Part 7

4.7K 441 54
                                    

Mata Valery bearair ketika melihat pria yang menjadi suaminya menggandeng wanita lain dengan perut membesar. Wanita yang selama ini menjadi dokter mereka untuk periksa kesehatan. Justin memberikan selembar surat perceraian padanya. Apa harus seperti ini caranya memutuskan hubungan? Enam tahun mereka pacaran, tiga tahun mereka menikah. Apa harus sesakit ini caranya?

"Aku mau kita bercerai. Kamu tahu alasannya kan?" Tanya Justin sinis.

"Jadi kalian selingkuh di belakangku? Kenapa kamu setega ini? Kita bisa akhiri baik-baik dari awal. Kenapa harus dengan cara ini?"

"Cukup tandatangani saja berkas perceraiannya. Kita tidak punya hubungan apa-apa lagi setelah ini. Aku akan menikah dengannya, dia hamil anakku."

Valery mengangguk sambil meneteskan air mata. Ia mengambil kertas dan pulpen itu dengan tangan gemetar, lalu menandatanganinya. Hal itu benar-benar menyakitkan untuknya. Mau bagaimana lagi? Ini salahnya karena mandul.

"Kamu bisa kemasi barang kamu dan pergi. Aku akan transfer uang buat kamu. Anggap aja itu tanggung jawab aku buat nafkahin kamu setelah kita cerai."

Valery tak mendengarkan lagi kata-kata Justin. Ia masuk kedalam kamar untuk megambil barang-barang yang penting lalu pergi. Bahkan pasangan berselingkuh itu tidak memiliki rasa bersalah sedikitpun. Termasuk Justin.

Ia bahkan mencumbu Zahra disaat ia masih di dalam rumah. Seolah ia sengaja memamerkan kemesraannya bersama Zahra. Apa memang itu tujuannya? Menyakitinya?

****

Valery berjalan menuju makam orangtuanya dengan air mata yang terus menetes dipipinya. Sekarang ia tidak punya siapa-siapa lagi. Bahkan orang yang ia cintai juga pergi meninggalkannya bersama wanita lain. Siapa yang akan menjadi tempatnya berteduh sekarang?

Disaat Valery terus berjalan tanpa melihat sekitar, dirinya tidak sengaja menabrak seorang pria hingga ia hampir terjatuh. Tetapi untung saja tubuhnya lebih dulu di dekap. Sehingga kemalangan tidak jadi menimpa dirinya.

"Hati-hati." Ujar suara itu dingin. Dilihat dari wajahnya, sepertinya pria itu juga terlihat sangat hancur. Matanya memerah dengan kelopak bagian bawah yang menghitam. Pria itu sepertinya juga penuh dengan duka di hidupnya. Lebih parahnya ia masih mengenakan pakaian penjara. Ia dikawal banyak sekali orang-orang berbadan besar dan bertato.

"Terimakasih, mas nomor 45."Ujar Valery dengan isakan pelan, sambil membaca angka yang tertera di baju tahanan yang pria itu kenakan.

"Kamu ngeledek aku?" Ujarnya lagi dengan nada dan tatapan dingin. Begitupun pria-pria bertato di belakangnya, yang seakan siap membunuhnya sekarang juga.

"Aku nggak tau namamu."

"Davino."

"Terimakasih mas Davino." Ujar Valery tanpa berani menatap wajahnya. Namun ketika melihat perut Davino terdapat luka tembak, Valery memberanikan diri menyentuhnya."Kamu terluka."

"Ini sudah biasa. Lain kali kamu hati-hati." Ujar Davino sembari mencegah tangan Valery menyentuh perutnya, lalu beranjak pergi bersama teman-temannya. Ia pun kembali melanjutkan percakapannya bersama mereka.

"Boss jadi menghilangkan ingatan? Ini akan membantu anda melupakan kematian buah hati anda." Tawar salah satu pria bertato kepada Davino.

"Aku memang brengsek. Tapi aku tidak mau menghilangkan ingatanku tentang mereka. Aku tidak jadi melakukannya. Cari saja orang lain yang bersedia."

Samar-samar Valery mendengar percakapan itu. Tanpa berpikir ulang, Valery langsung berlari dan menarik Davino mendekat kepadanya. Ia menatapnya dengan sendu penuh air mata.

ValeryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang