikan nuansa kepercayaan dan keterbukaan. "Terima kasih. Aku ... tidak akan pernah melupakan kejadian ini. Seumur hidupku."

🛹🛹🛹

Gerbang peluang terbuka lebar, Langa dan [Name] tetap dapat melanjutkan penerbangan pada hari yang sama. Selain itu, [Name] masih dapat mengubah jadwal penerbangan dengan sedikit biaya. Dalam kejaran waktu singkat, Langa membawa perlengkapan yang cukup dalam sebuah ransel. Namun, [Name] tetap membawa utuh koper yang sudah dirapikan sejak beberapa hari silam. Penerbangan dua setengah jam yang akan mengantarkan mereka pada sebuah pertemuan.

"Semua terasa seperti mimpi."

Langa menatap sorotan jendela yang menampilkan angkasa yang gelap di sebelah [Name]. Melihat ekspresi [Name] sudah mulai tenang, ia memajukan diri untuk menarik tali sabuk. Gerakan dadakan tersebut mengejutkan, sekaligus memacu jantung gadis itu berdegup lebih cepat.

"Aku bisa melakukannya sendiri."

"Mungkin situasi nanti bisa saja tidak baik-baik, tapi aku akan bersamamu sampai nanti."

[Name] mengangguk kaku. Tak dapat dipungkiri, hatinya begitu senang. 

Baru kali ini, kepulangan ke Tokyo tidak dilaluinya sendiri. Apalagi, menerima dukungan yang seluas ini kepadanya. Menerima kesempatan penuh harapan itu. Penerbangan sunyi itu kian menjedakan aktivitas sejumlah penumpang. Tak terkecuali Langa yang ikut tertidur, tanpa sadar telah menjadikan bahu [Name] sebagai penopang.

"Kalau kau sebaik ini kepadaku ... aku bisa jadi terlalu serakah," gerutu kecil [Name] menepuk dadanya yang terus bergejolak menjadi-jadi.  "Aku ... jadi takut menyesal sudah menolakmu."

🛹🛹🛹

ᴾʳᵉᶜⁱᵒᵘˢ • ʰᵃˢᵉᵍᵃʷᵃ ˡᵃⁿᵍᵃTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang