BAGIAN 1

193 9 0
                                    

"Palguna! Keluar kau!"
Suara sentakan menggelegar, memecah keheningan pagi di Desa Sakapitu. Teriakan itu berasal dari mulut seorang pemuda berwajah pas-pasan, pakaiannya ketat berwarna biru tua. Di pinggangnya, terselip sebuah golok.
Pemuda itu didampingi oleh empat orang pemuda yang masing-masing berpakaian merah, hijau, kuning, dan coklat. Mereka semua berdiri dengan sikap petantang-petenteng di depan sebuah rumah cukup besar yang dikenali penduduk adalah rumah Kepala Desa Sakapitu.
Beberapa saat dari dalam rumah muncul seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun, didampingi wanita berusia tiga puluh sembilan tahun dan dua anak perempuan yang berusia belasan tahun.
Teriakan itu memang mengejutkan. Karena selama menjabat sebagai kepala desa, belum ada seorang pun yang memanggilnya dengan suara keras seperti itu. Bahkan dengan panggilan yang tak disertai rasa hormat.
Laki-laki setengah baya yang memang bernama Palguna ini memandang kelima pemuda itu satu persatu dengan dahi berkerut.
"Kisanak berlima, ada apa sebenarnya sampai berteriak-teriak seperti itu?" tanya Ki Palguna dengan nada datar.
"Masih ingat padaku, Palguna!" dengus pemuda berbaju biru tua.
Ki Palguna memandang pemuda berambut panjang sebahu itu untuk beberapa saat dengan kening berkerut. Dicobanya mengingat-ingat apakah pernah bertemu pemuda itu sebelumnya.
"Kau seperti..., Wisesa...," duga Ki Palguna ragu.
"Ya! Aku memang Wisesa!" sahut pemuda berbaju biru tua yang bernama Wisesa.
"Hm, Wisesa yang dulu berpenyakit kulit di sekujur tubuhnya itu?"
Kata-kata Ki Palguna sebenarnya hanya untuk meyakinkannya saja. Namun bagi Wisesa terasa menyakitkan. Karena justru hal itulah dia datang ke sini.
"Palguna terkutuk! Hari ini aku akan membuat pembalasan atas pengusiranmu dari desa ini dulu terhadapku!" desis Wisesa dengan suara bergetar menahan marah.
"Wisesa! Kau harus ingat. Keputusan itu bukan kemauanku sendiri, tapi atas desakan penduduk yang tidak menginginkan kehadiranmu. Sebagai kepala desa, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti kehendak mereka," kilah Ki Palguna.
"Aku tidak peduli! Kalian semua akan mendapat balasan setimpal!"
"Huh! Kalau memang itu kehendakmu, aku tidak akan mundur!" dengus Ki Palguna merasa didesak terus.
"Kita tentukan persoalan ini di ujung golok! Ambil senjatamu!" bentak Wisesa.
Sebagai kepala desa yang dihormati penduduk, tentu saja Ki Palguna merasa tertantang mendengar ancaman Wisesa.
"Sekar! Cepat ambil golok Ayah di lemari," ujar Ki Palguna pada salah seorang gadis yang ternyata putrinya.
"Tapi Ayah...."
"Cepat!" hardik Ki Palguna ketika anaknya yang dipanggil Sekar belum juga beranjak.
"Ba..., baik, Ayah...," sahut Sekar seraya bergegas ke dalam.
Tidak lama kemudian gadis itu telah kembali membawa sebilah golok bergagang perak. Ki Palguna cepat menyambar dengan mata tak berkedip memandang para pemuda yang menantinya bertarung.
"Silakan. Mau satu lawan satu, atau berlima sekaligus?" tanya Ki Palguna menganggap remeh. Laki-laki setengah baya ini segera melangkah ke tengah halaman.
"Huh! Menghadapimu kenapa mesti main keroyok. Aku saja sudah cukup untuk mengirimmu ke akherat!" dengus Wisesa, ikut melangkah dan berhenti kira-kira dua tombak di hadapan Ki Palguna.
"Kakang! Biar kubereskan saja dia!" seru pemuda yang berbaju coklat.
"Jangan, Cakra! Ini urusan pribadiku. Kita telah sepakat untuk mengurus urusan pribadi masing-masing, bukan? Nah! Biarkan aku membereskannya seorang diri!" tolak Wisesa, tegas tanpa menoleh.
Pemuda berbaju coklat yang dipanggil Cakra mengangguk mengerti. Dan dia tak banyak bicara lagi. Meski tak melihat, namun Cakra tahu kalau mereka yang berdiri berhadapan itu telah siap saling serang.
Sebelum menjabat sebagai kepala desa dulu, Ki Palguna adalah seorang tokoh persilatan berkepandaian cukup tinggi. Justru karena itulah maka penduduk mengangkatnya sebagai kepala desa. Mereka berharap Ki Palguna bisa menggayomi masyarakat dan melindungi dari gangguan pihak luar yang ingin mengacau.
Sementara itu Ki Palguna berputar mengelilingi Wisesa tatkala keempat pemuda lain telah mundur beberapa langkah seperti memberi ruang gerak pada mereka.
"Yeaaa...!" Wisesa lebih dulu melompat menyerang sambil membabatkan goloknya.
Bet!
"Uts!" Ki Palguna cepat mengegoskan tubuhnya. Begitu sambaran Wisesa yang mengebutkan goloknya ke arah leher. Namun Wisesa telah memperhitungkannya. Dengan gerakan kilat tubuhnya merunduk, seraya menusukkan goloknya yang bermata tajam.
"Hup!" Ki Palguna cepat membuang dirinya ke tanah seraya bergulingan.
"Huh! Kematianmu sudah dekat, Palguna! Mudah-mudahan kau masih sempat berdoa!" dengus Wisesa mengejek.
"Kita lihat saja. Kau atau aku yang akan mampus!" sahut Ki Palguna begitu bangkit berdiri.
"Banyak bacot! Terima seranganku!" bentak Wisesa seraya melompat kembali menyergap.
Gerakan pemuda ini cepat bukan main, sehingga membuat Ki Palguna terkesiap. Namun sebagai tokoh silat yang cukup berpengalaman, dia tahu bagaimana cara menghindarkan diri yang terbaik. Maka kembali dia menjatuhkan diri dan merapatkan tubuh dengan permukaan tanah.
Sayang, kepala desa itu salah duga. Justru pada saat Ki Palguna bergulingan menjauh, Wisesa melenting ke atas. Setelah membuat putaran beberapa kali, goloknya cepat dilemparkan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Wuuuttt...!
Ki Palguna yang baru saja melenting bangkit, kontan terperanjat. Belum lagi dia sempat berbuat apa-apa, golok itu telah meluncur dekat. Lalu.....
Crab!
"Eah!"
Tubuh Ki Palguna terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi lehernya yang tertancap golok dengan kedua tangannya. Darah mengucur deras dari lehernya yang nyaris putus. Begitu tubuhnya ambruk, nyawanya putus.
"Kakang...!" jerit wanita istri Ki Palguna.
"Ayah...!" Seperti tak mau kalah, kedua gadis belia ini berteriak seraya menghambur ke arah jasad orang yang dicintainya.
"Huh! Mau ke mana kalian!" dengus Wisesa seraya menangkap salah seorang putri Ki Palguna yang baru saja menghambur.
Pada saat yang bersamaan, salah seorang pemuda yang berbaju kuning bertindak tak kalah cepat. Segera ditangkapnya putri Ki Palguna yang lain.
"Oh! Tolong...! Lepaskan! Tolooong...!"
Kedua gadis itu berteriak-teriak ketakutan sambil berusaha melepaskan diri. Tapi kedua pemuda itu mencengkeram erat-erat. Sementara tiga pemuda lain hanya tertawa mengekeh.
"Hehehe...! Siapa sangka rejeki kalian sedang terang. Belum apa-apa sudah dapat dua gadis cantik!" seru pemuda berbaju kuning.
"Brengsek! Mana bagianku?!" teriak pemuda yang berbaju merah.
"Cari sendiri, Sukma! Apa kau tidak punya mata?" ujar Wisesa.
"Hehehe...! Betul juga kau, Kakang Wisesa. Masa' di seluruh desa ini tidak ada gadis-gadis lain yang lebih cantik. Aku pergi dulu mencari mereka!" kata pemuda berbaju merah yang dipanggil Sukma.
Dan dalam sekejapan mata saja Sukma telah berkelebat ke tengah-tengah desa.
Sementara itu istri Ki Palguna yang tengah bersimpuh di depan mayat suaminya, terkesiap mendengar jeritan kedua putrinya. Serta merta dia bangkit dengan mata melotot.
"Brandal terkutuk, lepaskan mereka! Lepaskan mereka!" teriak perempuan itu.
"Cakra! Bereskan wanita celaka ini!" teriak Wisesa ketika melihat wanita itu bergerak cepat mendatanginya.
"Beres, Kang! Jangan khawatir!" sahut Cakra.
Pemuda itu bergerak cepat. Golok di tangannya menyabet perut wanita itu secepat kilat.
Bret!
"Aaakh...!" Karuan saja, wanita yang tidak mengerti soal ilmu olah kanuragan itu terpekik. Isi perutnya langsung terburai keluar tersabet golok Cakra.
Darah mengucur deras dari lukanya. Wajahnya tampak terkejut dengan mata melotot lebar memandang kelima pemuda itu penuh dendam. Lalu tubuhnya ambruk tak berdaya.
"Ibuuu...!" teriak kedua gadis dalam cengkeraman Wisesa dan pemuda berbaju kuning.
"Hehehe...! Ibumu sudah mampus. Jangan pikirkan lagi. Sekarang lebih baik kita bersenang-senang!"
Wisesa terkekeh. Langsung diseretnya gadis dalam rangkulannya ke dalam rumah. Sementara pemuda berbaju kuning menyusul. Tak peduli kedua gadis itu meronta-ronta sambil berteriak-teriak ketakutan.
Beberapa penduduk yang melihat kejadian itu berusaha menolong. Namun apalah daya mereka yang tak punya kepandaian apa-apa. Mereka yang nekat itu hanya membuang nyawa secara percuma. Ujung golok Cakra dan golok pemuda berbaju hijau telah berkelebat menebas mereka.
"Hehehe...! Cari penyakit!" ejek pemuda berbaju hijau seraya memandangi mayat-mayat yang tergeletak di tanah.
"Kakang Sembada! Kau urusi mereka! Aku akan menyusul Sukma mencari perempuan-perempuan cantik di desa ini!" teriak Cakra seraya berkelebat dari tempat itu.
"Enak saja kau! Kalau soal urusan satu itu, aku Jagonya. Aku akan mendapatkan semuanya. Hehehe...!" sambut pemuda berbaju hijau yang dipanggil Sembada, langsung ikut berkelebat.
Dalam sekejap mereka telah bergerak cepat masuk ke dalam rumah-rumah penduduk untuk mengobrak-abrik isinya. Saat itu juga jerit ketakutan dan kematian berkumandang saling sambung-menyambung. Tiga pemuda itu tidak peduli melihat penderitaan penduduk. Mereka hanya memikirkan hawa nafsu saja. Maka siapa pun yang menghalangi, akan tertebas golok.
Beberapa penduduk desa melarikan diri lewat jalan belakang, karena ketakutan. Di antara mereka pun ada yang berhasil membawa anak perempuannya, sehingga selamat dari incaran kelima pemuda itu. Sementara yang kurang beruntung terpaksa merelakan anak gadis mereka digarap kelima pemuda itu. Bagi yang penakut hanya bisa menangis dan merintih pilu melihat anak perempuannya diperlakukan semena-mena. Tapi bagi mereka yang punya keberanian, akan binasa di tangan kelima pemuda itu.

***

Kejadian di Desa Sakapitu merebak ke mana-mana, terutama bagi desa-desa yang berada di sekitar lereng Gunung Pucung. Karena Desa Sakapitu memang terletak di lereng gunung itu.
Namun tak urung kabar itu sampai pula di Desa Kayu Asem yang jaraknya lebih kurang setengah hari perjalanan berkuda dari Desa Sakapitu, menuju arah timur. Desa Kayu Asem dekat dengan kota Kadipaten Bayu Mubal yang cukup ramai.
Kabar yang dibawa oleh seorang penduduk Desa Sakapitu, langsung disampaikan pada Kepala Desa Kayu Asem yang telah sepuluh tahun memimpin desa ini. Sampai sekarang dia tetap dipercaya penduduk. Karena di bawah kepempimpinannya, Desa Kayu Asem menjadi aman sentosa, gemah ripah loh jinawi. Namun kejadian yang menimpa Desa Sakapitu tak urung sempat mengusik pikirannya. Makanya, dia segera mengundang sesepuh-sesepuh desa untuk diajak tukar pikiran, membahas masalah itu.
"Mungkin hanya kawanan rampok saja, Baluran," cetus salah seorang sesepuh desa.
"Kurasa tidak, Ki Pajang...," sanggah Kepala Desa bernama Ki Baluran.
"Maksudmu bagaimana, Baluran?" tanya seorang sesepuh lain.
"Aku khawatir ini akan berlanjut ke desa kita, Ki Jarot," sahut Ki Baluran hati-hati.
"Desa kita banyak memiliki pendekar tangguh. Mereka akan berpikir seribu kali untuk mengacau di sini!" tandas sesepuh yang tadi dipanggil Ki Jarot.
"Memang benar apa yang dikatakan Ki Jarot. Tapi menurut penduduk Desa Sakapitu yang mengungsi ke sini, kelima pemuda berandalan itu memiliki kesaktian laksana iblis," kata Ki Baluran.
"Tapi Baluran! Kita telah teruji menghadapi iblis licik sekali pun," timpal orang sesepuh lain.
"Apa maksud Ki Gandara?" tanya Ki Baluran dengan dahi berkerut.
"Ingatkah kau pada peristiwa sepuluh tahun lalu?" laki-laki berusia enam puluh tahun yang dipanggil Ki Gandara malah balik bertanya.
"Dukun santet itu?"
"Ya! Konon katanya, dia tidak bisa mati dan kebal segala jenis senjata dan pukulan. Toh, nyatanya kita berhasil membinasakannya."
"Ya! Tapi dalam usaha membunuh Ki Rungkut dan istrinya, timbul banyak korban di pihak kita...," sahut Ki Baluran masygul, mengingat peristiwa berdarah sepuluh tahun lalu.
"Tapi itu membuktikan bahwa kejahatan bisa dikalahkan kalau kita bersatu!" timpal sesepuh yang bernama Ki Pajang.
"Bukan begitu, Nyi Girah?" Ki Pajang menoleh ke arah satu-satunya wanita di ruangan ini.
"Aku yakin kita bisa menggalang persatuan dari semua penduduk desa ini!" kata wanita berusia enam puluh tahun yang dipanggil Nyi Girah.
"Tapi yang terpenting, apakah hal itu akan terjadi?" tanya Ki Gandara.
"Siapa tahu itu hanya ulah perampok seperti yang dikatakan Ki Pajang."
"Tapi kita mesti waspada. Siapa tahu peristiwa sepuluh tahun lalu terulang kembali," sahut Ki Jarot.
"Ki Rungkut sudah mati. Demikian pula istrinya...."
"Kita jangan melupakan sesuatu, Baluran!" tukas Ki Jarot.
"Apa maksud Ki Jarot?"
"Mereka punya anak laki-laki yang saat itu berusia sekitar lima belas tahun. Ketika orangtuanya tewas, anak itu tidak ada di dalam rumah. Kita coba mencarinya ke mana-mana, namun tidak bertemu. Dia hilang seperti ditelan bumi."
"Ya! Aku khawatir anak itu akan membalas dendam kepada kita semua...," timpral Ki Pajang.
"Bibitnya buruk. Maka mana mungkin akan tumbuh baik...," gumam Ki Gandara seperti mendukung sikap Ki Pajang.
"Hal itu sudah kupikirkan. Tapi kita sudah cukup berusaha mencarinya...," sahut Ki Baluran.
"Kita hanya kurang giat, Ki," sambung Nyi Girah.
"Saat itu aku yakin, dia melarikan diri ke Hutan Pucung. Namun tak seorang pun di antara kita yang mau mengejarnya ke sana."
"Hutan Pucung bukan tempat yang ramah, Nyi Girah," bela Gandara.
"Aku bisa memakluminya. Di sana banyak perangkap dan binatang buas. Tidak seorang pun yang bisa keluar hidup-hidup setelah masuk ke sana."
"Kalau demikian, bocah itu pun...."
"Mati?!" potong Ki Jarot, terhadap ucapan Ki Baluran.
"Tidak juga," sahut Gandara.
"Baru saja kau katakan tidak ada seorang pun yang bisa selamat bila masuk ke hutan itu. Dan sekarang...?" tukas Nyi Girah.
"Kalau seseorang tidak menolongnya," sambung Gandara.
"Siapa yang kau maksudkan, Ki Gandara?" tanya Ki Pajang.
"Iblis Rambut Panjang."
"Iblis Rambut Panjang?!"
Semua orang yang berada di ruangan itu berseru kaget, mendengar nama yang disebutkan Ki Gandara. Memang, nama itu amat terkenal di rimba persilatan, milik seorang datuk sesat yang kesaktiannya tiada tara. Kekejamannya memang luar biasa. Dan belakangan ada anggapan bahwa iblis itu berdiam di dalam Hutan Pucung, tempat yang jarang dimasuki orang.

***

181. Pendekar Rajawali Sakti : Lima Golok SetanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang