"Kalian pernah menculik keponakanku ya?"
Tegukan ludah menyusuri kerongkongan baik Reki maupun Langa. [Jemari Name] yang tengah menyusun stok etalase toko pun tanpa sadar mengudara sejenak. Paman Oka berkacak pinggang, hendak interogasi kedua rekan kerja gadis itu.
"Paman, kami tidak menculiknya. Kami mengajaknya," sangkal Reki berkeringat dingin.
"Kalau diculik berarti tidak ada persetujuan. Apalagi kami cuma mengajaknya ke S."
"S????" Paman Oka menganga terheran-heran. Reki menepuk jidat melihat kepolosan Langa membeberkan ajakan dadakan mereka. Manajernya itu memang terkenal ramah, bahkan hampir tidak pernah marah. Jadi, kalau sampai marah ... Reki harus bersiap-siap menerima gemparan perang dunia ketiga.
Oke, mungkin tidak sesadis itu, tetapi kejadian itu sudah cukup lama berlalu.
"Kenapa Paman bisa menuduh mereka begitu?" tukas [Name] mengernyitkan dahi. "Toh, aku kembali baik-baik saja."
"Bagaimana menurutmu tentang S?" tanya Paman Oka menatapnya lekat-lekat.
[Name] mengacungkan jempol. "Keren sekali! Pemain skateboard di sana sangat mahir meluncur pada medan ekstrim."
Melihat ekspresi gadis itu begitu berbinar-binar, Paman Oka terelakkan niat mengomeli Reki dan Langa. Keduanya juga dianggap seolah adik sendiri. Apalagi sejak mengetahui [Name] yang diperlakukan menyedihkan di Tokyo, ternyata alasan liburan musim panas waktu itu menjadi begitu konkret. Bukan alasan abstrak melepas kebosanan semata.
"Kalau begitu ... tetaplah berhati-hati. Sejujurnya aku hanya khawatir."
"Kami akan memastikannya tetap aman."
Paman Oka terkekeh kecil. "Baiklah, baiklah. Aku harus melanjutkan kesibukanku dulu yang lain. Selamat bekerja."
🛹🛹🛹
Sejak [Name] memutuskan menetap di Okinawa, orangtuanya menjadi lebih aktif mengajaknya berkomunikasi. Tentang keseharian yang disuka maupun tidak. Walaupun awalnya ia merasa luar biasa canggung, tetapi ia merasa harus cepat terbiasa. Pembicaraan yang bermula tak pernah melebihi dua menit bertambah jadi sepuluh menit, bahkan satu jam.
[Jika kau ingin pulang, datanglah kapan saja], kata ibu [Name].
"Aku sudah memilih rencanaku untuk di sini. Tapi ... aku akan datang lagi saat liburan."
Ia tahu nada bicara ibunya menyiratkan penuh kerinduan. Sebagai anak tunggal yang pergi jauh, tentu saja ada jejak sepi yang terasa. Namun, mereka telah memutuskan untuk melepas demi kebahagiaannya. Melebihi ego semata.
Dan tentu saja, [Name] bangga memiliki ayah dan ibu yang mau mengerti terhadap masalahnya.
"Okaa-san, aku menyayangimu."
Ada jeda yang menyebabkan gadis itu melirik ponsel. Detik dan menit masih berjalan. Pertanda panggilan belum berakhir. Batang sinyal ponsel juga tidak menghilang. Begitu jelas ucapan barusan tersampaikan tanpa hambatan.
[Ceritakan bagaimana menjalin hubungan dengan Langa!]
Mulut [Name] ternganga. Alih-alih dibalas "ibu juga", ia malah diinterogasi pertanyaan percintaan. Topik yang paling enggan dibahas karena ia tahu jika terlalu banyak informasi akan memicu rumor. Salah satu pendengar setia ibunya sudah pasti tetangga sebelah.
"E-eeeeeh?"
[Mumpung ibu sedang senggang. Ayahmu juga belum pulang]
Jika ibunya sudah menjadi sangat gigih, [Name] tak punya pilihan selain pasrah.
"Baiklah, jadi begini ...."
🛹🛹🛹
Tepat hari perayaan dua bulan pacaran, Langa dan [Name] pergi ke pantai. Tiupan angin berembus sepoi-sepoi. Sorot mentari tak lama segera terbenam. Masih terdapat sejumlah pengunjung lainnya yang datang menikmati suasana hangat saat itu.
"Saat lulus SMA, apa rencanamu?" tanya [Name] memulai pembicaraan.
Langa tak langsung menjawab. Netra biru mudanya tersorot kilau menghadap ombak yang terus menggulung. Menggilas pasir yang sudah dipenuhi jejak eksistensi sedalam apa pun, tersapu polos hingga tiada sisa.
"Aku mau ke Kanada sekali lagi."
Manik [Name] melebar. Langa pernah bercerita sebelum menyukai skateboard, masa lalu bersama Oliver bermain ski es bersama adalah bagian dari masa indah, sekaligus mimpinya. Kini mimpi itu benar-benar pudar seutuhnya. Menyisakan memori yang hanya dapat terkenang dalam hati.
"Jika tekadmu sudah bulat, kau harus menabung banyak uang. Tapi aku yakin kau pasti bisa mewujudkan keinginanmu kembali," kata [Name] mencelupkan kakinya pada gulungan ombak yang bertalu.
"Aku ingin mengajak okaa-san. Dia pasti ingin ke sana lagi. Sekaligus mengajakmu, [Name]. Aku ingin kau terlibat bagian hidupku, masa kini, dan ke depan nanti?"
Senyuman lebar tertarik pada kedua sudut bibir [Name]. Diraihnya jemari Langa, lalu mengeratkan sepenuh keyakinan. Ada harapan yang menggebu. Ada ketakutan yang takkan pernah pergi dalam kehidupan. Ada sukacita yang menanti selama proses mencapai tujuan. Namun, ia tak lagi mau kabur dan menyerah seperti dulu. Tidak lagi mau larut dalam penyesalan.
"Terima kasih selalu menguatkanku."
Genggaman Langa beralih menjadi rengkuhan dalam. [Name] sempat panik bila-bila terdapat pengunjung yang merasa risi dengan perlakuan Langa yang mendadak terhadapnya. Namun, hari semakin sore dan eksistensinya seakan menunjukkan hanya mereka di sana.
"Aku menyayangimu [Name]."
"Aku ... juga."
Menyandarkan wajah merona pada bahu Langa, [Name] sesekali menepuk pelan punggung lelaki itu. Hanya karena ada Langa, bukan berarti sudah tak ada masalah. Namun, adanya tangan yang terulur untuknya akan sistem dukungan. Adanya jalan berliku dihadapi bersama.
Eksistensi yang lebih berharga dari logam mulai mana pun.
Precious, the one and only.
- fin -
KAMU SEDANG MEMBACA
ᴾʳᵉᶜⁱᵒᵘˢ • ʰᵃˢᵉᵍᵃʷᵃ ˡᵃⁿᵍᵃ
أدب الهواةPertemuan mereka terjadi saat musim panas. Asumsi awal seorang Langa dingin, cuek, dan susah dijangkau. Namun, [Name] salah. Semakin dikenal, Langa adalah lelaki baik, naif, dan jujur dengan isi hatinya. Apakah mungkin laki-laki dan perempuan bisa b...