BAGIAN 4

142 9 0
                                    

Seorang laki-laki bertampang kasar tengah duduk tenang menyantap hidangannya tanpa mempedulikan keadaan sekitarnya. Padahal suasana di dalam kedai ini cukup ramai. Namun hal itu sama sekali tidak menarik perhatiannya. Kumisnya yang tebal tampak bergerak-gerak ketika kedua rahangnya yang kokoh mengunyah makanan. Sepasang alis tebal menaungi kelopak mata yang agak cekung. Pandangannya tajam. Tubuhnya agak besar dengan lengan berotot dan jari-jari kuat.
"Pelayan! Tolong beri aku lauk-pauk seperti tadi!" ujar laki-laki ini ketika seorang pelayan melintas di dekatnya.
"Baik, Tuan!" sahut pelayan kedai. Tanpa disuruh, pelayan ini cepat membereskan sisa-sisa makan di piring tamunya itu. Sebenarnya laki-laki bertampang seram itu sudah dua kali meminta hidangan yang sama sejak mulai makan. Berarti, tadi itu permintaan yang ketiga! Di samping itu dia juga menenggak beberapa telur ayam kampung dicampur cairan kental kekuningan yang dibawanya sendiri.
"Ada pesan yang lain, Tuan?" tanya pelayan tadi, ketika muncul kembali sambil membawa pesanan.
"Di mana penginapan terdekat?"
"Tuan hendak menginap? Hm.... Meski tidak terlalu bagus, kedai ini juga menyediakan penginapan!"
"Penginapan lengkap?"
"Tentu saja, Tuan! Sewanya juga murah."
Laki-laki bertampang seram itu tiba-tiba menarik bahu pelayan kedai. Mulutnya cepat didekatkan ke telinga. Berbisik.
"Ada...?" tanya laki-laki seram ini.
"Itu bisa diatur, Tuan! Mau yang bagaimana? Gemuk? Kurus, atau yang montok? Usianya muda? Tua? Atau yang sedang?" sahut pelayan kedai, cepat tanggap dengan bisikan tamunya.
"Tahukah kau selera yang pantas untukku?" laki-laki seram ini malah balik bertanya.
Pelayan kedai itu memandang tamunya beberapa saat dengan dahi pura-pura berkerut.
"Ah, aku tahu! Pokoknya Tuan tahu beres. Selesai bersantap, maka Tuan bisa menghubungiku. Sekarang juga, aku mohon pamit sebentar pada majikanku untuk mencarikan yang sesuai keinginan Tuan!" kata pelayan ini.
"Baik! Carikan aku tiga, ya!" ujar laki-laki seram ini.
"Tiga?" tanya pelayan kedai, tak jadi melangkah. Dipandangnya laki-laki seram ini dengan wajah heran.
"Iya, tiga. Kenapa?"
"Eh! Baik.., baik...."
Setelah berkata demikian, pelayan kedai itu beranjak pergi untuk mencari tiga sasaran bagi tamunya.

***

Telah cukup lama laki-laki bertampang seram tadi masuk ke kamar bersama tiga gadis yang dipesan pelayan kedai. Dan kini tinggal pelayan kedai itu sendiri yang jadi kesal, menunggui. Masalahnya sejak tadi dia belum mendapat uang jasa dari tamunya. Dan dia berusaha membunuh waktu dengan berjalan mondar-mandir. Sesekali matanya memandang ke pintu dalam, tempat ruang penginapan berada. Dari situlah laki-laki bertampang kasar tadi masuk, sebentar-sebentar dari mulut dan hidungnya keluar desahan kesal.
Rupanya tindak-tanduk pelayan kedai ini tak luput dari perhatian laki-laki setengah baya, yang agaknya adalah pemilik kedai dan penginapan ini.
"Ada apa, Jampa?" sapa laki-laki setengah baya itu.
"Eh?! Tidak apa-apa, Ki Rambat...!" sahut pelayan kedai yang dipanggil Jampa, sedikit kikuk.
"Jangan pura-pura! Aku tahu, kau tengah menunggu upeti dari laki-laki angker itu, bukan?" cecar pemilik kedai yang bernama Ki Rambat.
Jampa hanya cengar-cengir.
"Kenapa? Dia belum memberikannya? Kulihat tadi kau membawa tiga gadis?"
"Itu dia! Sudah kubawakan tiga orang, aku tidak dapat apa-apa!" gemtu Jampa.
"Mungkin nanti. Tapi ngomong-ngomong, gila juga itu orang. Dia mau melahap tiga perempuan sekaligus?!" seru Ki Rambat dengan wajah heran.
"Aku juga bingung, Ki. Tapi melihat apa yang disantapnya, dia mungkin telah mempersiapkan diri, jelas Jampa.
"Orang itu mungkin punya keanehan. Sejak tadi, dia belum juga keluar kamar."
"Apa perempuan-perempuan itu digilir bergantian? Satu orang mendapat giliran sepuluh kali!" seloroh Jampa sambil tertawa lebar.
"Hush! Bisa saja kau, Jampa!"
"Laki-laki itu rakus perempuan. Mungkin saja setelah ini, dia akan minta pesanan lagi. Bisa sepuluh atau dua puluh, aku tak peduli. Yang penting bayar uang lelah padaku!"
Pada saat itu juga kata-kata Jampa terhenti ketika terdengar ribut-ribut dari arah belakang. Serentak mereka menoleh ke arah sumber suara. Dengan langkah lebar-lebar, mereka menuju ke belakang.
Begitu tiba di ruang penginapan, beberapa penghuni kamar yang lain tengah melongokkan kepala keluar, ke arah sumber suara ribut-ribut tadi.
Memang keributan diduga keras berasal dari kamar lelaki bertampang seram yang baru saja dibicarakan. Benar saja, dari pintu itu keluar laki-laki berkumis tebal dengan rahang kokoh. Setelah menutup pintu, dia melangkah tegap.
Cepat Jampa menghampiri. Sementara laki-laki itu kelihatan melangkah tenang, seperti tak terjadi apa-apa.
"Eh! Ada apa, Tuan? Apakah semuanya beres?" tegur Jampa.
Laki-laki bertampang angker ini berhenti sebentar, lalu menatap Jampa.
"Hm, tidak." Habis berkata demikian, laki-laki ini melangkah kembali meninggalkan Jampa.
"Eh, Tu..., an!"
"Apa?!"
Laki itu berhenti, dan berbalik. Matanya memandang Jampa dengan sorot tajam. Untuk sesaat darah Jampa berdesir. Begitu mengerikan sorot mata laki-laki yang berdiri di depannya. Penuh nafsu membunuh, laksana seekor harimau buas. Namun kepentingannya belum selesai. Maka dia memberanikan diri untuk menghampiri lagi.
"Eh, anu Tuan...," kata Jampa tergagap, ketika setengah tombak di depan laki-laki itu.
"Katakan saja! Jangan berbelit-belit! Aku mesti pergi ke suatu tempat malam ini juga!" bentak laki-laki itu.
"Mungkin Tuan melupakan sesuatu. Maksudku..., upah untukku dalam mencari tiga orang gadis belum dibayarkan kepadaku," jelas Jampa.
"O, kau minta persen lagi?"
"Bukan begitu Tuan. Tapi Tuan memang belum memberikan uang lelah...," kilah Jampa dengan kepala tertunduk, tak kuasa menatap sorot mata laki-laki di depannya.
"Kau ingin uang lelah?" Kata-kata laki-laki ini dikeluarkan dengan raut wajah marah. Kalimatnya ditekan sedemikian rupa menunjukkan hati yang geram.
"Eh! Ka..., kalau memang Tuan tidak keberatan...," sahut Jampa memberanikan diri.
"Ini, ambillah!" Bersamaan dengan kata-katanya, laki-laki berteimpang seram itu menghujamkan jari-jari tangannya ke perut Jampa. Begitu cepat dan tak terduga, sehingga....
Jrosss!
"Aaa...!" Jampa kontan terpekik. Tubuhnya limbung dengan tangan memegangi ususnya yang terburai. Darah berlepotan menggenangi bumi tempatnya berpijak. Ketika ambruk, tubuhnya langsung kelojotan meregang nyawa. Lalu dia diam tak berkutik lagi.
"Hei?!"
Orang-orang yang ada di tempat ini menjadi terkejut setengah mati. Demikian pula Ki Rambat, pemilik kedai dan penginapan. Namun sebelum mereka berbuat sesuatu, laki-laki bertampang seram tadi telah berkelebat keluar lewat pintu belakang, lalu menghilang di kegelapan malam.
"Jampa...!" desis pemilik kedai itu dengan wajah masih membayangkan keterkejutan.
Laki-laki setengah baya ini memandangi Jampa bersama beberapa penghuni kamar-kamar yang berada di tempat itu. Salah seorang wanita mendekati Ki Rambat sambil berbisik lirih.
"Ketiga perempuan yang ada di kamar tadi mati, Ki...!"
"Mati? Astaga...!" sentak Ki Rambat, melotot kaget.
"Jidat mereka bolong dua seperti ditusuk dua batang besi!" lanjut wanita itu.
Dan Ki Rambat semakin terkejut saja. Tidak mampu berbuat apa-apa untuk mengataa keterkejutan yang berturut-turut.
"Apa yang mesti kita lakukan, Ki?" tanya seseorang yang juga berada di dekatnya.
"Oh, apa?!"
"Sebaiknya kita urus mereka dulu!" timpal seseorang.
"Ya, kita akan urus mereka. Tapi salah seorang mesti memberitahukan kejadian ini kepada Ki Guteng," sahut Ki Rambat.
"Biar aku saja, Ki!" sahut seorang pemuda yang juga pelayan kedai.
Seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh lima tahun tiba di kedai Ki Rambat. Tubuhnya kecil dengan kulit hitam, terbungkus pakaian kuning gading. Dialah orang yang dimaksud Ki Rambat. Namanya Ki Guteng. Dia menjabat keamanan Desa Kaligondang, yang masih terletak di Kadipaten Welirang. Kini Ki Guteng tengah memeriksa keempat mayat itu sambil menggeleng dan mendesah lemah.
"Bagaimana, Ki?" tanya Ki Rambat.
"Ini betul-betul perbuatan iblis!" desis keamanan Desa Kaligondang ini, geram.
"Iblis? Tapi dia mirip sekali dengan manusia. Lagi pula, mana mungkin iblis doyan perempuan?!" tukas Ki Rambat
Ki Guteng melirik pemilik kedai ini.
"Bukan begitu maksudku, Ki! Orang yang melakukan ini sifatnya sama dengan iblis," jelas Ki Guteng.
Baru Ki Rambat mengangguk. Mengerti. Kemudian dijelaskannya ciri-ciri laki-laki yang telah membunuh keempat orang itu.
"Apakah kira-kira Ki Guteng pernah mengenalnya?" tanya Ki Rambat.
Ki Guteng berpikir sebentar. Terlihat dari jidatnya yang sedikit berkerut.
"Tidak.... Aku tak pernah melihat orang itu sebelumnya," kata keamanan desa itu menggeleng lemah.
"Tapi melihat ciri-ciri korban, agaknya dia yang belakangan ini dihebohkan orang."
"Siapa yang kau maksudkan, Ki?" cecar Ki Rambat.
"Siluman Pemburu Perawan!"
"Eh?! Apakah itu berarti dia siluman betul?" tanya Ki Rambat dengan wajah ketar-ketir ketakutan.
"Tentu saja tidak. Itu julukan seseorang dalam dunia persilatan. Orang itu memang dikenal memiliki kesaktian hebat, jelas Ki Guteng, tersenyum hambar.
"Lalu apa yang mesti kita lakukan, Ki? Orang tua mereka tentu tidak senang melihat kematian anaknya...," lanjut Ki Rambat dengan sikap lesu.
"Jelaskan saja apa yang terjadi."
"Jelaskan apa yang terjadi? Gila! Itu sama artinya membunuhku, Ki!" sentak Ki Rambat kaget.
"Apa maksudmu? Siapa yang akan membunuhmu?"
"Ya, orangtua mereka!"
Ki Guteng menggeleng lemah.
"Itu salahmu sendiri, mengapa mengajak mereka ke sini?"
"Jampa yang bawa mereka...," kilah Ki Rambat.
"Telah berapa kali kuperingatkan padamu, agar jangan membuka kegiatan mesum di tempat ini. Tapi kau tidak mau mendengarnya!" tandas Ki Guteng.
"Ya! Aku memang salah, Ki. Tapi memang aku sudah tidak mengurusi soal-soal itu. Hanya Jampa dan anak buahnya suka mengambil kesempatan. Kalau ada tamu-tamu yang tanya," kilah Ki Rambat lagi.
"Ketiga orangtua gadis itu tahu, apa yang mereka lakukan?"
"Yang satu tahu. Tapi dua lainnya tidak. Tahunya anak mereka bekerja pada seseorang," jelas Ki Rambat.
"Urusan ini jadi runyam!" desis Ki Guteng.
"Ya, karena itulah aku butuh pertolonganmu, Ki. Sekalian mencari pembunuh keji itu!"
"Biarlah nanti akan kucoba menjelaskan pada orangtua kedua gadis itu. Tapi soal mencari si pembunuh, aku angkat tangan."
"Apakah Ki Guteng tak mau membantu?"
"Bukan tidak mau. Tapi tepatnya tidak mampu!" jelas Ki Guteng, terus terang.
"Ki Guteng pesilat hebat yang bisa kupercaya."
"Orang ini seperti bukan manusia, Ki! Apakah kau tidak mengerti? Sepuluh orang sepertiku bakal disapu bersih dalam sekejap!"
Ki Rambat jadi bingung sendiri mendengar jawaban itu. Ditatapnya Ki Guteng untuk beberapa saat.
"Lalu siapa yang bisa kumintai tolong lagi?"
"Cobalah mengerti. Aku tidak mungkin mengabulkan permintaanmu untuk mencari pembunuh itu. Nyawaku sendiri terancam, bila coba-coba mendekatinya."
"Lalu persoalan ini kita diamkan saja?" tanya, Ki Rambat dengan suara lemah.
"Kita tak punya pilihan, kalau ingin selamat..." desah Ki Guteng.
Pemilik kedai itu kembali terdiam. Entah merenungi kata-kata yang terlontar dari mulut keamanan desa itu, entah juga memikirkan yang lain.

177. Pendekar Rajawali Sakti : Siluman Pemburu PerawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang