BAGIAN 4

90 11 0
                                    

Apa yang dikatakan Ki Baluran memang benar. Sejak penduduk mengetahui kehadiran Pendekar Rajawali Sakti di Desa Kayu Asem ini, maka semangat mereka bangkit. Orang-orang yang semula ketakutan, nyalinya mulai tumbuh. Mereka yang tadi jalan terbungkuk-bungkuk dengan muka pucat dan pandangan takut-takut, kini berani berjalan tegap. Seolah masalah apa pun yang menghadang di depan akan mudah dibereskan.
"Dengan adanya Pendekar Rajawali Sakti, maka kelima pemuda itu akan kusikat habis!" tandas seorang laki-laki berusia dua puluh lima tahun pada kawannya.
"Jangan gegabah, Seta! Lima Golok Setan tidak bisa dipandang sebelah mata," ujar pemuda bertubuh kurus.
"Hei? Apa kau tak percaya dengan kehebatan Pendekar Rajawali Sakti, Ragil?!" tanya pemuda yang dipanggil Seta, tak senang.
"Aku percaya, Seta. Tapi kalau kau mampu menghadapi mereka, itu yang aku kurang percaya," sahut pemuda bernama Ragil sambil tersenyum kecil.
"Jelek-jelek begini aku murid Ki Gandara!" sahut Seta menepuk dada.
"Ki Gandara orang hebat. Dan kurasa..., kehebatannya tidak kalah dengan Pendekar Rajawali Sakti!"
"Huh! Jangan gegabah kau, Seta!" ujar Ragil memperingatkan.
"Kenapa kau rupanya? Apa kau anggap guruku tidak hebat?"
"Bukan begitu. Ki Gandara memang hebat. Tapi menyamakannya dengan Pendekar Rajawali Sakti adalah keterlaluan!"
"Itu karena kau tidak melihat sendiri kehebatan beliau! He, tahukah kau kalau Ki Gandara mampu melompat setinggi dua tombak? Beliau juga mampu melompat ke cabang pohon dengan gesit tanpa terjatuh. Apa kau pernah melihat Ki Jarot melakukannya?" tukas Seta, juga kurang suka bila Ragil juga sepert merendahkan gurunya. Nada bicaranya terdengar sengit.
Ragil memang murid Ki Jarot. Tidak seperti Ki Gandara yang memiliki padepokan dan punya murid banyak, Ki Jarot tidak punya padepokan khusus. Muridnya pun sedikit, tidak lebih dari sepuluh orang. Salah satunya adalah Ragil. Meski begitu, mereka percaya kalau kehebatan Ki Jarot tidak kalah dengan Ki Gandara. Dan ketika mendengar nada bicara Seta yang sepertinya meremehkan Ki Jarot, tentu saja Ragil tidak bisa menerimanya.
"Mungkin saja Ki Jarot tidak mampu melakukannya. Tapi beliau mampu meremukkan seekor banteng yang kuat. Atau juga meremukkan kepala seekor gajah liar yang tengah mengamuk," sahut Ragil, tak kalah sengit.
"Mana mungkin!" cibir Seta.
"Kalau begitu, aku pun bisa mengatakan mana mungkin terhadap kemampuan Ki Gandara yang tadi kau katakan!" sahut Ragil tak kalah.
"Kau boleh datang dan menyaksikannya sendiri saat kami latihan!"
"Kau juga boleh datangkan banteng atau gajah liar untuk diremukkan guruku!"
"Hm, kenapa susah-susah? Kalau begitu mengapa kita tidak saling coba?" desis Seta seraya berhenti, dan langsung berhadapan dengan Ragil pada jarak dua langkah.
"Apa maksudmu?"
"Kita uji kemampuan kita untuk membuktikan, mana yang lebih hebat. Gurumu, atau guruku!"
"Boleh! Silakan mulai!" kata Ragil menyambut tantangan Seta. Baru saja mereka hendak bergebrak, dari kejauhan terdengar derap langkah berlari beberapa orang. Seta dan Ragil langsung melihat ke arah datangnya suara. Tampak beberapa pemuda lari tergopoh-gopoh menghampiri.
"Rimang! Balung! Parwa! Ada apa?!" tanya Seta heran.
"Celaka, Seta!" sahut pemuda yang bernama Parwa.
"Uts! Tenang dulu. Tarik napas dalam-dalam, lalu ceritakan apa yang terjadi," ujar Seta.
"Tidak sempat. Kita harus secepatnya memberitahukan ini pada Ki Baluran dan Pendekar Rajawali Sakti!" tukas Rimang.
"Memangnya ada apa?" tanya Ragil.
"Lima Golok Setan muncul. Mereka membunuh lima orang peronda. Kami terpaksa melarikan diri untuk mengabarkan hal ini," jelas Rimang.
"Apa?! Mereka telah muncul? Celaka! Kita mesti memberitahukan orang-orang tua di desa ini!" seru Seta seraya mengajak ketiga kawannya.
"Kenapa tidak kita tahan saja mereka di sini? Mereka berlima dan kita pun berlima. Bukankah itu adil?" tahan Ragil.
"Ini bukan saatnya kita jadi pahlawan. Mereka orang gila berilmu tinggi. Kita tidak mungkin meladeninya!" sergah Seta.
"Daripada kita bergebrak berdua, bukankah lebih baik menghadapi mereka untuk membuktikan siapa yang lebih hebat?" tukas Ragil.
Mau tidak mau terbakar juga hati Seta mendengar kata-kata itu. Semula dia coba melupakan persoalan mereka barusan, karena yang penting, menyelamatkan diri dulu. Tapi siapa kira rupanya Ragil masih penasaran untuk membuktikan kesempatan ini dalam mencoba kedigdayaan.
"Baik! Kita buktikan dengan menghadapi mereka!" sambut Seta.
"Seta! Apa-apaan ini? Ayo, lekas kita beritahukan yang lain!" seru pemuda yang bernama Balung.
"Benar! Jangan sok mau jadi pahlawan!" timpal Parwa.
"Kita akan celaka sendiri!" tambah Rimang.
"Aku dan Ragil telah sepakat untuk membuktikan mana yang lebih hebat antara guru kita atau gurunya. Tadinya kami akan bertarung. Tapi dengan munculnya Lima Golok Setan, maka mereka yang akan kami jadikan sasaran," jelas Seta.
"Kalau kalian mau pergi silakan!"
"Seta! Kau tahu hal itu tidak perlu. Bahkan sama sekali tidak ada gunanya!" ujar Parwa menasihati.
"Dan kau, Ragil! Apakah hal itu lebih utama ketimbang persoalan yang kita hadapi bersama-sama?" tukas Rimang.
"Kita perlu bersatu dan jangan berpecah-belah. Juga jangan bertindak sendiri-sendiri. Ki Baluran telah mengingatkan hal itu."
"Seta yang memulai. Aku menyambut tantangannya saja," sanggah Ragil.
"Tapi kau juga sebetulnya memang hendak membuktikan kehebatan pamor gurumu!" tangkis Seta.
"Itu karena kau yang lebih dulu memanas-manasi!" balas Ragil.
"Sudah! Sudah! Tidak perlu bertengkar. Kalau persoalan siapa yang lebih hebat, maka di dunia ini tidak ada yang hebat!" tukas Rimang.
"Sekarang lebih baik kita pergi dan memberitahukan hal ini pada Ki Baluran."
"Hehehe...! Enak saja bacotmu bicara! Lima Gdok Setan lebih hebat dari segalanya!"
"Heh?!"
Sebuah suara yang mendadak saja menyahuti kata-kata Rimang, membuat semua yang ada di tempat ini tersentak kaget. Dan belum sempat mereka berbuat apa-apa berlompatan, lima sosok langsung mengurung lima pemuda itu dengan senjata golok panjang.
"Celaka! Itulah mereka!" desis Rimang. Kelima orang yang baru muncul itu tidak lain dari Lima Golok Setan. Salah seorang dari mereka yang bemama Sukma maju dua langkah ke depan dengan tatapan dingin.
"Hm.... Kalian orang-orang Desa Kayu Asem, bukan? Tentu kenal siapa kawanku ini?!" tunjuk Sukma pada kawannya yang bernama Bawor.
Kelima pemuda Desa Kayu Asem memperhatikan seksama. Empat dari Lima Golok Setan memang tidak dikenal. Namun yang seorang rasanya pernah dilihat.
"Seperti anak dukun Rungkut!" desis Balung yang dulu rumahnya agak berdekatan dengan dukun santet di Desa Kayu Asem.
"Kau yakin?" tanya Seta.
Balung mengangguk.
"Siapa, Balung?" tanya Rimang.
"Bawor...!"
"Hahaha...! Kau memang pintar, Balung!" sahut Bawor sambil tertawa bergelak.
"Aku memang Bawor putra Ki Rungkut yang dibunuh oleh orang-orang tua kalian. Hari ini aku menuntut balas atas kematian mereka!"
"Bawor! Jadi, kau salah seorang dari Lima Golok Setan?!" bentak Balung.
"Hahaha...! Syukurlah kau telah tahu, Sobat. Dan untuk itu, kau harus mati di tanganku!"
"Huh! Jangan dikira aku takut padamu!" dengus Balung.
"Dulu aku tidak takut padamu. Dan sekarang pun tetap sama."
"Bagus! Nah, matilah kau sekarang! Yeaaat...!"
Begitu selesai ucapannya, secepat itu pula Bawor mencelat menyerang disertai teriakan menggelegar.
"Hup!" Balung cepat membuat kuda-kuda mantap untuk menangkis serangan. Begitu Bawor mengayunkan tendangan kaki kanan, secepat itu pula tangan kirinya mengibas ke samping.
Plak!
Sungguh tidak diduga kalau Bawor menggunakan tenaga tangkisan tadi sebagai tumpuan untuk kaki kirinya yang terayun cepat menghantam dada.
Duk!
"Aaakh...!" Disertai jerit kesakitan, Balung kontan terjungkal ke belakang sejauh dua tombak. Wajahya berkerut menahan sakit.
"Yeaaah!" Sebelum Balung bangkit, Bawor telah menerkamnya secepat kilat.
Balung menyadari bahaya yang menimpanya. Maka jalan satu-satunya adalah bergulingan menyelamatkan diri. Balung berusaha dengan melenting tanpa menyadari kalau Bawor telah berkelebat menunggunya. Maka ketika baru saja menjejakkan kaki, maka tendangan Bawor langsung meluruk deras. Dan....
Desss!
"Aaakh?!" Telak sekali tendangan itu mendarat di dada. Balung kontan kesakitan dan kembali terlempar ke belakang. Dari mulutnya mengucur darah segar sepanjang luncuran tubuhnya.
"Kau kira bisa lolos dari seranganku? Huh! Kini, terima kematianmu'," desis Bawor, begitu melihat Balung jatuh berdebam di tanah.
Pemuda ini bermaksud menghabisi Balung. Tapi...
"Heaaa...." Saat itu juga kawan-kawan Balung bergerak membantu.
"Jangan khawatir, Bawor. Biar kami bereskan yang lain!" teriak Sukma.
Saat itu juga, pertarungan di antara mereka tidak dapat dielakkan lagi. Kalau Parwa dan Rimang bertarung sekadar mempertahankan diri, maka bagi Seta dan Ragil, ajang pertarungan ini dianggap sebagai uji coba bagi ketangguhan ilmu olah kanuragan yang mereka miliki.
Namun yang dihadapi bukanlah tokoh kemarin sore. Lima Golok Setan memiliki kepandaian jauh di atas mereka. Meski berusaha bertahan dan melawan mati-matian, sia-sia saja. Karena dengan mudah lima tokoh sesat itu menjatuhkan mereka.
Duk!
"Aaakh...!" Pertama Rimang yang terjungkal roboh. Lalu secepatnya menyusul Parwa. Dan berikutnya Seta serta Ragil secara bersamaan. Kesemuanya tidak lewat dari dua jurus.
"Bagaimana, Bawor? Kau ingin agar mereka dibereskan?" tanya Sukma.
"Bereskan saja! Mereka toh bukan sanak saudaraku!" sahut Bawor, mantap.
"Hahaha...! Kalian dengar itu? Ayo, berdoalah sebelum leher kalian putus!" teriak Sukma sambil tertawa cekakakan.
"Huh! Jangan dikira kami takut! Meski kalian bunuh sekalipun, kami rela mati ketimbang diinjak-injak!" dengus Seta seraya menyeka darah yang menetes dari sudut bibir.
"Bajingan keparat! Kalian kira akan semudah itu membunuh kami? Huh! Aku akan melawan sampai titik darah penghabisan!" timpal Ragil garang.
"Siapa yang butuh darahmu yang penghabisan? Kami hanya perlu kepalamu!" dengus Sukma.
Sret!
Bersamaan dengan itu, Sukma mencabut goloknya, siap menebaskannya ke leher Ragil. Dan baru saja Sukma akan bergerak....
"Apakah kalian hanya berani kepada lawan yang tidak berdaya?!"
"Hei?!" Sukma terkesiap mendengar seruan lantang. Seketika dia menoleh, dan melihat seorang pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung telah berdiri tidak jauh dari mereka. Di belakangnya tegak berdiri sekitar sepuluh pemuda dengan sikap garang. Kesepuluh pemuda itu sama sekali tidak dipandang oleh Sukma. Tapi pemuda berbaju rompi putih itu, memiliki tatapan mata tajam dan menusuk. Bahkan sampai menggetarkan hatinya tatkala saling adu pandang.
"Itu dia! Pemuda itulah yang kemarin menjatuhkanku!" tunjuk Bawor pada kawan-kawannya.
"Huh! Hanya bocah seperti ini saja kau sampai dikalahkan! Biar kubereskan dia!" dengus Sukma seraya melompat ringan mendekati pemuda berbaju rompi putih. Sukma memandang pemuda itu dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan tatapan dingin.
"Jadi kau yang kemarin telah menghajar salah seorang kawan kami, he?!" dengus Sukma.
Pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti tersenyum tak kalah dingin.
"Begitukah menurutnya? Syukurlah kalau kalian menyadari," kata Rangga, kalem.
"Hei, Bedebah Busuk! Hari ini kau akan menebusnya dengan nyawamu!" tuding Sukma garang.
"Kau terlalu sombong, Sobat!"
"Huh! Akan kubuktikan!" dengus Sukma seraya melompat menerjang dengan sebuah tendangan bertenaga dalam tinggi.
"Uts...!" Rangga cepat menangkis tendangan dengan tangan kiri.
Plak!
Namun Sukma kembali melanjutkan serangan dengan tendangan kaki yang satu lagi. Secepat kilat, Rangga merunduk sambil berputar dengan sebelah kaki mengancam selangkangan.
"Kurang ajar!" maki Sukma seraya mencelat ke samping.
Rangga tak menghiraukannya. Langsung serangannya dilanjutkan lewat tendangan beruntun. Dan ini membuat Sukma terkesiap melihat kecepatan Rangga bergerak. Dan secepatnya dia melompat mundur sambil jumpalitan. Tapi justru saat itulah makanan empuk bagi Rangga. Tanpa buang-buang waktu lagi, tubuhnya melejit seraya melepas tendangan geledek ke dada.
Duk!
"Aaakh!" Sukma kontan terjungkal roboh beberapa langkah sambil menjerit kesakitan.
"Hei?!" Kejadian ini menimbulkan kekagetan bagi kawan-kawan Sukma. Mereka tak percaya kalau Sukma begitu mudah dijatuhkan.
"Kurang ajar! Dia pasti lengah dan menganggap enteng lawan!" desis Wisesa.
"Pemuda itu memang hebat, seperti yang kukatakan pada kalian," timpal Bawor.
"Diamlah, Bawor! Dalam keadaan seperti ini jangan memuji lawan. Belum tentu dia sehebat yang kau ceritakan," tukas Wisesa. Seketika Wisesa mencelat ringan ke hadapan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm... Kulihat kau membawa-bawa pedang. Cabutlah. Dan hadapi ilmu silat tangan kosongku!" ujar Wisesa meremehkan.
"Pedangku belum waktunya dikeluarkan!" sahut Rangga pendek.
"Huh, sombong!" Dengan serta merta Wisesa melompat menerkam, menggunakan jurus yang dikenal bernama 'Badai Topan Hutan Pucung'.
"Heaaat!"
Wus! Bet!
Serangan yang dilakukan Wisesa selalu menimbulkan desir angin kencang yang membuat Pendekar Rajawali Sakti sedikit kewalahan.
Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Karena dengan menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', tubuh Rangga mampu bergerak gesit menghindari serangan yang selalu kandas di tengah jalan. Bahkan dalam satu kesempatan, Pendekar Rajawali Sakti menyusup di antara serangan, seraya melepas satu sodokan ke dada lewat tendangan kilat.
Des!
"Aaakh...!" Wisesa terjungkal ke belakang disertai jerit kesakitan. Masih untung dia mampu jatuh di atas kedua kakinya. Namun tak urung wajahnya berkerut kesakitan. Sementara sebelah tangannya mendekap dadanya yang terasa nyeri.
"Kurang ajar! Biar kujajaki dia!" dengus Cakra geram.
"Hati-hati, Cakra! Dia tidak bisa dipandang enteng!" ingat Bawor.
"Jangan khawatir, Kang! Aku bisa jaga diri. Kalau kalian bisa dijatuhkannya, maka mungkin denganku persoalannya akan lain. Ilmu silatku sedikit berbeda dengan kalian," sahut Cakra.
Apa yang dikatakan Cakra memang beralasan. Karena penglihatannya tidak bekerja, maka Cakra tidak bisa mengandalkan ilmu silat seperti yang dimiliki keempat kawannya. Dia memiliki ilmu silat khusus, seperti yang dimiliki tokoh-tokoh silat yang tidak memiliki penglihatan. Ilmu silat yang mengandalkan pendengarannya.
"Hup!" Dengan ringan Cakra mencelat ke hadapan Pendekar Rajawali Sakti pada jarak empat langkah.
"Kisanak! Mari kita bermain-main barang sebentar!" tantang Cakra lantang.

***

181. Pendekar Rajawali Sakti : Lima Golok SetanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang