BAGIAN 1

238 11 0
                                    

Senja baru saja berlalu dan kegelapan pun menyergap Kadipaten Welirang. Termasuk Desa Cendanu yang kelihatan sepi. Tak seorang pun yang terlihat berada di luar rumah. Kabut tebal dan udara dingin setelah tadi turun hujan agaknya yang jadi penyebab kesunyian ini. Namun keheningan itu mendadak pecah oleh....
"Tolong...! Tolooong.... Aaa...!"
Terdengar jeritan minta tolong yang diikuti teriakan kesakitan. Pada saat yang sama dari atap sebuah rumah tempat asal jeritan, tampak berkelebat sebuah bayangan sambil memondong satu sosok tubuh ramping terkulai tak berdaya.
"Eh! Apa?! Oh!"
Dua penjaga yang tengah terlelap tersentak kaget, mendengar teriakan barusan. Sesaat mereka mondar-mandir tak tahu tujuan. Namun salah seorang langsung sempat melihat sesosok bayangan yang tengah berkelebat di atap rumah.
"Hei?! Itu dia! Berhenti! Berhenti...!"
"Berhenti atau kubunuh kau!" sambut yang lain.
Sosok berpakaian serta hitam itu berhenti sebentar. Dan tiba-tiba dia mengebutkan tangannya, ke arah para penjaga.
Wusss!
Terdengar desir angin berhawa panas dari telapak tangan sosok berpakaian serba hitam itu, langsung melesat ke arah dua penjaga.
Desss...! Desss...!
"Aaa...!"
Keduanya terpental ke belakang sambil menjerit menyayat. Begitu ambruk di tanah, di dada mereka terlihat tanda hitam seperti daging terbakar. Keduanya tergeletak tanpa nyawa lagi.
Sedangkan sosok berpakaian serba hitam, begitu melepas serangan mendadak langsung berkelebat kembali dari satu atap ke atap rumah lainnya. Sebentar saja tubuhnya telah lenyap dalam kegelapan. Memang begitu cepat dan ringan sekali gerakannya, pertanda bukan orang sembarangan.
Sementara itu, teriakan dari rumah yang disatroni sosok berpakaian hitam tadi, mendapat sambutan. Beberapa orang penduduk langsung keluar, membawa obor dan berbagai macam senjata. Dalam waktu singkat di halaman depan bangunan rumah besar itu keadaan jadi terang benderang oleh para penduduk yang berkumpul.
"Tolong! Tolong...! Seseorang menculik anakku! Dan dia juga membunuh suamiku! Tolooong...!" teriak seorang wanita setengah baya yang tergopoh-gopoh keluar.
Wajah wanita ini tampak pucat. Air matanya tumpah tak karuan. Bias kecemasan terlihat jelas pada wajahnya, yang bercampur ketakutan.
"Ke mana larinya penculik itu, Nyi Sati?" tanya seorang lelaki tua berusia sekitar enam puluh lima tahun.
"Ke atas, Ki Langser!" tunjuk perempuan setengah baya yang dipanggil Nyi Sati cepat.
"Hei, lihat! Dua orang penjaga rumah Ki Nyamat mati!" teriak seorang penduduk.
Orang-orang segera mengerubungi kedua penjaga rumah Ki Nyamat, seorang saudagar kaya di desa ini. Mereka menggotong mayat itu ke beranda depan. Sementara Nyi Sati, istri Ki Nyamat tak bisa berbuat apa-apa lagi melihat itu. Didampingi beberapa orang pelayannya, wanita ini cuma menangis sesegukan.
"Ayo menyebar dan buat kelompok! Kita cari penculik itu!" teriak laki-lald tua yang bernama Langser, memberi perintah.
Ki Langser yang di Desa Cendanu ini menjabat sebagai kepala desa, kelihatan geram dan marah. Selama beberapa tahun tinggal di sini, bahkan sejak kecil, belum pernah terjadi peristiwa penculikan.
Tidak tanggung-tanggung. Karena yang diculik bukan harta benda, melainkan anak perawan Ki Nyamat. Seorang gadis yang terkenal cantik dan menjadi kembang desa ini.
Tanpa diperintah dua kali, orang-orang desa yang tengah berkumpul langsung membentuk kelompok dan melakukan pengejaran. Apalagi para pemudanya. Mereka kelihatan bersemangat melakukan pengejaran.
Ki Nyamat bukan orang sombong di desa ini. Dia tergolong kaya. Tak heran kalau kematiannya yang mengenaskan serta kematian dua penjaga rumahnya, banyak dikunjungi penduduk desa.
Sementara Nyi Sati tampak masih kelihatan belum sempurna keadaannya, meski pemakaman telah usai. Beberapa kali dia terpaksa dipapah para pelayan saat pergi dan pulang dari pekuburan.
Keadaan ini membuat Kepala Desa Cendanu segera bertindak. Para penduduk desa dikumpulkan. Dan mereka mulai membicarakan persoalan itu.
"Kisanak semua.... Kejadian ini tidak bisa kita pandang sebelah mata. Si penculik mungkin akan kembali untuk mencari korban lagi. Maka kita mesti waspada...!" kata Ki Langser ketika membuka musyawarah di beranda rumahnya.
"Lalu apa yang mesti kita lakukan, Ki Langser?" tanya seorang penduduk berusia sekitar empat puluh lima tahun. Dia dikenal dengan nama Ki Sabrang.
"Ya, apa yang mesti kita lakukan sekarang?" sambung seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun. Badannya tegap dengan kumis lipis menghias wajahnya.
"Bukankah beberapa waktu lalu kami telah memberi tahu akan datangnya bahaya seperti ini? Tapi ketika itu Ki Langser seperti tak percaya. Bahkan meremehkannya."
"Sudahlah. Jangan permasalahkan hal itu, Panca! Yang berlalu biarkan berlalu. Yang terpenting sekarang, kita bahas dulu soal ini," sahut salah seorang laki-laki tua berpakaian serba putih.
"Ya.... Aku tahu, dan mengaku salah," sahut Ki Langser dengan suara lirih penuh penyesalan.
"Mestinya aku mendengarkan keluhan warga yang mendengar berita ini dari desa tetangga...."
"Sudahlah.... Tak apa, Ki," sambung laki-laki yang dipanggil Panca.
"Aku juga tidak bermaksud menyalahkan."
"Iya. Yang penting kita cari tahu dulu, siapa penculik itu," lanjut laki-laki tua berpakaian serba putih, yang berwajah lembut menampakkan kearifan dan perbawa kuat. Tak heran kalau oleh penduduk desa ini dia diangkat sebagai ketua desa. Para penduduk sering memanggilnya dengan nama Ki Tambika.
"Baiklah. Apakah di antara kita ada yang bisa menduga siapa penculik itu sebenarnya?" tanya Ki Langser.
"Tidak seorang pun yang bisa mengetahuinya. Yang jelas dia bukan warga desa sini, atau desa tetangga," sahut Panca ketika yang lain terdiam.
"Berarti kita tidak tahu ke mana mesti mencarinya?"
"Orang itu berilmu tinggi. Dan rasanya mustahil bisa dilacak oleh kita...."
"Apa maksudmu, Panca?" tanya seorang penduduk.
"Dua desa tetangga kita telah mengalami nasib yang sama seperti yang dialami Ki Nyamat. Yaitu, anak gadisnya diculik. Namun tak seorang pun yang pernah melihat atau mengetahui, siapa penculiknya. Dia datang dan pergi bagai setan," jelas Panca.
"Jangan-jangan memang hantu!" desis penduduk lainnya, takut-takut.
"Bisa jadi! Sebab beberapa orang menjulukinya sebagai Siluman Pemburu Perawan. Hal itu jelas, karena yang diincar bukan harta benda, tapi seorang perawan belasan tahun dan berparas cantik!" jelas Panca.
"Apa maksud penculik itu sebenarnya?" gumam beberapa penduduk yang ada di ruang itu.
"Kalau dia seorang laki-laki, maksudnya mungkin lebih jelas. Yaitu....," Ki Langser tidak melanjutkan kata-katanya karena yakin, bahwa mereka semua mengerti.
"Tapi kalau dia wanita? Apa yang dicarinya?"
"Ada beberapa orang penganut ilmu sesat yang menjadikan gadis perawan sebagai tumbal," sahut Ki Tambika.
"Siapa kira-kira penganut ilmu sesat itu?" tanya Panca.
Untuk sesaat ruangan serambi Kepala Desa Cendanu seperti pekuburan. Suasana hening mencekam bercampur wajah-wajah berkerut yang menyimpan amarah, kesal, namun tak tahu mesti berbuat apa. Mereka tengah berpikir, atau juga mengingat-ingat. Siapa gerangan yang pernah mendalami ilmu sesat seperti yang dikatakan Ki Tambika tadi.
"Rasanya, di desa ini belum ada terdengar ada orang yang menganut ilmu sesat...," cetus seseorang.
"Ya. Kurasa begitu juga di desa tetangga kita," timpal Panca.
"Kurasa orang asing yang sengaja mencari korban di desa-desa sekitar sini. Dengan begitu, jejaknya tidak tercium...," duga Ki Tambika.
"Lepas dari itu semua, kita tetap mesti waspada. Tingkatkan keamanan di wilayah masing-masing. Jangan sampai kita kecolongan lagi seperti semalam. Juga ada hal yang terpenting. Yaitu, kita mesti waspada pada setiap orang asing yang lewat dan singgah di desa ini!" lanjut Ki Langser, memberi pengarahan.
"Ya. Itu usul yang bagus!" dukung Ki Sabrang.
Sementara yang lain mengangguk-angguk sebagai tanda mendukung pendapat itu. Tapi baru saja pertemuan itu akan bubar, mendadak seorang pemuda bertubuh kurus memasuki serambi rumah kepala desa ini.
"Maaf, Ki...," ucap pemuda ini
"Ada apa, Gandung?" tanya Kepala Desa Cendanu.
"Seseorang melewati desa kita," lapor pemuda bertubuh kurus yang dipanggil Gandung.
"Apa maksudmu?" kejar Ki Langser dengan kening berkerut tajam.
"Orang asing! Aku belum pernah melihat sebelumnya," jelas Gandung.
"Bagaimana ciri-cirinya?" tanya Ki Tambika.
"Seorang pemuda tampan barbaju rompi putih. Di punggungnya terselip sebatang pedang bergagang kepala burung. Dia menunggang kuda hitam," jelas Gandung.
"Hm.... Kalau begitu, beritahu semua penduduk! Kita cegat pemuda itu. Aku punya dugaan kuat, dialah penculik yang tengah kita cari!" ujar Ki Langser.
Ki Tambika baru saja akan menimpali, tapi suaranya tenggelam di antara semangat kemarahan penduduk desa yang berada di serambi ini. Mereka semua menyambut ajakan Ki Langser penuh semangat. Bahkan segera angkat kaki dari ruangan ini. Pada akhirnya, mau tak mau Ki Tambika terpaksa mengikuti.
"Dasar orang-orang tak sabar...!" umpat Ki Tambika dalam hati.

177. Pendekar Rajawali Sakti : Siluman Pemburu PerawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang