Part 1

8.1K 508 65
                                    

Tiga tahun kemudian.

Valery memandangi komputer dengan mata yang sayu dan berkabut. Sepertinya ia benar-benar lelah dan mengantuk karena pekerjaan yang begitu menumpuk. Terlebih lagi akhir-akhir ini ada saja klien ribet yang selalu meminta revisi hasil design bangunan buatannya. Orang itu seakan tidak pernah puas dengan hasil kerjanya.

Padahal selama satu tahun ia bekerja, tidak ada yang pernah complain seperti ini. Mereka selalu puas. Memang dasarnya klien itu manusia ribet!

"Val...." Seseorang memasuki ruangannya. Membawa secangkir cofee, lalu menyuguhkan cafein itu di hadapannya.

"Kamu nggak usah bikin gambar lagi. Klien itu udah setuju sama gambar yang paling awal." Ujar Vano yang merupakan partner kerjanya selama ini.

"Setelah revisi lima belas kali?"

"Hehe, namanya juga klien penting. Dia juga mau kamu awasin disana selama pembangunan villa berlangsung. Dia mau yang terbaik. Katanya villa ini buat orang special di hidupnya."

"Ribet banget sih!" Dercaknya sambil membanting mouse, lalu menyeruput cofee yang Vano bawa.

"Ribet apa Valery sayang?" Seorang wanita dengan pakaian formal menyela pembicaraan mereka. Wanita itu adalah Viola, boss besar di perusahaan arsitektur tempatnya bekerja. Wanita bermulut manis yang suka menyiksanya dengan berbagai pekerjaan.

Iming-iming yang wanita itu miliki adalah uang. Dan Valery miskin. Valery butuh uang. Tidak ada pilihan selain mengiyakannya.

"Mau ya awasin pembangunan? Kamu cukup awasi pembangunannya agar sesuai dengan yang beliau mau. Dia klien besar. Uang yang dia bayar ke kita nggak main-main. Honor kamu juga nggak main-main! Katanya pas aku sodorin gambar design punya kamu, dia langsung cocok."

"Akomodasi gimana? Itu kan daerah perkampungan jauh disana Ibu Viola sayang!" Rayu Valery agar ia mendapat uang tambahan.

"Aku tanggung! Gaji kamu utuh! Bonus kamu ratusan juta itu juga utuh. Tapi aku minta kamu serius awasi proyek ini"

"Maunya Valery ya cuman uang. Seneng dia tuh." Vano mencibir.

"Orang hidup ya maunya uang! Apalagi?"

"Kamu nggak mau nikah gitu? Aku lamar mau?"

Valery mencubit perut Vano hingga membuatnya meringis kesakitan. Valery kesal sekali jika di gombali tentang pernikahan. Entah kenapa perasaannya menjadi kacau jika mendengar kata itu.

"Kamu nggak usah ngomong nikah di depan aku. Awas aja!"

"Orang diajak nikah malah marah-marah. Yaudah aku ajak bu Viola aja deh. Mau nggak bu?" Canda Vano sambil tertawa.

Viola tertawa saja melihat keduanya. Ia senang melihat karyawannya akur seperti itu. Tidak ada yang saling iri-irian. Dengan begitu lingkungan kerjanya juga sehat kan?

"Yaudah kamu istitahat Val, siapin semua yang di butuhkan. Kamu bakal berangkat besok. Kalau proyek ini berhasil, aku bakal traktir kalian berdua."

"Open table?" Sahut Vano antusias.

"Boleh juga. Biar gadis kecil kita belajar dewasa." Kekeh Viola sambil menepuk kepala Valery yang saat ini memonyongkan bibirnya.

*****

Evan mendesah ketika mendengar ibunya terus bertanya tentang kapan nikah, kapan nikah.... demi Tuhan Evan pusing mendengarnya. Kenapa juga harus nikah kalau jasa jalang sudah cukup memuaskannya?

Lagipula lebih baik melajang kan, dari pada menikah lagi dengan simpanan seperti yang adiknya lakukan? Evan paling tidak suka dengan orang yang mempermainkan pernikahan. Karena ayahnya juga melakukan hal yang sama ketika ia dan Justin masih kecil.

"Kamu nggak lihat teman-teman kamu udah pada nikah?"

"Udah deh ma, jangan terus-terusan suruh aku nikah. Mama lihat Justin deh, bener nggak rumah tangganya? Menikah itu bukan hal yang harus di buru-burukan."

"Kakak jangan ngomong yang enggak-enggak! Aku nikah lagi karena Valery nggak bisa hamil. Dia mandul! Kakak lihat kan, Zahra bisa kasih aku anak?" Sela Justin membela diri.

"Itu karena lo yang brengsek. Emang kalau mandul lo harus cari wanita lain?"

"Mama suruh kalian pulang bukan untuk bertengkar."

"Lo sama bokap itu sama aja." Cerca Evan sambil menunjuk wajah adiknya dengan jari telunjuk.

"Lo juga playboy!"

"Seenggaknya gue main sama jalang. Bukan mainin pacar atau pernikahan."

"Justin kamu ke atas saja, samperin anak sama istri kamu. Mama mau ngomong sama Evan." Ujar ibunya tajam dan Justin tidak punya pilihan lain selain menurutinya. Dari kecil Justin dan Evan memang tidak pernah membantah perkataan ibunya. Tidak ada yang berani. Keduanya tahu bagaimana perjuangan ibunya hingga mereka bisa kuliah dan sukses seperti sekarang.

Setelah Justin pergi, Rahma mengenggam tangan Evan yang tatapannya masih menajam.

"Mama tahu kamu masih trauma karena masa lalu. Karena perbuatan papa. Tapi kamu juga nggak boleh usik privasi adik kamu. Mama tau perbuatan dia salah, tapi yaudah lah. Semua sudah terjadi. Dia sudah dewasa, kita tidak berhak mengurusi privasi dia."

"Maaf ma, aku masih kesel aja. Aku lihat sendiri gimana susahnya mama waktu ditinggal papa menikah lagi ketika hamil besar. Valery pasti merasakan hal yang sama. Karena itulah aku belum siap menikah ma. Komitmen itu berat. Aku belum siap."

Rahma hanya mengangguk saja sambil memeluk putranya. Evan adalah anak yang menemaninya pada masa-masa susah kala itu. Masa-masa ketika ia berada di titik paling terendah dalam hidupnya. Berbeda dengan Justin yang tumbuh pada saat keadaan sudah sedikit membaik.

Maka dari itulah Rahma mengerti kenapa Evan begitu marah ketika mendengar Justin menikah lagi dan mencampakkan istri pertamanya begitu saja. Karena Evan tahu bagaimana sakit dan terpukulnya ia kala itu.

"Evan janji akan bawa calon buat mama suatu saat nanti. Nggak usah khawatir, okey?" Ujarnya sambil tersenyum jahil menggoda ibunya.

"Yaudah kamu istirahat. Katanya mau keluar kota buat pembangunam villa?"

"Ya itu kan buat calon mantu mama nantinya. Orangnya belum ada sih, tapi disiapin dulu." Kekehnya.

"Siapa tahu setelah disipain langsung ada. Anak mama ganteng kok!" Rahma mengusap-usap rambut putranya sambil tersenyum.

*****

Aku lihat dulu ya, kalian pada tertarik apa nggak. Kalau tertarik aku lanjut! Kalau nggak aku ganti wkwkwkwk

ValeryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang